Ketika Cinta di Ujung Senja

/
1 Comments

Desir angin menyapu ilalang. Menggetarkannya hingga terlihat seperti menggelitik senja yang tumpah di cakrawala. Winda termangu. Menatap semburat merah jingga itu di bawah naungan pohon Akasia, bersandar dan memeluk gumpalan lututnya.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Segaris suara tiba-tiba terngiang di kepala Winda. Dia tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.

 

***

 

“Berhenti menatapku seperti itu!” Winda berkata tegas saat mengetahui ada seorang lelaki menatapnya lekat. Matanya sebulat cawan.

 

“Kau sedih? Ada yang melukaimu?” Lelaki di hadapannya terus menatap dengan tatapan seolah ikut merasakan luka yang menganga di benak Winda. Winda bergegas bangkit dari duduknya, lantas berkacak pinggang.

 

“Tahu darimana kalau aku ini sedih? Tahu darimana juga kalau aku ini terluka? Jangan sok tahu, ya!” Winda meluncurkan kalimat-kalimatnya dengan lancang, lalu mengakhirinya dengan senyum cibiran.

 

Lelaki itu mendekatkan wajahnya. “Mata adalah jendela hati,” bisiknya lembut.

 

Winda terhenyak. Dia sadar akhir-akhir ini terlalu banyak gelombang yang datang silih berganti menghempas jiwanya. Bahkan dia memilih mati, namun dia selalu berpikir bahwa bunuh diri itu dosa. Dan lelaki ini, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sama, tahu akan satu hal dalam hidupnya.

 

“Lebih baik di ceritakan daripada harus dipendam sendiri. Berbagi, dan itu akan membuat dirimu lebih tenang. Bukankah benda yang berat akan terasa ringan bila ada yang membantu?” Kembali lelaki itu berucap, tepat setelah menangkap kekhawatiran yang memburat di wajah Winda.

 

“Aa… emm,” akhirnya Winda terbata. Tidak tahu harus bilang apa lagi.

 

“Namaku Dar,” lelaki itu mengulurkan tangannya.

 

Winda sesaat diam, heran. Lantas tersenyum kaku dan menyambut uluran tangan itu. “Winda.”

 

“Nama yang indah, seindah pemiliknya.” Dar tersenyum.

 

Untuk sepersekian detik Winda baru menyadari akan sesuatu di tubuh Dar, senyumnya lembut dan manis. Senyuman yang seketika itu meningkatkan kerja jantungnya.

 

“Tt… thanks,” Winda melepas genggamannya di tangan Dar. Lagi-lagi Dar tersenyum. Karena khawatir debar jantungnya semakin menjadi-jadi, Winda akhirnya memilih pergi. Belum cukup lima langkah meninggalkan Dar, Winda berbalik.

 

“Kelas berapa?” tanyanya kemudian.

 

“Sama sepertimu, kelas dua belas,” sahut Dar.

 

“Ilmu Alam?”

 

“Ilmu Sosial.”

 

“O.” Ujung bibirnya meruncing. “Oke,” lanjutnya lantas berbalik dan melangkah pergi.

 

“Belum ingin cerita?”

 

“Belum waktunya.”

 

“O. Baiklah. Tapi, kamu bisa temui aku di taman ini setiap istirahat. Dan aku siap mendengar ceritamu. Aku orang yang pandai menyimpan rahasia, kok. Jadi, jangan ragu untuk cerita.”

 

Perkataan Dar hanya mampu mengeluarkan dua kata dari bibir Winda: terima kasih. Dan Winda pun pergi. Dar menatapnya dengan senyum berlayar di wajah.

 

***

 

Segalanya mengalir begitu saja. Masalah Winda pun masih begitu-begitu saja. Gelombang itu tak urung reda. Usai ke kantin sebentar, Winda ke taman itu. Letaknya agak jauh dari keramaian siswa. Ketika Winda sampai di taman, dia tak menemukan siapa-siapa, apalagi Dar yang memang di carinya. Winda mendesah berat.

 

“Kau mencariku?”

 

Sebuah suara terdengar di belakang kepalanya. Winda menoleh. Ah, selalu seperti ini, gerutunya dalam hati. Selalu muncul seperti jin, sama seperti kali pertama mereka bertemu.

 

“Dar.” Matanya berbinar ketika menyebut nama itu.

 

“Aku siap mendengar ceritamu,” Dar berkata sembari melangkah ke bangku taman, kemudian duduk menunggu.

 

Lagi dan lagi, pikir Winda, Dar sepertinya sudah tahu maksud kedatanganku memang untuk bercerita.

 

“Tidak usah heran begitu. Aku kan pernah bilang datang saja ke taman ini kalau kamu siap untuk cerita. Dan sekarang kamu datang. Apalagi coba kalau bukan untuk cerita?”

 

O, iya. Winda teringat. Aduh, bodoh banget sih aku.

 

“Hehe….” Winda menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

Dar tersenyum. “Duduklah.”

 

Seperti ada ledakan bom di dada Winda. Kepalanya seketika di penuhi gugusan tanya yang segera butuh jawaban. Tepat setelah menceritakan segala masalahnya’'; mulai dari masalah orangtuanya yang selalu bertengkar dan meminta cerai, dan masalah-masalah lainnya. Kembali Dar melontarkan kalimat yang sungguh di luar dugaan.

 

“Hampir setiap malam aku mendengar orangtuamu bertengkar.”

 

“Hah! Tahu darimana?” Rasa kaget seketika mengaliri wajah putih Winda. Bibir bawahnya di gigit sekali.

 

“Aku tetanggamu.” Kata-katanya mengalir lembut. Winda diam saja, mencoba memulihkan kekagetannya. “Aku sedikit tahu tentang keluargamu,” Dar melanjutkan.

 

“Tapi, aku tak pernah melihatmu?” Sebutir tanya yang sedari tadi bertengger di ujung bibir Winda akhirnya melesat.

 

“Aku bekerja. Sepulang sekolah hingga malam. Menjaga toko keluarga kami. Itulah sebabnya kamu tak pernah melihatku.”

 

“Berangkat sekolah pun aku tak pernah melihatmu?”

 

“Hehe….” Dar terkekeh sebentar, kemudian melanjutkan, “Aku berangkat sekolah saat kamu masih tidur.”

 

Winda tersipu malu. Wajahnya memerah. Angin berembus sepoi, menggetarkan helai rambut Winda. Bebungaan bergoyang. Dar segera memberi solusi atas masalah Winda, sebelum waktu istirahat habis. Winda menyimak. Dan hatinya tersenyum lebar.

 

***

 

 

“Setahuku, ini adalah tempat yang kau kunjungi setiap sore.”

 

Pohon Akasia berdiri kukuh, tempat Winda menyimpan punggungnya. Senja hadir dengan jemari cahaya yang lembut menyentuh padang ilalang. Winda mengenali suara di belakangnya. Lelaki itu lagi. Sekarang, dia hadir kembali tanpa undangan. membawa kejutan-kejutan yang selalu dan selalu menerbitkan tanya besar. Tahu darimana aku sering ke sini?

 

“Dar.” Winda menoleh.

 

“Boleh aku duduk di sampingmu?” pinda Dar. Winda mengangguk.

 

“Kamu tidak kerja?” Akhirnya Winda buka suara setelah beberapa saat.

 

“Hari Minggu. Libur.”

 

“O.”

 

“Bagaimana?” Dar bertanya, menatap wajah Winda yang kuning diterpa mentari sore. Winda mengerti ke mana arah pertanyaan Dar. Tentang masalahnya.

 

“Telah kucoba seperti saranmu.” Hening sejenak. “Mereka terlalu egois. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan demi aku, anaknya. Mereka tak tahu rasanya berada di posisiku.” Pandangan Winda mengabur. Matanya berkilat-kilat. “Aku akan tersakiti karenanya. Mungkin sampai bertahun-tahun andai mereka bercerai.” Kristal bening meluncur turun. Kemudian, “Aku jelaskan kepada mereka masih ada jalan lain selain bercerai. Aku jelaskan sampai menangis. Namun, tetap saja…. “ Air mata menganak sungai. Dar mengisi rongga dadanya dengan udara, sebanyak-banyaknya, lalu menyentuh pundak Winda dan membawanya dalam pelukan.

 

“Mereka terlalu egois,” desis Winda di antara isaknya.

 

“Kadang mereka butuh penjelasan berulang kali untuk mengerti apa yang kita rasakan,” Dar mencoba menenangkan dengan membelai rambut dan menggosok punda Winda. Lalu, beberapa saat kemudian, “Coba lihat senja di sana,” ujar Dar, telunjutknya menghunus cakrawala.

 

***

 

Dua minggu kemudian….

 

Dar tidak seperti biasanya. ini hari Minggu dan senja sedang bergelora di batas horison. Dar belum juga datang di padang ilalang. Apakah Dar memberi kejutan lagi? Muncul tiba-tiba di tengah lamunan Winda. Padahal, hari ini Winda memiliki kabar gembira. Ya. Keluarganya selamat dari ancaman perceraian yang saat itu seperti monster yang mengitari rumah mereka. Tapi, Dar tak kunjung hadir. Perasaan Winda berkabutkan resah. Ke mana Dar? Lupakah dia hari ini hari Minggu? Tidak. Tidak. Winda melemah.

 

Hari-hari berlalu menjadi minggu. Dan minggu meloncat menjadi bulan. Genap sebulan Winda melewati minggunya tanpa kehadiran Dar. Telah dicarinya ke rumah Dar sepulang dari tempat itu, beberapa minggu lalu. Namun, bukan Dar yang didapatnya. Dia mendapati rumah Dar kosong. Keluarga Dar tidak menempati rumah itu lagi. Dar pindah. Mengapa dia tidak memberitahuku akan hal ini? benak Winda bertanya-tanya. Dan berjarak beberapa hari kemudian, Winda mendapat kabar tentang Dar dari tetangganya. Bahwa Dar kecelakaan dan tidak dapat diselamatkan.

 

Seketika itu, Winda merasakan tulang-tulangnya seolah lenyap dari tubuhnya. Pandangannya menjadi sehitam kopi. Winda jatuh pingsan.

 

***

 

“Coba lihat senja di sana.”

 

Winda menghapus bulir bening di wajahnya. Korneanya bergerak perlahan mengikuti telunjuk Dar.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Perkataan Dar sontak membuat detak jantung Winda sejenak jeda berdenyut. Air matanya segera surut. Winda menoleh. “Dar….”

 

“Aku mencintaimu, Winda.” Winda ternganga. “Sungguh mencintaimu.”

 

Dan begitulah. Cinta terurai di antara keduanya di penghujung senja itu. Ilalang-ilalang kian erat berpelukan ketika angin bertiup mesra.

 

***

 

 

Dedaunan Akasia tempat Winda menaruh punggungnya teracak-acak dan bergetar. Pelukan di lututnya semakin erat. Ingatannya tentang Dar selalu seperti hantu yang menghantui setiap waktu. Matanya mengembun, untuk kemudian menitik di kedua pipinya. Winda mendesiskan sesuatu, “Aku rindu padamu, Dar.”[]

 

Baca juga cerpen lainnya: Laksana Purnama.

 

Cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di media masa, yaitu Kendari Pos pada bulan September 2011.



You may also like

1 comment: