Nyanyian Kutilang

/
0 Comments
motivasi burung kutilang
Dua hari saya tidak menulis apa-apa untuk blog ini—dan rasanya kok bikin resah, ya? Hehe... iya, saya merasa resah, entah mengapa, atau jangan-jangan ini menjadi tanda kalau saya mulai ketagihan untuk ngeblog? Entahlah. Yang jelas, dua hari tidak menulis karena tiba-tiba saja saya mentok. Tidak tahu harus menulis apa. Ada beberapa judul yang sudah saya tulis, namun saat hendak eksekusi, tangan ini nggak tahu harus menekan tuts mana. Memang sih, saya masih menulis, namun bukan untuk blog ini, melainkan untuk pribadi—curhatan begitu.

Postingan kali ini pun, saya tidak menulis untuk blog ini, melainkan mengutip salah satu tulisan penulis favorit saya, A. Fuadi dalam buku Rindu Purnama karya Tasaro G.K.—seperti juga yang saya lakukan pada postingan beberapa waktu lalu yang berjudul Hukum 10 Ribu Jam. Kali ini, tulisan A. Fuadi berjudul "Nyanyian Kutilang." Silakan baca dan semoga bermanfaat. Aamiin.

"Kasih sayang hakiki lebih dari sekadar memberi receh kepada pengemis, tapi melihat bahwa bangunan yang menghasilkan pengemis ini perlu dikonstruksi ulang."

—Martin Luther Jubg Jr.

Para Kiai dan ustaz saya di pesantren dahulu suka berbagi cerita. Topiknya aneka rasa, bisa kisah heroik pejuang kemerdekaan lokal, sampai cerita dari negeri-negeri yang jauh semisal Abu Nawas di Bagdad dan Napoleon Bonaparte di Eropa. Hikayat yang mereka sampaikan bisa membuat kami mengangguk-angguk sambil bengong, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, menggigit bibir cemas, atau berteriak kencang penuh semangat.

Mereka adalah story teller atau pencerita yang andal. Makna filosofis hidup yang rumit dibahasakan dengan santai sehingga menyelinap lembut ke relung hati. Herannya, walau ada cerita yang diulang-ulang, rasanya kami tidak bosan-bosan mendengarnya. Setiap halaman buku harian kami penuh coretan saripati cerita-cerita para guru ini. Salah satu cerita yang pernah disampaikan Pak Kiai adalah kisah keluarga burung. Hikayat itu kira-kira seperti ini:

Tersebutlah pasangan burung kutilang yang berbahagia hidup di sebuah sarang di atas cabang beringin yang rindang. Si betina sekarang bertelur, mengerami, sampai akhirnya telus menetas dan hadirlah seekor anak burung mungil.

Kutilang mungil ini memulai kehidupannya dengan menganga lebar meminta disuapkan cacing atau ulat oleh ibu dan bapak burung. Setelah agak besar, dia kemudian masuk kelas penerbangan, belajar terbang. Nilainya ternyata cukup baik sehingga mampu terbang dengan baik dan dapat "ijazah" sebagai burung yang boleh terbang sendiri.

Setelah punya keahlian terbang, burung kutilang ini semakin percaya diri dan mulai mencari makan dengan terbang ke pohon-pohon lain atau ke sawah. Ternyata pekerjaan mencari makan itu tidak sulit, asalkan dia bangun pagi dan bekerja keras mencari makan, dia pasti dapat ulat, cacing, dan biji-bijian. The early bird gets the worm. Temboloknya penuh, perut kenyang, dan dia bahagia sekali sehingga dia bernyanyi bercuit-cuit di kala pagi dan petang. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Ada usaha, ada makanan.

Tidak berapa lama kemudian dia mendapat jodoh seekor burung betina. Mereka berdua lalu sepakat untuk membangun sarang bersama di sebuah pohon jambu. Mereka kumpulkan ranting demi ranting sehingga menjadi sebuah sarang yang kukuh dan hangat. Hidup kutilang ini semakin bahagia karena si betina mulai bertelur dan menetaskan burung kecil yang mencicit-cicit.

Begitu terus hidup mereka berjalan, terbang mencari makan, kenyang, dan hidup senang. Besok mereka ulang lagi semua siklus hidup dan besoknya lagi dan besoknya lagi sampai mereka mati. Pagi bernyanyi, sore bernyanyi. What a happy life.

Sungguh banyak persamaan siklus hidup kita dengan kutilang ini. Manusia juga tumbuh besar dengan belajar, kuliah, kerja mencari nafkah, mencari pasangan, membangun rumah, dan punya anak. Sebagaian orangtua menasehati anak mereka untuk rajin belajar supaya dapat pekerjaan bagus, sukses, dan kaya. Kalau kita kemudian berhenti di tujuan: sukses, dan uang, maka sebetulnya kita mengikuti siklus seperti burung kutilang yang berbahagia tadi.

Nyatanya, kita bukan kutilang dan hewan lainnya. Kalau kutilang telah berbahagia dengan capaian duniawi, maka manusia dititipkan sebuah misi besar: pengabdian. Tuhan berfirman dalam Al-Quran bahwa penciptaan manusia hanya untuk mengabdi saja. Pengabdian kepada Sang Pencipta melalui ibadah kepada-Nya (mualamalah maallah) dan bergaul, menyayangi, dan bermanfaat bagi sesama manusia (muamalah maannas).

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain sehingga hidup seperti kutilang yang bahagia sungguh belum cukup buat manusia. Burung kutilang belum membawa manfaat buat sesama kutilang. Nabi Muhammad mengajak kita naik kelas dari kebahagiaan individu, kemudian menularkan ke sekeliling kita sehingga menjadi kebahagiaan bersama semua orang.

***

Suatu ketika Pak Kiai kami ditanya seorang wartawan, bagaimana rasanya punya santri yang sekarang sudah menjadi orang besar, pemimpin nasional, dan pejabat tinggi. "Siapa saja mereka itu, Pak Kiai?" tanyanya. Sayang, si wartawan mungkin kecewa. Kiai tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan. Malah berkomentar, "Orang besar itu banyak, ada yang merasa dirinya besar dan ada yang dibesar-besarkan orang. Bagi kami, orang besar adalah seorang yang mengajarkan sebait ayat di sebuah dusun terpencil atau di kolong jembatan, tapi dengan segala keikhlasan. Itulah ukuran orang besar kami." Ikhlas mengabdikan diri untuk kebaikan.

Setiap individu punya kemampuan dan kesempatan untuk bermanfaat, dengan cara kita masing-masing. Kini di berbagai belahan dunia ada kebangkitan minat orang untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain melalui berbagai cara. Di Bangladesh, Muhammad Yunus mendirikan bank yang "aneh" bernama Grameen. Bank yang unik karena nasabah yang meminjam uang hanya orang paling miskin di antara yang miskin, orang yang ditolak oleh bank karena tidak punya apa-apa untuk menjadi jaminan, orang yang selalu dianggap oleh sisten ekonomi biasa tidak layak dikasih kredit karena tidak menjanjikan profit dan berisiko macet.

Yunus tidak melihat bisnis sebagai pertimbangan utama, tapi dia lebih tertarik bagaimana bisa membantu orang miskin ini dengan kredit kecil. Kini sistem kredit mikro ini telah dinikmati oleh 8,3 juta nasabah dan 97 persen di antaranya adalah perempuan. Atas kontribusi yang besar ini, Yunus diganjar hadiah Nobel pada 2006.

Di ujung dunia lain, di tahun yang sama, pria terkaya dunia, Bill Gates, menyatakan muncul dari Microsoft untuk bisa fokus mengurus yayasan sosialnya. Untuk memberi manfaat buat lebih banyak orang. Di negara kita, tidak terhitung berapa banyak pribadi yang diam-diam mengabdikan diri untuk memperbaiki masyarakat, bahkan kadang-kadang dengan mengorbankan hidup mereka. Ibu Andi Rubiah yang berjuluk Suster Apung yang rela menempuh ombak untuk mengobati pasien-pasien di pulau-pulau terpencil antara Sulawesi dan Flores, Butet Manurung yang mengajar anak-anak di rimba Jambi, Tri Mumpuni Wiyanto dan Iskandar Kuntoaji yang merakit pembangkit listrik di desa pedalaman di Indonesia, hanyalah sekadar contoh yang tertangkap oleh media. Misi mereka untuk bermanfaat buat orang lain.

David Bornstein dalam bukunya How to Change the World: Social Entrepreneurs and the Power of New Ideas, menggelari gerakan yang peduli terhadap orang lain ini sebagai citizen sector atau pelakunya populer disebut social entrepreneur. Mereka adalah kelompok orang yang tidak tahan melihat orang lain kehilangan kesempatan yang seharusnya bisa mereka dapat.

Menurut Bornstein, gerakan citizen sector ini semakin berkembang antrara lain karena semakin banyak orang yang punya kemerdekaan, modal, waktu, dan kepercayaan diri melawan problem sosial. Mungkin juga karena banyak pemerintahan di dunia yang lamban atau bahkan gagal mengatasi kesulitan hidup masyarakat. Social entrepreneur adalah sebagian warga yang gregetan dan tidak tahan melihat masalah sosial tidak diatasi. Daripada mengeluh dan menyalah-nyalahkan pemerintah, mereka kemudian menyingsingkan lengan baju untuk mengatasi masalah sosial yang ada, mereka memilih untuk bergerak membantu diri sendiri dan segala keterbatasannya.

Majunya citizen sector ini bisa juga karena semakin kuatnya cengkeraman korporasi yang mampu meminggirkan kepentingan sosial masyarakat luas. Dalam bukunya yang kritis, The Corporation, Joel Bakan memperingatkan bahwa para korporasi telah menjelma menjadi raksasa bermodal besar sehingga bisa mengalahkan kekuasaan negara-negara berdaulat yang awalnya melahirkan mereka.

Kini, social entrepreneurship semakin diakui sebagai kajian dan profesi. Banyak kampus di Dunia Barat memasukkan bidang ini sebagai mata kuliah. Sebagai padanannya dari dunia korporasi, kemudian muncul pula bidang corporate social responsibility. Keduanya adalah bidang kajian baru yang melihat semua orang dan perusahaan sebetulnya punya tanggung jawab sosial membantu orang banyak di dunia semakin bergegas dan kompetitif ini.

***

Ada masa dalam hidup saya ketika saya sangat menikmati menjadi kutilang dan sudah sangat nyaman menjadi kutilang. Namun, ada pertanyaan yang terus mengetuk-ngetuk hati saya: Lalu hidup senang ini buat apa sebenarnya? Masa, sih, hidup hanya untuk begini-begini saja, lalu setelah itu mati dan tutup buku? Seperti burung kutilang yang kalau mati jadi bangkai, paruh, bulu, dan tulang hancur dimakan tanah?

Lalu saya ingat petuah para kiai dan ustaz, "Hidup sekali hiduplah yang berarti." Penciptaan ini untuk mengabdi. Dan pengabdian itu harus berarti. Hidup itu tidak tutup buku setelah mati, malah kita akan pindah ke hidup setelah mati yang kekal. Hidup kita untuk sebuah misi suci yang perlu kita sadari sebelum terlambat.

Jangan kita menjadi orang yang sedang berlayar di laut lepas, yang ketika ketemu kapal lain ditanya, "Anda mau berlayar ke mana?" Sambil menggaruk kepala orang itu menjawab, "Wah, ke mana, ya? Saya belum tahu, ya, mau berlayar saja." Siapa yang berlayar tanpa tahu tujuan akan bisa hanyut ke mana saja dan terapung-apung tanpa arah sepanjang masa. Berlayar tanpa tujuan adalah salah besar. Namun, hidup tanpa tujuan yang jelas adalah fatal. Silakan tanya lagi pada diri kita, apa tujuan dan misi hidup kita.

Jika misi itu sudah ketemu, mari kita belajar hidup yang lebih bermakna dari orang-orang seperti Muhammad Yunus, Suster Apung, atau Butet. Yaitu orang yang tidak puas hanya seperti kutilang yang bahagia bernyanyi pagi dan sore.



You may also like

No comments: