Sekarang, ia tahu mengapa orang-orang selalu mengatakan padanya bahwa jangan sekali-kali memberikan seluruh hatimu pada seseorang, atau kau akan menyesal. Memberi sebagian saja terkadang sudah membuat seseorang menyesal.
Saat itu, saat ia mendengar kata-kata itu, ia hanya tersenyum saja. Namun, di dalam hatinya, ia malah mendebat. “Bukankah kita tak boleh memberi seseorang setengah-setengah. Kalau bisa seluruhnya, utuh, mengapa harus memberi setengah. Lagi pula, ini masalah cinta, sesuatu yang ia rasakan sendiri, bahagia dengan perasaan itu, dan bagaimana bisa ia akan menyesal?”
Ia belum tahu. Saat itu, ia masih menjadi seseorang yang baru merasakan cinta. Dan itu, memabukkan. Dan, ia memang terbuai.
Namun, sekarang, ia tahu. Bukan hanya ditinggalkan oleh orang yang masih ia cintai yang membuatnya menyesal, terasa sakit di dada bagai dibelah kapak rasanya, namun karena ia tak mendengar perkataan orang-orang padanya, yang mengingatkannya, bahwa cinta tak pernah selalu indah. Bahwa, ia, yang sayangnya sudah terlanjur memberikan seluruh hatinya, kini harus belajar bertahan dari kenangan-kenangan yang akan membabi buta menyerangkan, dari keinginan dan hasrat yang mendambakan perjumpaan dengannya. Dan inilah yang menyakitkan. Barangkali, akan menjadi hal yang paling menyakitkan untuknya: bertahan mengabaikan orang yang masih dicintainya.
Sanggupkah? Hatinya sendiri meragu. Namun, sependar harap ada di dadanya, kelak, saat ia telah bisa meleraikan diri dari masa lalu, ia tak akan melakukan hal yang sama. Kelak, ia akan mencintai lagi, namun tidak untuk memberikan seluruh hatinya. Kelak, ia juga akan belajar merelakan meski perpisahan belum terjadi. Rasanya, itu lebih baik. Rasanya, itu yang terbaik.