Berapa hari, ya, saya tidak membuat postingan di blog ini? Saya pun tidak ingat, hehe. Tapi, alhamdulillah, ada seseorang yang ternyata selalu menunggu-nunggu tulisan saya. Sampai-sampai dia BBM supaya saya ingat blog dan tak lupa disertai emot muka marah. Saya tersenyum membacanya. Benar-benar menunggu rupanya. Terima kasih, Pat, untuk penantianmu :)

Lagi pula, proyek saya ini adalah menulis setiap hari. Bukan membuat postingan setiap hari. Walaupun pengennya bisa posting tulisan setiap hari, tapi kadang-kadang isi tulisan saya—kalau sedang tidak mood menulis—lebih sering mengarah ke curahan hati. Dan, karena bersifat pribadi, maka saya tidak posting. Dinikmati sendiri saja, sekaligus mengeluarkan uneg-uneg yang bersarang di hati—yang katanya baik untuk kesehatan dompet jiwa kita.

Oke. Mengingat sebentar lagi bulan Ramadhan, dan itu berarti nggak lama lagi saya pulang kampung—ya Allah kangen banget sama keluarga, terutama sama Bapak—belakangan saya mulai mencari-cari tiket di Traveloka. Harganya alhamdulillah, bikin galau, haha. Tidak apa-apa sih, yang penting bisa pulang kampung. Tadinya, ada keinginan tahun ini tidak pulang, tapi tiba-tiba terbersit pemikiran dalam kepala saya, bagaimana kalau tahun depan kesempatan untuk berlebaran bersama keluarga, melihat bapak yang begitu saya rindukan, sudah tidak ada lagi? Jadilah, tekad membulat, tahun ini, pulang! Ongkos larang alias mahal tidak masalah. Selama masih diberi kesehatan, insya Allah rejeki Allah masih bisa dijemput. Bertemu orangtua kan belum tentu bisa tahun depan. Umur, siapa yang tahu?

Berhubung akan pulang kampung, dan seperti biasa orang yang akan pulang kampung tak pernah lupa dihembuskan kata-kata mutiara, “Jangan lupa oleh-olehnya.” Jadilah pada hari Senin kemarin, hari di mana Daeng Rewa libur, saya dan kakak keluar mencari oleh-oleh. Saya sebenarnya ada rencana lain hari Senin itu, tapi mau tidak mau harus dibatalkan karena mencari oleh-oleh ini tidak bisa lagi saya lakukan bulan depan. Karena, kemungkinan besar, bulan depan tidak akan ada libur, karena akan dirangkap libur untuk lebaran. Akhirnya, saya dan kakak memutuskan ke Pasar Turi.

Seperti biasa, saya yang belum tahu jalur angkot di Surabaya ini, selalu mengandalkan Go-Jek ke mana-mana. Asyiknya naik Go-Jek itu gak perlu bermacet-macet ria, alhamdulillah. Namun, ada kejadian yang tak akan saya lupakan. Seumur-umur naik Go-Jek, baru kali ini saya mendapat driver Go-Jek yang “berbeda”. Ya, berbeda. Biasanya, kalau saya naik Go-Jek, sambil berkendara sang driver biasanya akan mengajak saya mengobrol, atau saya yang mengajaknya mengobrol. Tapi, kali ini, sang driver justru mengaji—atau mengulangi hapalan Al-Qurannya. Saya yang duduk dibelakang, kali pertama mendengarnya, berpikir sang driver lagi nyanyi. Hapalan Al-Qurannya bertabrakan dengan suara kendaraan lain membuat suaranya terdengar samar-samar, makanya saya berpikir begitu. Namun, lama-lama, saya menyadari juga kalau Pak Gojek ini bukan menyanyi, melainkan mengaji. Sampai-sampai saya mengangkat kaca helm dan sedikit mendekatkan kepala biar bisa mendengar lebih jelas.

Tenang, saya gak sampai kayak gini kok cuman buat dengar hapalan Al-Quran Pak Gojeknya. Memangnya saya cowok apaan, terong-terongan? Haha.
Sepanjang perjalan menuju Pasar Turi, Pak Gojek ini terus mengaji, dan saya juga terus bertanya-tanya ini benaran mengaji atau nyanyi, ya? Sulit benar memastikan. Saya hanya menduga-duga saja. Mau bertanya, nggak enak juga, hehe.

Dan, akhirnya, dugaan saya benar ketika Pak Gojek berhenti di depan Stasiun Kereta Api Pasar Turi. Lha, saya heran, kok berhenti depan stasiun, bukannya pasar. Ternyata Pak Gojeknya nggak ngeh kalau tujuan saya itu ke Pasar Turi.

“Oalah, ke Pasar Turi, to. Hapalan Al-Quranku jadi berhenti ini,” bilangnya sambil terkekeh kecil.

“Mas daritadi menghapal, ya?” aku akhirnya bertanya juga sambil naik kembali, siap-siap menuju Pasar Turi. “Dari tadi saya dengar-dengar mas, mau nanya tapi nggak enak, hehe.”

“Ya, begitulah. Ulangin hapalan saja, dikit-dikit.”

“Sudah berapa juz hapalannya, Mas?” tanya saya—padahal yang nanya 1 juz aja belum.

“Ndak gitu, sih,” sahutnya, tidak menyebut berapa juz—atau surah—yang sudah dihapalnya. “Ya, sekadar mengulangi hapalan tok. Daripada kosong, ya mending dipakai mengaji saja,” lanjutnya, tidak sadar kata-kata Pak Gojek barusan seumpama segenggam tangan yang tiba-tiba meninjuku, membongkar kesadaranku.

Tersenyum kecil sebentar, saya lalu menimpali, “Bener, Mas. Daripada kosong, nggak dapat apa-apa, mending mengaji aja, ya, dapat pahala. Masnya keren. Tambahin terus, ya, hapalannya.” Aku mengakhiri dengan sepotong pujian sembari mengingat waktu-waktu kosong yang saya miliki, yang isinya hanya bermain handphone—baca buku, sih, masih mending, lha ini social media doang. Malu, ah, saya.

Tak lama, saya melanjutkan, “Baru kali ini, lho, Mas saya naik Gojek yang driver-nya mengaji.”

“Masa, sih?” tanyanya.

“Iya, benaran. Baru kali ini.” Di kedalaman hati, saya bahagia sekaligus iri. Bahagia karena ada orang yang tak mau waktu luangnya berisi kesia-siaan saja. Dan, iri karena saya tidak bisa seperti Pak Gojek. Ya Allah, semoga Engkau memberi keistiqamahan dan rahmat pada Pak Gojek, yang entah siapa namanya. Aamiin yra.

Bersambung....


(Insya Allah akan saya lanjutkan besok.)

Berapa lama waktu telah bergulir, adakah kau ingat?

Kau tahu, aku terus menghitungnya kendati itu membuat dadaku menyesak—tak mengapa. Bagaimana kali terakhir kita bertemu, berpelukan lama, menyadari itulah kali terakhir pertemuan kita. Perpisahan adalah yang terbaik, begitu katamu. Haruskah aku memaksa? Haruskah aku memaksa untuk mengatakan bahwa kebersamaanlah yang terbaik, bukan sebaliknya. Namun, adilkah aku menahan kaki yang ingin melangkah? Meskipun aku tahu itu akan melukaiku, namun aku mencoba untuk membiarkanmu. Bila memang kepergian membuatmu bahagia, aku terima. Toh, kalaupun kau tetap berdiri di sisiku, bila itu tak membuatmu bahagia, bukankah itu lebih menyakitkan lagi?

Orang-orang bilang, cinta tentang penerimaan. Saat kita bisa memilikinya maupun saat kita tak bisa memilikinya. Kedua-duanya sama-sama menuntut kita untuk menerima. Dan, aku tak bisa memilikimu. Meski sulit, aku mencoba menerima. Cinta tak selalu menjelma dalam kebersamaan, bukan? Terus-menerus aku mengingatkan diriku seperti itu. Meski di kedalaman hati, harap untuk bersama masih terus memendar layaknya kunang-kunang pada malam nan gulita.

Ah, harap.

Seringkali, harapanlah yang melukai. Entahlah, aku hanya merasa seperti itu. Segala harapan-harapan yang kutitipkan padamu, segala janji-janji yang kau ucapkan—dan bodohnya aku percaya—membuat pintal harapan kian meraksasa. Aku tak marah kau pernah berjanji dan tak kau tepati. Aku hanya marah pada diriku sendiri, mengapa membiarkan harapan demi harapan menggumpali dadaku. Aku marah pada diriku sendiri mengapa tak pernah menyadari bahwa harapan yang dititipkan pada manusia selalu memiliki celah untuk diingkari—di kecewakan.

Aku yang salah. Aku yang bodoh.

Pada pertemuan terakhir itu, aku mencoba merelakan kepergianmu. Semua akan baik-baik saja, batinku terus merapal. Namun, nyatanya, semua tak baik-baik saja. Hari-hari yang menyambutku selalu datang dengan segenggam kenangan, membuatku terus-menerus mengingatmu. Berkali-kali aku mencoba mengabaikan, namun, mengapa begitu sulit? Orang yang masih kita cintai, yang pernah membuat kita bahagia, membuat hari-hari kita tak ubahnya senja—penuh warna—sungguh, bagaimanakah cara melupakannya?

Ada yang bilang, kita tak akan pernah bisa melupakan seseorang yang pernah singgah dalam kehidupan kita. Tapi, suatu ketika nanti, waktu akan berbaik hati meminggirkan semua tentangnya ke sudut ingatan. Sebuah pojok yang remang-remang, tak terlalu menarik untuk dilihat, karena kita menyadari di sana hanya ada luka, kecewa, dan air mata ketika kita mendatanginya. Ya. Pada akhirnya, semua hanya masalah waktu.


Dan, aku menunggu.
Islamic Book Fair, Balai Pemuda, Surabaya.

Sudah tiga kali gagal dalam proyek menulis 40 hari ini. Ya, seharusnya kemarin, Minggu tanggal 1 Mei menjadi tulisan ketujuh—dan ini seharusnya menjadi tulisan kedelapan—tapi kembali saya tidak menulis. Bedanya, kegagalan kemarin tidak terlalu membuat saya sedih. Bukannya apa-apa, masalah kegagalan saya kemarin bukan karena kemalasan saya untuk menulis, tapi karena tidak ada waktu—mungkin, lebih tepatnya sangat sedikit waktu—untuk menulis. Dari pagi sibuk menyiapkan jualan depot, lalu berhubung weekend, Daeng Rewa kebanjiran pembeli, alhamdulillah. Malamnya, saya harus ke Balai Pemuda, ke acara IBF atau Islamic Book Fair—ya, tempat terbaik buat khilaf beli buku, haha—sampai jam sembilan. Pulang-pulang sudah capek. Lelah yang terkumpul dari kesibukan kerja dan kesibukan mencari-cari buku di IBF. Akhirnya, yup, sudah tertebak: bobo cantik ganteng.

Hari Minggu. Meskipun hari yang penuh kesibukan, tapi saya bersyukur karena hari itu menjadi hari yang membahagiakan sebab bisa kopdar dengan teman dunia maya asal Salatiga—mbak Iken Vidya.

Saya mengenal mbak Iken karena uncle Dang Aji. Ya, seingat saya, waktu itu mbak Iken terpilih menjadi nominasi Unsa Ambassador—sebuah ajang pemilihan duta kepenulisan di grup facebook Untuk Sahabat atau Unsa. Uncle kemudian menghubungi saya, untuk menjadi mentor atau pendamping mbak Iken selama melewati masa seleksi. Tugas saya membimbing supaya tulisan mbak Iken bisa mengantarkannya menjadi pemenang—meskipun akhirnya mbak Iken gagal entah ditahap ke berapa, saya sudah lali alias lupa.

Meskipun gagal, kami terus berkomunikasi. Saling menyemangati dalam hal menulis—berhubung sama-sama jadi orang yang moody-an (atau pemalas, yak?) Mengobrol ngalor-ngidul sampai-sampai berasa seperti saudara sendiri. Sampai akhirnya, mbak Iken mengabari akan mbolang ke Surabaya bareng teman karibnya, mbak Mia. Tentu saja saya senang, karena itu berarti kami akhirnya bakal ketemuan. Kopi buaya darat. Tadinya, mbak Iken ke Surabaya dengan misi nonton Ada Apa Dengan Cinta 2, tapi akhirnya nontonya di Pasuruan. Dan ke Surabaya khusus buat bertemu saya *kibas poni sek* Harap maklum, menurut pengakuan mbak Iken, dia itu fans seberat 100kg sama saya. Padahal, saya mah apa atuh....

Sambil kerja, saya bertanya-tanya, mbak Iken dan mbak Mia mau ke sini jam piro-an, ya? Aku berharap datangnya agak sore, karena kalau siang alhamdulillah depot ramai—jadi ngobrolnya susah. Eh, ternyata, datangnya siang. Akhirnya, mau tidak mau, saya mengobrol dengan mereka sambil melayani pembeli yang terus berdatangan, seolah-olah tak mengerti saya sedang ingin mengobrol banyak dengan keduanya.


Seperti yang sudah lama diidam-idamkan mbak Iken, segera saja Es Pisang Ijo di pesan. Sop Konro. Buras. Nasi. Pokoknya uakeh tenan pesanannya, sampai-sampai saya bertanya, nggak bakal kekenyangan nanti? Eh, ternyata oh ternyata, kata mbak Mia, mbak Iken emang porsi makannya segitu haha. Ngak apa-apa sih, asal sehat dan dompet tebal sajah, silakan :D

Mbak Iken dan mbak Mia cukup lama di Daeng Rewa. Hingga akhirnya, mereka pamit dan akan kembali lagi ke Daeng Rewa karena saya ngajakin mereka untuk ke Islamic Book Fair di Balai Pemuda, mumpung lagi di Surabaya. Tapi, ternyata, dua cewek cantik itu mbolang sampai di Delta Plaza. Dapat bbm dari mbak Iken kalau kami ketemu di Delta saja, nanti bareng-bareng ke Balai Pemuda. Yowes ae aku mah haha.

Biar kayak penulis benaran, tanda tangan di novel Ketika milik mbak Iken :)
Alhamdulillah, rejeki anak sholeh, dapat Enting-Enting, oleh-oleh khas Salatiga.

Pada akhirnya, bertemulah kami di Delta Plaza dan menyusuri tepian jalan menuju Balai Pemuda, di mana telah menunggu Diniyah Hidayati,

Ada kejadian lucu. Ketika hendak menyeberang ke Balai Pemuda lewat zabra cross, ternyata kami gagal. Kendaraan-kendaraan tak ada yang memelan, tidak mengerti perasaan kami *eeaaa* Sampai akhirnya, kami mendengar suara, “tetot... tetot...” di kejauhan. Mbak Mia langsung bilang kalau kami lewat zebra cross yang ada “tetot... tetot...” nya saja. Dasar orang Indonesia, baru mau memelankan kendaraan kalau ada suara “tetot... tetot...” Zabra Cros mah diabaikan ae. Preeet!

Dan, di IBF, seperti yang sudah saya duga, kembali saya khilaf membeli buku, padahal stok buku yang belum di baca masih uakeh tenan.

Hasil Khilaf di IBF.
Puzzle buat keponakan, Athalla :)

Pada akhirnya, saya berdoa semoga bisa kembali bertemu dengan mbak Iken, juga mbak Mia yang mendampingi mbak Iken mbolang plus jadi fotografernya. Terkadang, dunia ini memang selebar daun kelor. Allah bisa saja dengan cara-Nya kembali mempertemukan kita. Insya Allah.