sumber: google “Aku ingin menjual semua kenangan saat masih bersama dia.”
“Kenapa?”
“Aku tak sanggup lagi menyimpannya. Terlalu menyakitkan bila terus ada di sana. Hanya cara itulah yang bisa kulakukan supaya hati ini menjadi lebih baik.”
“Tapi, bukankah dalam kenangan itu ada saat-saat kalian bahagia? Saat-saat cinta masih terasa begitu indah dan menyenangkan?”
“Memang. Tapi, aku tidak mengerti, kenangan-kenangan itu justru terasa menyakitkan sekarang.”
“Biarkan di sana. Kenangan-kenangan itu. Biarkan di sana, di tempat di mana seharusnya ia berada. Tak perlu menjualnya.”
“Aku tak sanggup lagi. Terlalu sakit, kau tahu.”
“Tapi, kau akan membutuhkannya.”
“Aku menjualnya berarti aku tidak membutuhkannya lagi.”
“Sekarang memang kau tak membutuhkannya, tapi nanti, saat kamu tak muda lagi, saat di sisimu duduk cucu-cucumu. Kau tahu, tak hanya dongeng yang bisa kau ceritakan pada mereka. Kenangan-kenangan itu pun bisa kau ceritakan.”
“Tapi….”
“Dengar. Biarkan kenangan itu di sana. Lagi pula, semua sakit yang kau rasakan sekarang, akan mengajarkan ketabahan pada hatimu.Seiring waktu berlalu, kenangan itu akan mengambil tempat di sudut ingatanmu, tempat terjauh yang takkan menyakitimu lagi. Tempat saat kau mengingatnya, hanya akan ada senyum kecil di wajahmu, bukan lagi air mata.”
“Jadi, aku tak perlu menjualnya?”
“Ya. Karena kau akan membutuhkannya. Biarkan ia di sana.”
Seperti matahari, kenangan perlahan-lahan akan memudar, namun tak pernah benar-benar hilang meski malam melindapkannya.
sumber: google

Pada akhirnya, semua janji yang pernah kau ucapkan, tak menyetia sebagaimana yang aku harapkan. Pada akhirnya, aku harus mengatakan pada diriku sendiri, setiap hari, bahwa aku telah kehilanganmu. Bahwa kamu yang dulu datang dengan segenggam cinta, kini telah melangkah menjauh meninggalkan sebekas luka. Di hatiku.
Kita tak lagi melangkah di jalan yang sama. Jalan kita telah berbeda. Di persimpangan itu, tempat di mana langkah kita berpisah, tempat di mana genggaman kita terlerai, kau mengatakan begitu banyak alasan. Aku mendengarmu dalam tangis tanpa suara, menyadari bahwa inilah waktunya, di mana aku akan kehilanganmu.
Ada begitu banyak alasan yang kau katakan sementara hatiku hanya membisikkan satu kalimat kecil: aku mencintaimu. Masih.
Kau sudah tuli, tak lagi mendengar segala yang kukatakan. Kau sudah lupa, tak lagi mengingat bagaimana kau datang dalam hidupku, tak lagi mengingat apa yang telah kita lewati bersama. Kau sudah buta, tak melihat betapa aku selalu mencintaimu, selalu ada di sisimu. Betapa di mataku hanya akan kau temukan pantulan dirimu.
Kau bukan lagi yang dulu.
Mengapa perasaan harus berubah? Mengapa perpisahan selalu menjadi pilihan terakhir saat masih ada pilihan lain yang tak perlu menyakiti? Tidakkah kau tahu, perpisahan tak benar-benar membuat semuanya berakhir. Yang kau tinggalkan masih harus berjalan pulang, tertatih-tatih sendiri dalam luka dan kenangan. Apakah kau pikir dalam perjalanan pulang nanti, segalanya seketika membaik?
Tidak. Sama sekali tidak.
Kau tahu, merelakan tak pernah mudah, sementara kenangan akan tetap mengendap dalam memoriku. Kau tahu, itulah bagian menyakitkan dari perpisahan. Itulah cairan pahit dari cinta. Pekat. Kelam.
Kini, mungkinkah menyesali pertemuan? Ah, kalau saja boleh, mungkin kita tak perlu bertemu. Cinta tak perlu menyatukan langkah kita, bila pada akhirnya kau menyakiti. Dan, terpenting, kenangan kebersamaan kita tak perlu ada.
Ah, kalau saja.
Namun, semua telah terjadi. Dan, sekarang, aku hanya perlu belajar tabah dan belajar merelakan—meski itu tak akan mudah. Kelak nanti, bila cinta mendatangiku lagi, aku akan mengingatkan hatiku, diriku, bahwa persimpangan selalu menanti di depan sana. Entah setelah berapa lama perjalanan. Namun, persimpangan itu ada. Pasti.
Dan, saat itulah, aku akan mempersiapkan hatiku untuk sebuah kehilangan. Sakit akan tetap ada, namun barangkali tak akan terlalu lama.
http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/hikmah/1183/cobaan-hidup-itu-mulia.htmlSiapa sih yang nggak pernah merasakan yang namanya 'cobaan’ di dunia ini. Rasanya nggak ada deh. Semua yang hidup, pasti pernah dapat dan merasakan cobaan. Hewan saja punya cobaan. Kuman juga pasti punya cobaan :D
Apalagi kita, manusia.
Ah. Cobaan, ujian, masalah, segala bentuk yang menghalangi langkah kita, keinginan kita, rasanya tidak menyenangkan sekali. Bikin pusing. Bikin galau. Sampai-sampai ada yang pengen mati saja. Astaghfirullah. Sekelam apa pun hidup kita, jangan sampai mengakhiri hidup menjadi pilihan terakhir kita. Itu malah lebih kelam lagi.
Sebenarnya, cobaan, ujian, masalah, yang menimpa kita itu adalah tanda cinta. Iya, serius. Itu tanda cinta Allah kepada kita hamba-hambanya. Lho, kok, bisa? Ya, karena Allah ingin menaikkan derajat kita. Yang tadinya, mungkin, di 5 menjadi 7. Siapa coba yang tidak senang kalau derajatnya di naikkan di sisi Allah. Siapa pun pasti senang.
Dan sesungguhnya jika Allah mencintai kepada suatu kaum, maka mereka akan diuji dengan berbagai macam musibah..(HR Tirmidzi)
Sayangnya, tidak mudah untuk mendapatkan semua itu. Kita mesti melewati jurang yang namanya cobaan. Sebagian orang ada yang berhasil bila dalam perjalanannya menyertakan kesabaran, kegigihan, doa, dan tawakal. Sebagian orang lagi ada yang gagal, malah ada yang menyerah sebelum mencoba. Yang paling parah, ada yang semakin menjauh dari Allah saat mendapat cobaan. Ini nih yang ngeri. Semoga itu tidak terjadi pada kita. Aamiin.
Ketika kita mendapat cobaan dari Allah, pertama-tama yuk kita datangi yang ngasih cobaan. Siapa lagi kalau bukan Allah. Yuk kita minta petunjuk dan penyelesaian yang terbaik dari-Nya. Yuk kita minta diberi kesabaran dalam menghadapi cobaan itu. Yuk kita minta semoga cobaan itu mengurangi dosa-dosa kita. Setelah itu, barulah kita action.
Apakah akan berhasil?
Belum tentu. Kadang-kadang, ada juga orang yang pengen langsung terkabul saja. Padahal, segalanya perlu proses. Kalau gagal, yuk kita datangi Allah lagi. Berdoa lagi dan lagi. Terus, kita action lagi deh. Belum juga berhasil? Yuk, datangi Allah terus. Pada akhirnya, kalau kita sabar dan berusaha, insya Allah jalan itu akan ada. Lagi pula, bagaimana mau ketemu jalan keluar kalau kita hanya duduk-duduk berharap. Yuk bergerak. Yuk berpikir. Sama seperti orang yang meminta diberikan hidayah, eh malah hanya nunggu-nunggu saja. Padahal hidayah itu dicari, dipancing gitu, lho :D
Ah, Cobaan. Itulah tanda cinta Allah pada kita. Tapi, aku malah dapat cobaan terus, nyaris setiap saat kayaknya, keluh seseorang. Nah, kalau sudah begini, jangan-jangan ada yang salah pada diri kita. Jangan-jangan cobaan itu bukan lagi tanda cinta Allah, tapi sudah teguran supaya kita kembali ke jalan-Nya. Itu berarti, saatnya kita bercermin.
Yuk, cobaan apa pun yang kita dapatkan saat ini, datangi Allah dulu, Allah lagi, dan Allah terus—seperti kata Ustadza Yusuf Mansur. Dan, mari kita saling mendoakan semoga masalah-masalah itu segera berlalu. Aamiin yra :)
Ingat, badai pasti berlalu.
http://studentpreneur.co/tag/cara-menjadi-bahagia/ Duh, terdengar gimanaaaa gitu, ya? Bahagia itu sederhana. Ah, masa sih?

Sebenarnya, sih, tergantung siapa yang mau di gantung :D Tergantung bagaimana seseorang memandang kebahagiaan itu sendiri. Sekarang, sebagian besar orang rasanya sudah dilengkapi kacamata “ada” untuk melihat kebahagiaan itu—ada uang, ada motor, ada mobil, ada gadget ini dan itu, ada pacar alias tidak jomblo ngenes lagi, ada istri, ada anak, dan ada-ada yang lain. Saya barangkali juga sudah memakai kacamata itu sejak kecil.

Tapi, sekarang, saya mau belajar melepaskan kacamata “ada” itu perlahan-lahan. Saya mau belajar percaya bahwa bahagia itu sederhana. Bahagia itu tidak ribet. Bahagia itu bukan berarti harus memiliki sesuatu. Bahagia itu bisa karena tidak memiliki apa-apa. Lho, kok, bisa? Ya, bisa saja. tergantung dari sudut pandang mana kita melihat kebahagiaan itu.

Ada satu cara gambang untuk merasa bahagia—sudah terbukti sama saya, entah nanti sama orang lain—yaitu pergi ke cermin dan lihat pantulan dirimu di sana. Jangan lihat ganteng jeleknya mukamu, tapi lihatlah segala yang sudah Allah berikan padamu, entah mata, entah hidung, entah rambut, entah tangan—semuanya. Menakjubkan bukan? Cobalah bayangkan kalau kita tak punya mata. Cobalah bayangkan tangan kita nggak ada. Cobalah bayangkan lebih banyak lagi. Lebih jauh lagi. Kesehatan. Jantung yang berdetak. Suara yang keluar dari mulut. Kaki yang berjalan. Punya keluarga. Dan, lebih besar lagi.

Ah, betapa luar biasanya!

Saat saya melakukannya, saya merasa bahwa tidak ada alasan untuk saya merasa sedih, mengeluh, menyesal, apalagi sampai galau tingkat provinsi Tak ada sama sekali. Satu pun! Namun, alasan untuk saya merasa bahagia, ya Allah, begitu banyak. Sangat banyak. Sampai-sampai tak terhitung lagi.

Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

Pada akhirnya, bahagia itu memang sederhana. Sederhana bila kita selalu mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Tak perlu melihat jauh di sekeliling, lihatlah diri kita, dan berbahagialah dalam syukur.
Yuk, sama-sama kita belajar percaya bahwa bahagia itu sederhana.