sumber: google

Di tengah euforia lebaran, kami sekeluarga mendapat kabar duka tepat pada hari kedua lebaran. Kabar itu datang dari negeri seberang, Malaysia, tempat di mana kakak saya, Anjas Bagea, dan istrinya, mbak SIten—begitu kami memanggilnya—bekerja sebagai TKI, mengabarkan kalau mbak Siten telah meninggal dunia.

Begitu mendengar kabar itu, yang terbayang dalam benak saya adalah sosok seorang perempuan berbadan gemuk—orang yang selalu saya usili dengan menyentil pinggangnya sambil bilang, “buka sitik josss”, orang yang saya suka masakan-masakannya, orang yang kalau tertawa seluruh badannya ikut bergetar, orang yang saya tahu bahwa dia adalah seorang pekerja keras, orang yang selera musiknya dangdut abis.

“Serius mbak Siten meninggal?” pertanyaan itu terus berdengung dalam kepala saya seperti kawanan lebah pindah sarang. Saya tidak bisa juga mengelak bahwa mungkin kabar itu tidak benar karena sebelumnya saya mendengar kabar kalau mbak Siten jatuh sakit, muntah-muntah dan sampai pingsan, dan harus dibawa ke rumah sakit.

Ada yang terbang dari diri saya saat itu. Meski tidak jatuh air mata, tapi ada yang lepas dari diri ini, menyisakan rasa lemas yang menjangkiti tubuh saya hingga berjam-jam kemudian. Sejujurnya, saya masih tidak percaya kalau mbak Siten telah meninggal. Padahal sebelumnya, pada hari lebaran, dia sempat menelepon orang rumah, meminta maaf atas segala salahnya, dan saat dia menelepon itu, dia sudah sakit, muntah-muntah—orang rumah bahkan mengira jangan-jangan mbak Siten lagi hamil, karena dia belum dikaruniai seorang anak sama Allah.

Allah punya rencana lain rupanya.

Bagi saya, mbak SIten bukan sekadar seorang kakak ipar, tetapi telah menjadi saudara dan menjadi bagian paling kental dalam keluarga. Dia berasal dari Jawa Timur, Blitar, namun cara ngomongnya sama sekali tidak ada aksen Jawa-nya. Malah, ketika dia bicara, lebih seperti orang Sulawesi, keras dan tinggi. Ini yang terkadang membuat orang lain ragu apakah benar mbak Siten orang Jawa? Tetapi, memang, mbak Siten itu lebih lama tinggal di Sulawesi daripada di Jawa. Biasanya ketika pulang dari Malaysia, mereka tidak singgah di Jawa, tetapi langsung ke Sulawesi. Meski pernah sekali pulang ke Jawa, namun tidak sampai dua minggu, mbak Siten sudah kembali lagi. Barangkali tidak betah berjauhan dari suaminya.

mbak Siten di Benteng Tuntutari, Idul Adha, 2013
Begitu banyak kenangan bersama mbak Siten yang akan selalu saya ingat. Begitu banyak saat-saat gokil dan ceria yang mustahil saya lupakan—saat membuat video sambil bernyanyi dan berjoget, terutama. Begitu saya kehilangan dirimu, mbak Siten. Akhirnya, saya dan sekeluarga hanya bisa mendoakanmu, juga merindukanmu, selalu.

Bukan apa-apa saya menulis tentangmu seperti ini, selain untuk mengabadikanmu, bahwa mbak Siten tidak hanya pernah “ada” dalam kehidupan saya, keluarga, kerabat, sahabat, dan orang-orang yang mengenalmu, tetapi mbak Siten pernah hadir di dunia ini, pernah turut mewarnai kehidupan ini.

Selamat jalan, mbak Siten. Semoga Allah memberikan tempat yang terbaik buatmu, mengampuni dosa-dosamu, melipatgandakan amal ibadahmu, memberikan suarga-Nya padamu. Aamiin yra. Insya Allah. Maha Luas Pengampunan Allah. Maha Pengasih Allah.

Selamat jalan…

Pada akhirnya, kita semua akan pergi. Akan melewati jalan bernama kematian itu. Dan, seperti ketika kita terlahir, pergi pun kita sendiri.

detik waktu terus berlalu, semua berakhir pada-MU —Opick.
aku
Kini, di antara aku dan kamu, berdiri dinding raksasa bernama jarak. Pada musim penghujan silam, saat di mana jarak itu mengambil celah, kita telah menyepakati untuk saling menjaga hati, kendati itu masih membuatku bertanya-tanya—mampukah kita?

Katamu, tidak perlu ada ragu di antara dua orang yang saling mencintai. Cinta tidak membutuhkan itu, karena cinta membutuhkan kepercayaan. Itulah yang harus kulakukan, katamu saat itu, juga akan kau lakukan, mempercayakan hati pada diri masing-masing, bahwa bagaimanapun, tidak peduli jarak itu begitu terasa, begitu menyiksa, cinta akan tetap melekat, bagaikan cat yang melapisi bangku taman yang kerap kita duduki pada setiap pertemuan.

Namun, kini, entah mengapa, ragu itu berkecambah. Dan, itu membuatku takut, sayang.

Aku takut bila jarak akhirnya mengikis apa yang telah begitu lama menempati ruang di dadamu; itu cinta. Aku takut bila jarak akhirnya tidak lagi menghadirkan rindu, sebagaimana ia telah menjadi candu untuk kita selama ini. Aku takut semua itu terjadi pada kita.

Kata orang, semua bisa terjadi. Mereka yang akan menikah beberapa hari lagi bisa saja urung, entah oleh alasan apa pun. Bagaimana dengan kita? Hanya ada jarak, dan bila segenggam kangen itu menyesaki dadaku, aku hanya bisa meraih-raih wajahmu dalam khayalku. Lirih suaramu tidak lantas menyembuhkan kerinduan itu.

Aku takut, sayang, bila Tuhan menghadirkan orang lain dalam hidupmu, memberimu rasa nyaman jauh daripada apa yang telah kuberikan, lantas mengubah seluruh rasa di hatimu. Inilah yang pada akhirnya membuatku bertanya-tanya, apakah kita mampu? Apakah kita mampu melawan rasa, mengkhianati segala janji yang telah ada. Inilah yang pada akhirnya membuatku, pada malam-malam sunyi dan sendiri, tak henti-henti merapalkan harap, semoga semua baik-baik saja. Kamu dan aku.

Semoga hati kita tidak lengah. Semoga Tuhan memberikan ketabahan pada kita, mengajarkan kita bahwa jarak bukanlah tempat mencari-cari alasan untuk saling meninggalkan. Semoga jarak adalah ruang di mana cinta dan kerinduan bagaikan nyala purnama pada gelap malam, membuncah dan menerangi. Semoga.
 
gambar dari sini

Pada postingan petama saya setelah begitu lama tidak mengisi blog ini, saya mau membagikan salah satu tulisan saya, berupa cerpen yang tergabung dalam buku antalogi The Dolphin Dreams. Kebetulan saat itu saya menjadi salah satu juri dalam lomba yang diadakan grup UNSA itu, yang bekerja sama dengan penerbit Diva Press, bersama dengan Kamiluddin Aziz. Temanya sih setiap tempat punya cerita cinta, dengan mengambil latar sebuah kota di Indonesia dan menyertakan segala keindahan, adat-budaya, serta kuliner. Dan, Uncle Dang Aji meminta saya menulis sebagai perwakilan juri, dan jadilah cerpen ini, yang berjudul Makassar, Jalan Kenangan.

Sila menikmati :)



Makassar, Jalan Kenangan
Oleh: Aiman Bagea
            “Dia sudah datang….”
Pantai Losari bergejolak; gulungan ombak kecil mengayun-ayunkan bebek air yang berenang perlahan di sekitar pantai, angin yang berembus mengasinkan bibir dan mempermainkan anak-anak rambut, pun di cakrawala sana keping mentari menggantung indah—serupa balon jingga. Pandanganku seharusnya masih melengket pada panorama nan indah itu, tetapi demi mendengar suaramu yang lemah, nyaris tanpa semangat, aku memutuskan menoleh. Detik yang sama bola mata kita bertumbukan—atau memang sedari tadi kamu menatapku, hanya saja aku tak menyadarinya?—namun dengan cara yang berbeda. Aku menatapmu penuh tanya, tidak mengerti dengan ucapanmu barusan, sementara kamu menatapku seolah-olah kesedihan akan segera terjadi.
            “Siapa?” Segaris alisku terangkat.
            “Seseorang yang akan segera menjadi pasangan hidupku,” bilangmu dalam-dalam menatapku. Sesaat aku menelan ludah lalu memikirkan kata-katamu, serius ataukah bercanda? Dari caramu mengatakannya siapa pun pasti akan menganggap bahwa kamu serius, tetapi, setelah aku memikirkan hal lain, aku pun tahu kalau kamu pasti hanya bergurau, ingin mengerjaiku.
Seperti bulan lalu, saat kita menjenguk Pantai Losari di suatu malam, kamu mengatakan Ibumu akan menjodohkanmu dengan seorang perempuan, yang katanya orangtuanya adalah sahabat Ibumu, sehingga mereka tak perlu ragu untuk saling berbesan. Aku benar-benar terkejut malam itu, bahkan mataku sampai menelagakan cairan bening. Namun, kamu buru-buru merangkul pundakku, seakan-akan kesedihan adalah sesuatu yang tak ingin kamu saksikan berparade di wajah ovalku. Berbisik kemudian, “Aku hanya bercanda, Andini.” Aku masih ingat, kedua tanganku seketika menyerang perutmu dengan cubitan. Kesal, tentu saja. Aku benar-benar takut kehilanganmu, kamu tentu tahu itu, kan? Gurauanmu tentang perjodohan laksana monster mengerikan yang akan merenggut kebahagiaan dari sanubariku, Sal.
Aku memutar kepalaku dan tersenyum timpang. “Kali ini kamu nggak akan bisa menipuku lagi, Sal,” sahutku.
“Aku serius, Andini!”
“Ya, aku tahu. Kamu serius mengerjaiku, kan?” Kembali aku melihatmu, tersenyum selebar mungkin sehingga putih gigiku bermunculan. Bukannya menyambut senyumku sebagaimana yang kerap kamu lakukan, kamu justru menunduk.
Perlahan-lahan senyum beranjak dari wajahku. Aku menelen ludah untuk kedua kalinya. Mereka-reka apakah kamu sedang berpura-pura atau memang begitulah kenyataannya. Namun, hatiku masih bertahan pada apa yang dia percaya, bahwa kamu hanya bercanda. Maka, aku tersenyum lagi. Mendudukan kedua sikuku di pagar beton yang memagari pantai. Sudut mataku masih dapat melihat tulisan Pantai Losari yang tegak berdiri tidak jauh dari kita. Dua kata yang selalu merebut perhatian siapa pun yang berkunjung ke tempat ini.
“Aku serius, Andini,” ulangmu berusaha menyakinkan pendengaranku. “Dua hari lalu aku dan dia bertemu. Kamu tahu, kan, semenjak kepergian Ayah, Ibu menjadi sosok segalanya bagiku. Aku nggak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekadar menolak perjodohan itu. Dan, yang menyedihkan, aku nggak punya pilihan,” sambungmu.
            Ada yang salah. Entah itu pada pendengaranku atau pada dirimu, Sal. Aku tidak tahu. Tapi, entah bagaimana, anggapan kalau kamu hanya bercanda perlahan meluntur dari hatiku dan sebagai gantinya ialah gugusan kepercayaan. Aku ternganga, tak menyangka. Memutar kaku tubuhku menghadapimu. Senja yang muncrat tidak hanya memerahkan rambut lurusmu, tetapi juga turut memerahkan wajah tampanmu, wajah yang selama dua tahun ini menggelimuni hari-hariku. Dari sepasang matamu yang bulat, bisa kulihat ketidakberdayaan memancar di sana. Begitu lemahnyakah kamu di hadapan Ibumu, Sal?
“Jadi,” suaraku bergetar. “Jadi, kamu nggak bercanda?” Kamu hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. “Jadi—” Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang tahu-tahu panas dan perih. “—yang pernah kamu katakan tentang perjodohan itu, juga bukan bercanda?”
Kamu mengangguk lagi. Sama lemahnya. “Maafkan aku karena membohongimu waktu itu. Aku melakukannya karena aku belum siap melihatmu sedih. Juga menunggu kalau-kalau keputusan Ibu tentang perjodohan itu bisa berubah.”
“Kamu membuat semuanya jauh lebih sulit, Sal,” gumamku. Meloncat air mataku tanpa suara. Daging bibirku bergetar-getar menahan suara isak yang bisa saja pecah. Aku menyeka pipi. Mengapa jadi begini?
“Aku sungguh minta maaf,” kamu menunduk saat mengatakannya. Kulihat kamu mengepalkan tanganmu. Dada bidangmu yang dibungkus kemeja abu-abu bergerak tidak beraturan.
Apakah kamu membenci dirimu sendiri, Sal, karena tidak bisa menjadikanku sebagai salah satu pilihanmu? Apakah kamu membenci dirimu sendiri, Sal, karena tidak bisa memperjuangkan cinta kita? Apa pun itu, segala kenyataan yang ada sekarang sekejap meremas hatiku tanpa ampun. Membuatku berharap kalau semua ini tidaklah terjadi. Mungkin aku hanya bermimpi. Mungkin aku hanya perlu menampar wajahku sendiri supaya aku sadar bahwa semua ini memang hanyalah mimpi. Namun, suara riuh pengunjung pantai yang bertebar-tebaran di sekitar kita sudah cukup menegaskan kalau semua ini adalah nyata. Nyata. Dan, aku tidak tahu harus bagaimana?
Marah?
Sungguh aku ingin melakukannya, namun aku tahu betul dirimu. Kamu pernah mengatakan padaku bahwa air mata Ibumu adalah sesuatu yang terlalu takut kamu lihat. Kamu pun selalu berharap menjadi sinar kebahagiaan bagi Ibumu, sepanjang hidupmu seumpama bisa. Meski kadang-kadang kamu harus berkorban, berkorban banyak hal, seperti sekarang ini, kamu harus mengorbankan cintamu sendiri. Sebentuk perasaan yang selama ini kita jaga dan berandai-andai kelak kita akan merawat anak-anak kita hingga rambut putih merayapi kepala.
Ah, semua itu….
“Sal,” desisku. Aku ingin memintamu atau lebih tepatnya memaksamu menolak perjodohan itu, namun aku tahu permintaanku tidak akan mengubah keputusanmu, tidak akan mengubah apa pun.
“Kamu perempuan yang cantik, Andini. Akan mudah bagimu melupakanku,” kamu berusaha menghiburku, tetapi, tahukah hal itu semakin menyerikan dadaku, Sal. Pantai Losari tiba-tiba menjadi mengerikan untukku. Sepihan-serpihan awan yang mengalir di langit, yang juga bermandikan cahaya senja, laksana monster-monster yang berkeliaran mengintai diriku. Ketakutanku kehilanganmu terjadi juga pada akhirnya. Dan, sedikit pun aku tak mampu mencegahmu.
“Apakah perempuan itu cantik, Sal?” aku bertanya, mengabaikan ucapanmu.
“Tidak lebih cantik daripada kamu, Andini,” sahutmu. Air mataku menitik. Buru-buru aku menyekanya—dulu, kamulah yang selalu menyeka air mata kesedihanku, Sal.
“Kapan kalian menikah?” Aku berusaha terlihat bahagia saat menanyakan itu, namun saat aku hendak menarik senyum, aku justru ingin menangis. Secepat kilat aku membekap mulutku. Khawatir aku akan terisak di tempat umum, bergegas aku mengayunkan langkahku menjauhimu. Jawaban atas pertanyaanku biarlah tak pernah kudengar, biarlah mengendap dalam mulutmu saja. Biarlah!
***
            Aku pernah berpikir bisa melupakanmu bertahun-tahun kemudian, tetapi aku salah. Bukan hal mudah melupakan yang pernah singgah. Aku masih setia mengunjungi tempat kali pertama kita bertemu, Sal—lebih sering pada malam Minggu. Aku akan duduk di sana, di kursi plastik yang banyak tertata di sepanjang jalan sekitar Pantai Losari, memesan makanan dan minuman yang sama, lalu dalam hiruk-pikuk suara kendaraan, obrolan-obrolan, dan lantunan suara jernih para pengamen, aku akan menyusuri jalan kenangan yang pernah kita lewati dahulu.
Ingatanku masih hangat tentang saat-saat itu, Sal.
Kala kamu memohon diri untuk duduk di kursi seberang meja, membuatku bertanya-tanya kenapa memilih duduk di hadapanku padahal masih banyak meja yang tidak berpenghuni. Karena mustahil aku menolak, terpaksa aku memangut-manggutkan kepala. Silakan. Kamu tersenyum, senyum termanis yang pernah kulihat, andai kamu tahu. Aku mendadak menjadi kikuk. Menggaruk-garuk tengkukku yang sama sekali tidak gatal dan diam-diam menyesal telah mengizinkanmu duduk bersamaku. Selama kamu menunggu makanan pesananmu tiba, aku berusaha mengabaikan keberadaanmu yang tahu-tahu mengguncang jantungku.
“Bibirmu,” tegurmu dengan telunjuk terhunus padaku. Kelopakku melebar, memandangmu tidak paham, bingung. Kenapa dengan bibirku? “Di sudut kiri, ada cokelatnya,” lanjutmu tersenyum. Aku langsung salah tingkah. Sebelah tanganku mendarat di sana untuk menyeka. “Pakai tissu, nanti tanganmu kotor,” tukasmu lagi seraya menyodorkanku sehelai tissu yang memang tersedia di meja, tetapi entah bagaimana aku melupakannya.
“Terima kasih,” kikuk aku berkata.
            Memperkenalkan diri, itulah yang kamu lakukan selanjutnya. Saat aku menjabat tanganmu, kehangatan tidak hanya mengepung mukaku tetapi juga mengepung bulat hatiku. Faisal, suara beratmu saat menyebut nama kadang-kadang memenuhi pendengaranku sampai kini. Entah, apakah kamu juga merasakan hal yang sama. Aku selalu menyakinkan diriku kalau kamu pasti tidak merasakannya, namun harapan untuk hal itu terkadang merekah dalam dadaku, tak mampu aku cegah.
Setelah kita melewati masa-masa itu—saat kamu menghubungiku setelah kita bertukar nomor ponsel, tidak pernah lalai mengirim pesan selamat pagi, saat kamu mengajakku keluar makan malam, dan terpenting, yang selalu aku rindukan saat ini, adalah ketika isi hatimu menyeruak keluar di hadapanku pada suatu malam yang buncah oleh derai hujan—berdua seringkali kita menyusuri kawasan Pantai Losari. Sekadar menyaksikan matahari menyelesaikan sisa edarnya di barat atau sekadar duduk menimati jajanan khas Makassar.
Aku tak akan lupa, Sal, kalau kamu lebih menyukai pisang Epe rasa original—jajanan dengan bahan dasar pisang yang di bakar kemudian di tekan hingga pipih dan sebagai topping diberi siraman lelehan gula merah—sedangkan aku lebih menyukai yang rasa cokelat. Kendati begitu, dalam hal minuman kita satu selera, kita sama-sama menyukai Saraba. Minuman itu ampuh menghangatkan dan menyegarkan tubuh karena terbuat dari jahe, juga gula merah, santan dan telur. Kali pertama minuman itu menyentuh lidah, sensasi pedas manis sekejap meledak di mulut. Namun, selanjutnya, kita akan menikmatinya sepenuh hati, tidak jarang sambil memejam mata lantaran nikmatnya. Ah, masa-masa itu, yang terkadang dengan bodohnya aku berharap bisa kembali terjadi. Padahal mustahil, sebab kamu sudah memilih, sudah menentukan, dan aku tak lebih dari sekeping kenangan.
Aku tersenyum getir.
Tempatku berada sekarang berhadapan langsung dengan Pantai Losari sehingga dengan mudah aku melihat kawasan pantai yang semakin gaduh dari detik ke detik. Lampu-lampu yang tertanam dalam bola kaca memendar indah. Pepohonan yang dikepung lingkarang beton, yang juga di fungsikan sebagai tempat duduk, bergetar-getar daunnya saat angin malam berembus kencang. Sedikit jauh dari tempatku berada, orang-orang mengitari sebuah panggung yang kerap diisi oleh para penyanyi lokal. Selama aku berada di sini, lebih sering aku melihat remaja tanggung, jalan dua-dua—meski tidak jarang jalan berombongan entah dengan sahabat atau keluarga—dan tertawa-tawa. Ketika aku menilik wajah mereka, sungguh, kebahagiaan itu benar-benar ada. Tentu saja, ini malam Minggu, malam yang pasti membahagiakan dan tidak ada alasan untuk bersedih.
Aku menunduk pada sepiring pisang Epe yang belum juga tersentuh mulutku. Saraba di sebelahnya kutaksir sudah mendingin sebab tidak ada lagi uap menari-nari di sana. Nggak enak minum Saraba kalau sudah dingin. Ya, kamu pernah mengatakan itu dulu, dan kini kata-kata itu kembali memantul-mantul dalam rongga kepalaku. Tahun-tahun yang memisahkan kita tidak lantas membuatku bisa melupakanmu, namun yang terjadi justru sebaliknya. Aku merindukanmu, Sal. Dan, sebagai satu-satunya penawar gejolak rindu itu adalah datang ke tempat ini. Di sinilah aku bisa menggapai-gapai segalanya tentangmu dan merasakan dirimu turut hadir di hadapanku. Di tempat ini pula aku terbiasa memekarkan harap walaupun tahu perbuatanku itu salah. Mengapa? Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah merelakan kepergianmu jika terus berharap.
Kembali bibirku tersenyum getir. “Aku tetap suka meski sudah dingin,” tanpa sadar aku menyahut lirih ucapanmu. Membayangkan kamu mengibarkan senyum manismu mendengar ucapanku barusan.
“Lalu, kenapa nggak di minum?” segaris suara menerobos telingaku. Seketika aku merasakan ada loncatan kecil dalam diriku, terkejut, pun tidak menyangka. Aku berani bertaruh, suara di balik punggungku saat ini bukanlah suara yang baru kali pertama kudengar. Suara itu adalah suara yang demikian aku rindukan selama ini. Benarkah itu suaramu, Sal?
“Boleh duduk di sini,” pintamu. Mataku bagai ingin keluar dari wadahnya begitu melihat kamu, benar-benar kamu, melesat duduk di hadapanku. Udara malam yang dingin, yang sedari tadi mengalir pelan dalam dadaku, tiba-tiba mengental dan membuat paru-paruku tercekik.
“Aku nggak mengganggu kan?” tanyamu tersenyum.
Sungguh, aku ingin menghambur kepelukanmu detik ini juga, ingin melarutkan rindu yang telah lama membeku di pedalaman hatiku, akan tetapi hal itu tidak mungkin lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah duduk meremas-remas tanganku. Memperhatikanmu lekat-lekat sementara jantungku berdegup serabutan. Sal, rupanya wajahmu tidak banyak berubah, kecuali kantung matamu yang mulai membengkak dan raut wajahmu yang kian dewasa. Aku hampir tidak percaya saat mendapati caramu menatapku, yang bagaimanapun tidak bisa menyembunyikan rasa itu—kerinduan.
Bagai robot aku menggeleng kaku. Tidak, Sal.
“Apa kabar, Andini?” tanyamu lagi dengan senyum merekah. Tubuh tegapmu condong saat kedua tanganmu menyatu di meja.
“Baik,” jawabku berusaha santai. “Meski nggak sebaik dirimu,” tambahku.
Aku bisa melihat perubahan di wajahmu dan senyummu perlahan mengecil sebelum akhirnya benar-benar hilang. “Maafkan aku, Andini,” katamu penuh penyesalan.
“Nggak ada yang perlu di maafkan, Sal.” Melihatmu berada di sini sudah cukup membahagiakan untukku, meski tidak bisa dimungkiri aku berharap lebih, kita seperti dulu, bersama-sama. Tidak seperti sekarang.
            Selanjutnya kita mengurai obrolan. Atas permintaanku, yang dengan terpaksa aku tanyakan karena rasa penasaran, kamu menceritakan tentang keluargamu. Setelah menikah, kamu dan perempuan itu—Sifa—memutuskan tinggal di Bandung, kota di mana istrimu pernah menuntut ilmu. Sekarang istrimu tengah hamil tua setelah tiga tahun pernikahan kalian. Kamu ke Makassar bukan dalam rangka kerja atau apalah, tetapi karena ibumu sakit sehingga kamu harus meninggalkan istrimu seorang diri. Tidak lama kamu di sini, hanya seminggu. Dan, dua hari lagi kamu akan terbang meninggalkan Kota Daeng ini, meninggalkan aku yang akan sangat merindukanmu.
            “Setiap tahun aku datang ke Makassar, tetapi kita nggak pernah ketemu. Kenapa kamu mengganti nomormu?” tanyamu saat kita berjalan-jalan di sekitar Pantai Losari. Saat-saat seperti ini sudah lama aku rindukan, berjalan bersamamu, seperti dulu, meski semua tidak sama lagi. Ada tembok yang menjulang di antara kita.
            “Aku nggak ingin jadi masalah dalam rumah tanggamu,” ucapku pelan. Bukannya apa-apa, kalau aku sampai tidak mengganti nomorku, bukan mustahil kamu akan menghubungiku, mungkin akan sering, dan hal itu boleh jadi membuat istrimu curiga. Saat sesuatu yang lebih buruk terjadi, pastilah aku yang menjadi masalah utamanya. Aku tak ingin, Sal. Tidak peduli seberapa inginnya aku memilikimu.
            Kamu memilih bungkam sampai langkah kaki kita mencapai pagar yang berdiri mengitari pantai. Berdiri di sini, angin menerpa-nerpa wajah kita, mengibarkan apa pun dari diri kita yang mudah dikibarkannya. Aku melihat rambut di ubun-ubunmu terarah ke langit, memperlihatkan dahi lebarmu yang bersih.
            “Bagaimana kamu belajar mencintai dia, Sal?” aku melemparkan tanya yang sedari tadi bermain-main di benakku.
            “Tidak sulit. Sifa nyaris seperti kamu, Andini.”
            “Rambutnya bergelombang?” aku menebak. Pernah aku berencana meluruskan rambutku tetapi kamu protes keras. Dengan tegas kamu mengatakan padaku untuk belajar mencintai apa yang sudah Tuhan berikan. Kamu cantik dengan rambut bergelombang, Andini, katamu sembari membelai-belai rambutku—dulu.
            Senyum tersimpul di bibirmu. “Ya. Dia juga suka warna ungu. Kamar kami sampai dominan warna ungu.”
Aku menggigit bibirku. Ah, seharusnya akulah yang melakukan semua itu, Sal. Akulah seharusnya!
            “Bagaimana dengan kamu, Andini? Bagaimana kamu belajar mencintai orang lain?” kamu melempar pertanyaan serupa.
            “Terlalu sulit. Lantaran sulitnya sampai sekarang aku masih sendiri,” akuku.
Kamu memberiku tatapan tidak percaya. “Kenapa?” Aku menunduk melihat lautan di bawah sana, tidak tahu harus menjawab apa. “Kenapa, Andini,” desakmu.
Aku mengedikkan bahu. “Entahlah. Tapi, kadang-kadang aku masih mengharapkanmu. Aku nggak tahu, bagaimana melenyapkan perasaan itu, Sal. Apakah aku salah masih mengharapkanmu?”
Kamu menggeleng pelan setelah berpikir sejenak. “Tapi, itu nggak baik, Andini. Kamu harus belajar membuka hatimu untuk orang lain, nggak bisa terus seperti ini,” katamu lembut.
“Sudah aku coba, Sal!” nada suaraku menegas. “Tapi, saat aku mencoba mencintai orang lain, yang terjadi justru aku akan menyakiti orang itu.”
Bibirmu membuka hendak mengatakan sesuatu ketika ponsel di saku celanamu berdering. Lekas kamu meraih benda mungil itu dan menempelkannya ke wajahmu. Beberapa saat kamu terlibat pembicaraan dengan seseorang di seberang, mungkin istrimu atau entah siapa. Aku tidak peduli. Aku memilih tidak mendengarmu. Melempar pandanganku ke arah lautan yang gelap sedang pendengaranku sengaja kupenuhi dengan alunan musik yang membahan di panggung tidak jauh dari kita.
Aku tersadar kalau teleponmu sudah berakhir saat tanganmu menyentuh pundakku. “Andini, maaf aku harus pergi. Istriku terpeleset di kamar mandi dan dia masuk rumah sakit,” bilangmu cemas lantas berlari meninggalkanku. Apa? Terpeleset di kamar mandi? Aku membekap mulutku. Bagaimana dengan anakmu?
Ya Tuhan!
***
            Senin sore, saat langit senja membentang penuh gelora, seorang diri aku berjalan-jalan di Pantai Losari. Aku mendatangi tempat di mana kamu dan aku terakhir bertemu malam kemarin. Ketika pembicaraan kita mulai memoros pada hati, namun kabar buruk itu seketika menghentikannya. Karena kita sempat bertukar nomor ponsel, pagi tadi aku langsung mengirimkan pesan padamu, menanyakan keadaan istri dan anakmu. Sampai sekarang belum ada balasan akan pertanyaanku itu. Tidak mengapa. Kamu mungkin tidak punya waktu untuk membalasnya karena kesibukanmu yang sebentar lagi akan menjadi ayah—atau mungkin telah menjadi ayah?
            Ayah.
            Aku mendesah. Aku pernah bermimpi bahwa kamulah yang akan menjadi ayah untuk anak-anakku kelak. Kamu mungkin sudah lupa mimpiku itu, tetapi aku tidak. Tidak sama sekali, Sal. Langkah kakiku pelan-pelan menyusuri pantai, menyentuh lembut  pagar yang hangat oleh sinar matahari, pun cerah oleh warna senja. Selepas malam itu, kamu tahu, aku mulai menimbang-nimbang ucapanmu. Bahwa aku tidak bisa terus seperti ini dan bagaimana pun aku harus membuka hatiku untuk orang lain. Mungkin aku harus mencoba merelakanmu, seperti matahari yang merelakan dirinya di telan lautan, seperti langit yang merelakan senja pergi untuk kemudian digantikan malam.
Ya. Mungkin.
Aku hanya perlu mencoba kembali.
            Saat aku hendak meninggalkan kawasan pantai karena malam mulai membayang-bayang, sebuah pesan menggetarkan ponselku. Dari kamu, Sal. Aku buru-buru membuka dan membacanya:


            Istri dan anakku tidak bisa di selamatkan, Andini.[]