Lelaki Tangguh Itu Bernama Bapak

/
0 Comments

Narto menatap wajah teduh bapaknya di hadapannya. Di tatapnya lekat wajah yang mulai tampak tua itu, wajah yang menghitam karena terbakar matahari juga rambut yang hampir sepenuhnya berwarna tembaga. Narto tak bergerak dari tempatnya berpijak. Tas ransel hitam yang terlihat penuh dan berat masih bertengger di bahunya. Pandangan Narto tak beralih ke arah ibu dan adik perempuannya, melainkan hanya ke arah bapaknya. Di lihatnya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

"Bapak," desis Narto. Dari wajahnya memancar cahaya bahagia bercampur sedih. Sampai lelehan kristal baning meluncur dari tepi matanya, Narto tak menyadari hal itu. Yang bergejolak dalam pikiran dan hatinya hanyalah tentang bapaknya. Tentang apa yang sekarang di lihatnya dengan begitu jelas. Bukan lagi mimpi atau pun khayalan yang acap kali menghampirinya saat tidur pun saat jiwanya di dera rasa rindu. Tapi, ini nyata. Ini bapaknya, lelaki yang yang selalu membakar semangatnya untuk sekolah.

"Narto," ucap bapak Narto yang bernama Nani dengan wajah bertahtakan senyuman. Narto tidak sempat membalas senyuman bapaknyakarena pelukan erat segera tercipta. Narto memejam matanya, menikmati aroma tubuh bapaknya, aroma yang selalu di rindukannya. Pak Nani ikut meneteskan air bening dan tangannya menepuk-nepuk punggung Narto.

"Apa kabar, Nak? Bagaimana dengan kuliahmu? Kami di rumah selalu merindukanmu," kata Pak Nani kemudian.

"Narto alhamdulillah sehat, Pak. Kuliah juga alhamdulillah lancar. Sama dengan Narto, Pak, Narto selalu rindu sama bapak, ibu dan Nisma," sahut narto sembari melonggarkan pelukannya. Detik berikutnya Narto menghampiri ibunya, lantas memeluknya.

"Narto rindu masakan Ibu."

"Iya, nanti Ibu masakin telur mata sapi kesukaanmu sebentar ya."

Selanjutnya Narto bergerak menuju adiknya, Nisma. Di peluknya penuh sayang. "Bagaimana sekolahmu, Nis? Dapat juara berapa? Sekarang sudah pakai jilbab, makin cantik deh," tanyanya menatap wajah Nisma yang berbalutkan jilbab putih gading.

"Sekolah baik, Kak. Alhamdulillah aku dapat juara 2, saingannya lumayan banyak, sih. Pada pintar-pintar semua teman sekelas, hehe," Nisma menjawab lembut dan mengakhirinya dengan tawa kecil.

"Sejak kapan pakai jilbab, Nis?" tanya Narto lagi.

"Sejak bulan lalu. O iya, makasih ya udah bilang Nisma cantik. Hehe..."

"Kan emang Nisma cantik. Iyakan, Pak, Ibu?" Narto menatap bapak dan ibunya, menunggu jawaban. Bapak dan ibunya hanya tersenyum. "Tuh, kan, Bapak dan Ibu saja bilang kamu cantik." Narto tersenyum simpul.

"Udah dari sononya kaliiii. Haha," timpal Nisma sambil membelai wajahnya dengan bangga.

"Yeee, kepedean amat sih kamu." Narto tertawa.

Nisma segera mencubit lengan Narto. "Aaah Kakak."

Semburat kesedihan perlahan lenyap dan digantikan dengan semburat bahagia yang memancar begitu memesona.

***

Ruang tamu yang sederhana itu tiba-tiba terasa panas, padahal udara di luar berhamburkan hawa dingin setelah hujan mengguyur siang hampir dua jam. Narto diam. Namun tidak berarti pandengarannya ikut diam pula. Narto masih menyimak perkataan-perkataan bapaknya.

"Narto harus kuliah," ucap Pak Nani tegas. Narto mendongakkan wajahnya, menatap wajah bapaknya dengan raut memelas.

"Kasihan Bapak. Untuk memberi makan keluarga saja sudah setengah mati. Bagaimana nanti kalau Narto kuliah. Narto tidak apa-apa kok kalau tidak di kuliahkan. Nanti Narto bisa bantu bapak cari uang. Di sekolahkan hingga tamat SMA saja Narto sudah sangat bersyukur, Pak." Narto membuang pandangannya ke luar jendela. Menatap pohon-pohon kelapa yang tumbuh menjulang laksana menara. Sejenak, Narto ingin menyimpan semua mimpi-mimpinya di pohon-pohon kelapa, di daun nyiur, di buah, di akar dan batang pohon kelapa. Dan nanti setelah memiliki banyak uang, barulah Narto mengambil mimpi-mimpinya itu lantas mewujudkannya.

Andai ekonomi keluarganya tidak memprihatinkan, tidak selalu membuat Narto sedih tatkala memikirkan bapaknya yang mengais-ngais rejeki dengan cara yang sungguh berat, pasti dengan semangat yang menderu Narto meminta di kuliahkan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, dengan kekayaan alamnya yang melimpahlah yang membuat keluarga Pak Nani dapat bertahan melewati hari-hari. Melalui pohon kelapa yang dominan tumbuh di Pulau Kabaena, yang selalu di olah menjadi kopra atau minyak goreng oleh masyarakat, Pak Nanti mengais rejeki. Pak Nani bekerja sebagai seorang pemanjat kelapa atau biasa di sebut pomone ni'i. Dan hasil kerja Pak Nanti biasanya di bayar dengan menghitung jumlah pohon kelapa yang berhasil dipanjatnya. Satu pohon di hargai dua ribu lima ratus rupiah.

Baca juga cerpen lainnya: Makassar, Jalan Kenangan.

"Tidak usah pikirkan besarnya biaya kuliah. Semua itu nanti bapak yang pikirkan. Tugas Narto hanya kuliah sampai selesai lalu kerja."

"Narto tidak memikirkan biaya kuliah, Pak. Narto memikirkan Bapak. Bapak sudah tua dan Narto tidak ingin menyiksa Bapak dengan Narto kulaih." Nada suara Narto sedikit meninggi.

"Bapak tidak merasa tersiksa karena Bapak melakukannya untuk anak Bapak, untuk kamu." Suara Pak Nanti ikut meninggi.

"Tapi Bapak dapat uang darimana? Penghasilan Bapak tidak akan cukup membiayai kuliah Narto. Tidak akan!!" Aliran hangat mengumpul di hati Narto. Napasnya menderu.

"Bapak sudah bilang, Narto tidak usah pikirkan soal biaya kuliah!"

Narto berdiri dari duduknya, "Narto tidak mau kuliah. Titik!"

Dan seketika ruang tamu menjadi gaduh. Pak Nanti berdiri menampar Narto. Lalu di raihnya kerah baju Narto dan berkata, "Mau sampai kapan keluarga kita begini terus. Miskin dan kumuh. Bapak ingin Narto kuliah biar nanti Narto yang mengubah keluarga kita. Mengangkat derajat keluarga kita dengan ilmu yang kamu miliki. Kenapa Narto tidak mengerti juga maksud Bapak ingin menguliahkanmu. Narto harus kuliah dan Bapak akan berusaha sekuat tenaga agar kuliahmu selesai."

Narto yang sebelumnya begitu keras dengan keinginannya membantu keluarga, perlahan melemah dan menguat lagi pada keinginan yang lainnya yaitu kuliah. Pak Nanti melepaskan genggamannya di kerah Narto lalu jatuh terduduk di kursi. Kepalanya menunduk menatap lantai rumah yang terbuat dari papan. Narto menitikkan air mata tanpa suara.

"Bapak ada apa?" Bu Sulha, ibunda Narto yang mendengar suara ribut tiba-tiba datang menghampiri mereka dan melempar tanya. Tampak Bu Sulha barusan bangun tidur karena matanya sedikit memerah dan wajahnya yang kusut. Pak Nanti tidak menjawab. Pak Nani hanya diam, sesal telah menampar Narto masih bercokol di dadanya.

Lalu, Bu Sulha menghampiri Narto yang masih menangis. "Ada apa, Nak?" tanya Bu Sulha.

"Semua salah Narto, Bu. Harusnya Narto mengikuti kemauan Bapak. Bukan menentangnya," jawab Narto seraya duduk. Bu Sulha ikut duduk di samping anaknya.

"Memang bapakmu mau apa, Nak?" Bu Sulha melirik Pak Nanti yang masih menunduk diam.

"Bapak mau narto kuliah, Bu." Bu Sulha mendesah kuat. Dibelainya pundak Narto kemudian.

"Pak, memangnya uang darimana mau kuliahin Narto?" terlihat keraguan memburat di wajah Bu Sulha. Lagi-lagi Bu Sulha mendesah berat.

"Ibu, sola biaya nanti Bapak yang pikirkan. Yang penting ada kemauan. Ini demi mewujudkan mimpi Narto, demi keluarga kita," ujar Pak Nani mantap walau masih ada sisa-sisa penyesalan di wajahnya.

"Ya sudah. Kalau bapakmu maunya begitu, ikuti saja kemauannya, Nak. Wujudkan mimpimu dan buat keluarga kita menjadi lebih baik. Ibu dukung dan Ibu akan berusaha juga." Ada senyuman di ujung kalimat Bu Sulha.

Narto mengangguk, "Iya, Pak, Bu. Narto akan kuliah."

Wajah Pak Nani berubah sumringah. Perlahan tapi pasti senyum melengkung di wajahnya yang teduh.

***

Kenangan tiga tahun lalu terputar ulang dalam laci ingatan Narto, ketika dia tengah duduk di kursi ruang tamu, menatap pohon-pohon kelapa melalui mulut jendela. Matanya tampak seolah berhamburkan kaca. Kenangan itu yang membuat Narto semangat mengejar impian. Bukan. Lebih tepatnya perkataan bapaknya, harapan-harapan bapaknya. Di kedalaman benaknya, ada keinginan Narto bertanya bagaimana bapaknya bisa membiayai kuliahnya sampai saat ini. Tapi, tanya itu terpaksa di pendamnya dan berjanji tidak akan mempertanyakannya lagi. Narto takut melukai hati bapaknya. Narto hanya yakin satu hal, bapaknya akan melakukan apa pun dan berusaha agar kuliahnya selesai. Narto mendesah. Air matanya susut ketika ibunya datang menghampiri.

"Nak, telur mata sapi kesukaanmu sudah jadi. Yuk, kita ke dapur," ajak Bu Sulha. Narto bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti ibunya. Sesampai di dapur, di dapatinya bapak dan adiknya duduk melantai di hadapan makanan yang seadanya. Seadanya namun itulah makanan yang selali dirindukan Narto. Ada nasi, ikan asin yang ditumis bersama asam, sayur lodeh, dan telur mata sapi. Sebelum makan, Narto sempat menatap bapaknya. Hatinya bergumam: hidup kita akan lebih baik dari sekarang, Pak. Narto janji. Bapak adalah lelaki tangguh yang selalu membakar semangat Narto, yang selalu menguatkan Narto di saat Narto dalam kerapuhan. Narto sayang Bapak. Bapak lelaki tangguh nomor satu di hati Narto.

Mereka pun menikmati hidangan yang menggugah selera itu.

Cerpen ini termuat dalam buku antologi "Lelaki Beraroma Ayah". Saya masih ingat, cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang berhasil dibukukan—meskipun penerbit indie, tapi rasanya membahagiakan—setelah berkali-kali mengikuti lomba-lomba di sosial media facebook.
 


You may also like

No comments: