Hukum 10 Ribu Jam

/
2 Comments
waktu blog
Pada postingan kali ini, saya mau berbagi salah satu tulisan penulis favorit saya, A. Fuadi dalam novel Rindu Purnama karya Tasaro G.K. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semua. Aamiin. Berikut ini tulisannya:

Imam Syafi’i, pemimpin mahzab fikih yang hidup di abad ke-8 Masehi, sungguh gemar merantau untuk menuntut ilmu. Selama hidupnya dia antara lain berpindah dari Gaza, Mekah, Madinah, Yaman, Bagdad, dan Mesir. Dengan pengalaman berburu ilmu ini dia pernah memberi nasihat kepada para pelajar agar berhasil. Di antara tip itu adalah harus “rakus’' menuntut ilmu, bersungguh-sungguh, dan perlu investasi waktu yang lama untuk belajar (thulu zaman). Namun, seberapa lama? Setahun, sepuluh tahun, atau lebih? Ulama terpandang ini tidak memerinci.

Mungkin Malcolm Gladwell, penulis buku laris Outliers, bisa membantu kita mendefinisikan panjangnya waktu belajar. Dalam bukunya ini, Gladwell berkisah panjang lebar tentang rahasia di balik sukses orang-orang berpengaruh di dunia. Di antara bahasan yang paling menarik dalam buku ini adalah “hukum 10 ribu jam” yang disadurnya dari penelitian seorang ahli psikologi dari Florida State University, K. Anders Ericsson.

“Hukum” ini mengatakan bahwa manusia yang sukses di dunia ini adalah sosok yang telah menginvestasikan waktunya untuk mempelajari, mendalami, dan melatih suatu hal yang spesifik sampai 10 ribu jam. Seperti apa panjagnya belajar 10 ribu jam itu? Kalau rata-rata kita belajar atau berlatih 8 jam sehari, maka kita butuh 1.250 hari atau sama dengan 3,4 tahun. Kalau dipotong hari libur dan sebagainya, maka bisalah disebut 10 ribu jam itu sama dengan mendalami sesuatu selama 4 tahun.

Gladwell menyimpulkan, begitu akumulasi 10 ribu jam ini digunakan untuk mendalami satu bidang, maka orang itu akan menjadi ahli di bidang itu dan umumnya mencapai sukses yang lebih dari orang rata-rata. Sebagai bukti, Gladwell menyodorkan contoh pendiri Microsoft, Bill Gates. Pria ini berhasil menjadi seorang terkemuka di dunia komputer antara lain karena pada 1968, ketika dia masih berusia 13 tahun, Gates mendapat kesempatan langka menggunakan ASR-33 Teletype, komputer canggih untuk masa itu.

Dini hari dia bahkan menyelinap dari rumahnya dan naik bus ke laboratorium komputer untuk mengulik komputer sampai pagi. Dengan “rakus” dan antusias, Gates secara total telah menghabiskan sampai 10 ribu jam mengutak-atik komputer di sekolahnya dan tempat lain. Dengan investasi waktu yang panjang ini, dia lalu menjadi ahli komputer dan menciptakan standar operting system yang merajai dunia sampai kini.

Bukti lain yang ditulis Gladwell adalah perjuangan grup musik asal Inggris, The Beatles, sebelum mereka kondang. Rupanya grup ini pernah susah juga. Antara 1960-1964 mereka bahkan terus mencari nafkah sampai ke Kota Hamburg, Jerman, dengan bayaran biasa saja. Namun, di sana The Beatles harus tampil live sampai 8 jam sehari nonstop. Akumulasi penampilan mereka mencapai 1.200 kali sehingga dalam 4 tahun itu jam latihan dan penampilan grup ini mencapai 10 ribu jam. Setelah itu, The Beatles kembali ke Inggris dan merajai musik dunia.

Maka, Daniel J. Levitin, seorang profesor psikologi dan Behavioral Neuroscience di McGill University Kanada memaparkan, “Dari penelitian, 10 ribu jam latihan dibutuhkan untuk mencapai lever cakap (mastery) yang dianggap sebagai ahli kelas dunia—di bidang apa pun.” Dia menyimpulkan, “Tampaknya otak butuh waktu sepanjang itu untuk menggabungkan semua yang dibutuhkan untuk mencapai penguasaan utuh (true mastery).”
Namun, “hukum 10 ribu jam” tidak berdiri sendiri. Gladwell juga menyinggung betapa pentingnya sebuah lingkungan yang mendukung dan kesempatan (opportunity) untuk mendalami bidang-bidang yang cocok. Tanpa lingkungan yang menyirami semua potensi yang ada, maka orang yang paling hebat pun bisa layu dan tidak berkembang. Contohnya Christoper Langan, salah satu manusia dengan skor IQ tertinggi di dunia dengan angka 195, jauh di atas Einstein yang hanya 150. Langan kini bekerja di sebuah peternakan dan tidak berkembang seperti Einstein. Langan adalah tipe orang potensial yang tidak mendapat dukungan lingkungan sehingga kemampuan besarnya tidak maksimal. Tampaknya, tidak ada orang yang bisa sukses dengan sendiri. Dia perlu orang yang mendukung, membantu, menyemangati, dan lingkungan yang sangat kondusif.

Seperti kata Imam Syafi’i, berlama-lama mendalami sebuah bidang (thulu zaman) belum cukup kalau tidak dilakukan dengan kesungguhan. Usaha yang lama perlu dilengkapi dengan kesungguhan, tanpa kesungguhan hasilnya mungkin tidak maksimal. Spirit ini sangat cocok dengan pepatah Arab pertama yang kami teriakkan secara berjamaah di mata pelajaran Mahfuzhat di Gontor, “man jadda wajada”. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.

Kesungguhan itu artinya mengusahakan apa pun itu dengan energi dan usaha ekstra, di atas usaha rata-rata orang lain. Going the extra miles. Kalau melebihkan usaha di atas rata-rata, maka hasilnya juga akan di atas rata-rata, menjadi yang terbaik dan juara di bidang apa saja. Inilah upaya untuk mengumpulkan berbagai kelebihan, yang sering disebut sebagai accumulative adventage oleh para ahli sosiologi.

Apa defenisi sungguh-sungguh itu? Ada sebuah cerita turun-temurun dari kakak kelas di Gontor. Alkisah, Pak Kiai pendiri pondok pernah memberikan pengarahan khusus kepada para santri. Pengarahan kali ini ternyata menggunakan alat peraga. Pak Kiai berdiri di depan para santrinya dengan membawa dua golok panjang. Golok di tangan kanannya tampak baru dan berkilat-kilat. Sementara yang sebelah kiri tampak sudah berkarat.

Kiai lalu menghunus golok yang berkilat-kilat, lalu menebaskannya ke sebatang kayu. Namun, sedikit lagi menyentuh kayu itu, ayunan golok terhenti. Rupanya Kiai mengalihkan perhatian kepada para murid dan mengajak mereka mengobrol. Sambil tetap mengobrol, ayunan golok diteruskan ke arah kayu dengan santai. Kayu tidak bergeming, tidak putus.
Setelah itu ganti beliau menghunus golok karatan dan tumpul di tangan kanan. Kalau tadi raut muka beliau santai, kali ini sangat serius. Lalu, dengan sepenuh tenaga, dia mengayun golok karatan dengan cepat ke arah kayu. Duk… besi berkarat menghajar kayu. Tidak terjadi apa pun. Namun, Kiai tidak menyerah, dia mengulang-ulang hal yang sama sampai akhirnya… par… kayu itu patah dua dihajar oleh golok berkarat ini.

Lalu Kiai menjelaskan hikmah dari jurus golok ini. Orang pintar bagai golok tajam. Namun, kalau tidak serius dan malas-malasan, belum tentu golok tajam ini akan mampu menebas kayu. Kepintaran akan mubazir tanpa aksi sungguh-sungguh.

Sedangkan orang yang tidak pintar diibaratkan dengan golok karatan. Walau otak tidak gemilang, tapi kalau terus bekerja keras, tidak lelah mengulang-ulang usaha, maka lambat laun akan berhasil. Apalagi kalau golok karatan itu diasah dengan rajin dan kemampuan terus dilatih. Konon Abraham Lincoln pernah berkata, “Kalau saya punya 8 jam untuk menebang pohon, akan saya gunakan 6 jam pertama untuk mengasah kapak.” Usaha dan persiapan yang sungguh-sungguh akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Man jadda wajada.

***

Kalaulah asumsi pentingnya ‘'”kesempatan” dan “hukum 10 ribu jam” dari buku Gladwell ini kita gunakan untuk mengukur kemungkinan sukses, bagaimana kita bisa praktikkan dalam kehidupan nyata? Apakah dalam sistem pendidikan ada lingkungan yang membuat murid belajar sampai 10 ribu jam? Bagaimana kesempatan-kesempatan emas bisa diciptakan?

Ambil pendidikan sekolah berasrama (boarding school) sebagai contoh. Di Gontor, proses pendidikan berjalan 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Jadi, semenjak santri membuka mata sebelum subuh, sampai dia tidur malam hari, dai terus “belajar” tentang kehidupan dengan melihat, mendengar, merasakan, dan mengamati semua dinamika pendidikan di Gontor. Santri juga bebas mengembangkan bakat dan potensi terpendam yang mereka miliki. Inilah milieu pendukung yang kuat untuk pengembangan diri seseorang. Menurut Gladwell, kesempatan dan lingkungan sangat menentukan pengembangan potensi setiap orang.

Jadi, berapa jam yang diinvestasikan santri berlatih dan belajar? Mari kita hitung baik-baik. Kalau setiap santri bangun pukul 4 subuh dan tidur pukul 10 malam, maka dia paling tidak telah “belajar” selama 18 jam dalam kurun sehari semalam. Kalau 18 jam dikalikan 30 hari, maka setiap bulan dia telah menginvestasikan waktu belajar sebanyak 540 jam. Setelah dipotong dengan 2 bulan waktu libur, maka setiap tahun dia telah membukukan 5.400 jam belajar.

Artinya dalam 2 tahun saja, setiap santri Gontor telah melampaui ambang batas “hukum 10 ribu jam” tadi. Kalau belajar di sana 6 tahun (jika masuk tamat SD), berarti seorang santri telah “belajar dan berlatih” sebanyak 32.400 jam, sedangkan kalau belajar 4 tahun (jika masuk tamat SMP) maka dia telah “belajar dan berlatih” sebanyak 21.600 jam. Beberapa kali lipat dari akumulasi jam yang dituliskan Gladwell. Namun sebagai catatan, akumulasi waktu ini tidak spesifik mendalami satu bidang khusus yang unik. Akumulasi waktu ini digunakan untuk berlatih karakter dan keilmuan secara umum.

Tentu ukuran 10 ribu jam bukan patokan mati, tapi hanya sebagai salah satu referensi pembanding. Juga tidak harus masuk sekolah berasrama untuk berhasil. Akumulasi jam belajar dan berlatih bisa dilakukan sendiri baik di sekolah, rumah, maupun tempat kerja. Lingkungan dan kesempatan yang mendukung bisa dikejar dengan memilih teman-teman yang terbaik dan aktif mencari peluang untuk meningkatkan prestasi. Saya percaya kesempatan bisa dikejar dan diciptakan. Apalagi kalau mendapat dukungan penuh dari keluarga, guru yan ikhlas, dan sekolah yang baik. Mari kita belajar seperti Imam Syafi’i , Bill Gates, The Beatels. Sungguh-sungguh dan konsisten dalam waktu yang panjang.



You may also like

2 comments:

  1. Wah... emang beda aja ya orang yang punya mimpi terus bersungguh2 sampai berkorban segala, ketimbang yang punya mimpi tapi santai2 saja. Hohoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul banget teh. Yang punya mimpi tapi santai-santai aja tidak tepat di sebut PEMIMPI, tapi lebih tepat di sebut PENGKHAYAL.

      Delete