Laksana Purnama

/
0 Comments

Seperti yang sering kau katakan, kekuatan cinta itu ada. Dan kini, aku percaya bahwa kekuatan cinta itu benar-benar ada. Semua telah kusaksikan dan terbukti melalui kebersamaan kita sampai saat ini. Bersama-sama, kita mengarungi bahtera rumah tangga. Kadang, teramat damai tanpa kejaran ombak. Kadang, begitu goyah dihantam gulungan-gulungan ombak. Sekarang dan untuk selamanya, cintamu takkan kuragukan lagi. Cintamu yang putih, tulus, dan indah. Meski begitu, di kedalaman benakku, sesekali bertengger tanya. Mengapa kau bisa bertahan mencintai perempuan mandul sepertiku? Bukankah istri yang sempurna itu seharusnya dapat melahirkan seorang anak?

Kau pasti sangat tahu kalau aku mengizinkanmu mencari dan memetika bunga lain yang lebih indah dan bisa melahirkan keturunanmu. Namun, kau selalu saja menggeleng seraya berkata, “Tak ada bunga seindah dirimu.”

Ya. Aku terima pandanganmu itu. Tetapi, apakah kau tak pernah berharap memiliki keturunan di sepanjang hidupmu? Aku selalu berharap akan hal itu. Tapi saat dokter memvonisku mandul, harapan itu terpaksa harus kukubur sedalam-dalamnya. Kau juga tahu kalau aku tak ingin mengadopsi anak orang lain. Seperti yang sering kau sarankan setiap kali melihat air mukaku berubah sedih.

Waktu kian berlari dan meninggalkan masa lalu. Kau tahu kalau aku kadang bosan denganmu. Bosan melihat wajahmu, bosan melihat gerak-gerikmu, bosan melihatmu berada di rumah, bosan tidur berdua denganmu, dan bosan tinggal bersamamu. Masih mampu kuingat, usiaku menginjak angka tiga puluh satu saat aku merasa sangat bosan melihatmu di rumah. Maka, dengan kasar, kusuruh kau pergi dari rumah. Aku menyuruhmu pergi sejauh-jauhnya. Dan kau tahu, seminggu setelah kepergianmu yang entah ke mana, aku tiba-tiba disergap rasa bersalah yang amat sangat. Tidak hanya itu, aku juga dilanda kerinduan yang teramat kental. Karena itulah, ketika kau datang, aku bergegas menubrukmu dengan pelukan. Aku memelukmu erat-erat sembari bersimbah air mata.

Aku memang kadang bosan padamu, tetapi kamu? Inilah yang ingin kutanyakan padamu nanti. Sebentar lagi. Bagaimana bisa kau tak pernah bosan padaku? Dan, bagaimana pula caramu mencintaiku?

Ada kebahagiaan yang berhamburan di hati saat aku menatap wajahmu yang terlelap. Aku beruntung dipersunting olehmu, lelaki sederhana yang mengagumi purnama. Oh, bukan hanya kaua yang mengagumi purnama. AKu pun sangat mengaguminya.

Jika kubuka laci ingatan, akan kutemukan kenangan-kenangan manis kita. Kenangan tatkala berdua kita pandangi langit yang bertahtakan gemintang dan purnama. Duduk berdua dibasuh angin malam, saling menggenggam tangan, seolah ingin menyatukan rasa yang bergejolak di dada. Dan sampai kini, kita masih melakukan itu setiap purnama hadir di pekat malam. Itu sudah menjadi rutinitas kita.

***
Angin mengalir lembut, membawa helai-helai dingin yang akan segera menyelimuti tubuh renta kita. Usai shalat Maghrib tadi, telah kau beritahu aku bahwa malam nanti akan terbit purnama. Tampak kebahagiaan berpendar-pendar dari matamu yang lelah. Tidak hanya kau, mataku pun kini lelah. Aku serta-merta menyambutnya dengan rasa bahagia. Kusampaikan dengan melukis senyum terindah yang aku miliki. Lalu, bakda Isya, kita keluar rumah dengan langkah tertatih sambil saling menuntun. Perlahan, tubuh melengkung kita akan berlabuh di atas balai bambu yang kau buat beberapa tahun lalu. “Hadiah ulang tahun,” katamu dulu.

Dengan tetap saling bergenggam tangan, kita rambatkan pandangan ke langit malam. Di atas sana, ada rembulan sebesar semangka yang tengah menyiramkan cahayanya ke bumi. Langit menjadi cerah. Tak hanya ada sang demi malam, jutaan gemintang pun berhamburan di angkasa.

Angin malam kembali bertiup.

Aku mulai merasakan tubuh ini dingin. Tiba-tiba, kau menyentuh pundakku dengan jemarimu yang sama dengan jemariku, mengerut. Lantas, kau membawa aku dalam dekap pelukmu, ingin membagi kehangatan. Mungkin, kau tahu bahwa aku tengah kedinginan lewat getaran tanganku di genggamanmu. Seketika, semua terasa indah. Hatiku merona-rona. Mungkin bila ada anak muda yang melihat kita kini, mereka akan berkata, “Kakek dan Nenek bisa romantis-romantisan juga ternyata.”

“Bulannya gendut sekali,” kata-katamu meluncur lembut, sedang telunjukmu menghunus angkasa.

“Bulan purnama,” aku membetulkan perkataanmu. “Dari dulu sampai sekarang, masih juga kau bilang bulan gendut. Apakah karena timbangan badanku pernah melebihi batas ketika muda dulu sehingga kau menyebut purnama dengan kata itu?” Dari ekor mataku, kujalari wajahmu yang kini bertahtakan senyuman. Senyuman yang selalu saja tampak indah di mataku. Senyuman sederhana nan menawan.

Kau semakin merapatkan pelukanmu dan tak menanggapi perkataanku. Untuk beberapa saat, kita didekap sunyi. Kau tahu, saat diam seperti ini, yang kulakukan adalah mencoba menggapai kelabat di kepala mengenai saat-saat terindah bersamamu. Kurasa, waktu memang telah merenggut sebagian ingatan kita.

Lorong-lorong waktu akan mempersembahkan berbagai macam kenangan kita berdua. Namun, yang paling kusuka adalah saat kita menatap purnama di pinggir sungai dulu. Sama seperti malam ini, saat itu pun angin menyuguhkan secawan dingin dan sebulat rembulan.
“Aku akan melamarmi minggu depan, Bulan,” ujarmu kala itu. Semburat bahagia karena mendengar ucapanmu itu tidak mampu kusembunyikan di bawah temaram rembulan.

Dan, ternyata benar. Seminggu kemudian, kau datang melamarku bersama kedua orangtuamu. Sungguh, laksana ada bunga-bunga yang ranum dan mewangi bertebaran di hatiku. Kebahagiaanku lengkap sudah. Cinta kita akhirnya bersemi pada bulan kedelapan.

Aku menangkap desah napasmu yang berat. Jemarimu juga tak tinggal diam. Sedari tadi, mengusap rambutku yang sepenuhnya berwarna tembaga, seperti juga rambutmu.

“Entah sampai kapan kita akan terus menatap purnama,” desisku di antara angin yang mengaduk dedaunan.

“Sampai kita telah tiada,” sahutmu ringan. Aku tersenyum lebar.

“Kau tak pernah bosan kepadaku? Maksudku, kau tak pernah bosan mencintaiku?” Akhirnya, sebutir tanya yang telah lama mengendap di dada terlontar juga.

Kepalamu yang kau letakkan di atas kepalaku, menggeleng. Suaramu kemudian terdengar, “Tidak. Aku tak pernah bosan mencintaimu. Meskipun waktu telah merenggut pesonamu, cinta di hatiku tetap bersinar benderang. Cinta itu masih seperti dulu, saat pertama kali bertemu denganmu.”

“Mengapa dulu kau tak mau menikah dengan perempuan lain saat tahu aku mandul dan tak mungkin melahirkan keturunanmu?”

“Karena aku mencintaimu.”

“Mengapa kaut tak pernah bosan mencintaku?”

“Karena aku mencintaimu bukan dengan mata. Aku mencintaimu dengan hati.”

Aku terhenyak. Kulonggarkan pelukan, lalu bergegas menatap bola matamu. Terlihat ketulusan dan kesungguhan di sana. Begitukah caramu mencintaku? Begitukah caramu memandang cinta selama ini? Aku sungguh tak menyangka. Hatiku gerimis, terkenang masa-masa di mana aku begitu bosan padamu. Bahkan, aku sampai menyuruhmu meninggalkan rumah, meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memelukmu erat. Sekuat-kuatnya. Aku takut kehilanganmu. Air mataku menelaga sejenak, lalu tumpah ruah. Aku terisak dalam pelukanmu.

“Aku sungguh beruntung menjadi sitrimu,” kataku. Di antara lelehan air mata, ucapanku itu lebih serupa bisikan.

Kudengar kau berkata, “Aku juga beruntung menjadi suamimu.”

Untuk beberapa saat, kita berada dalam keharuan. Setelah melepas pelukan, kedua lensa kita kembali terhunus ke angkasa. Pikiranku kembali melayang-layang, melambung, lalu hinggap di masa-masa muda. Ya, inilah yang biasa dilakukan seseorang apabila usia mereka telah uzur. Mengingat masa-masa muda yang mungkin indah atau mungkin juga tak indah. Hanya itu hiburanku akhir-akhir ini. Aku tidak punya hiburan lain seperti kehadiran seorang cucu.

“Kita semakin tua dan tak akan lama lagi menyatu dengan tanah,” ucapmu setelah terbatuk-batuk.

Seraya mengurut punggungmu, aku menyahut, “Siapa pun yang dipanggil-Nya lebih dulu, kita sudah berjanji untuk tidak terlalu bersedih.”

Kau mengangguk lemah, lalu berkata, “Aku takkan melupakanmu. Di hatiku akan selalu ada kamu, Bulan yang memesona.”

“Kita akan bertemu lagi di ruang yang lain. Dan, aku akan sangat merindukanmu,” balasku.

Hening sejenak.

“Kau masih ingat saat kita pertama bertemu?” matamu melekat di wajahku saat kau ucap itu.

“Tentu saja,” jawabku. Layar-layar bergerak bergantian di kepalaku. Hingga akhirnya, sampai pada layar yang menampilkan episode pertemuanku dengan suamiku kini, Mas Dion. Episode pertemuan yang lucu, menurutku.

“Kau marah-marah saat itu,” pandanganmu menerawang.

Aku terkekeh sebentar. “Gara-gara kau. Mengapa datang mengejutkanku?”

“Sungguh, aku mengira kau adalah teman yang sedang menungguku.”

“Dari sisi mana kau mengira aku temanmu?”

“Dari belakang. Bentuk tubuh dan potongan rambutmu mirip dengan temanku itu. Tapi, setelah dari depan, ternyata…,” kalimatmu terhenti. Kau melirikku dengan lirikan menggoda.

“Ternyata apa?”

“Ternyata seorang bidadari.”

Aku tertawa malu, lalu berkata, “Kau berlebihan.”

“Kenyataanya begitu, Sayang.”

Kupu-kupu tidur dalam perutku kembali terbangun. “Untuk pertama kalinya kau memanggilku sayang di usia seperti ini.”

“Tak bolehkah memanggil sayang di usia seperti ini?”

“Boleh. Tapi, terdengar lucu.”

Kita terkekeh bersama. Lembut, kau rangkul pundakku lagi. Malam terus merambat dan angin semakin runcing. Angkasa begitu meriah.

“Sayang, aku akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Kau laksana purnama di atas sana, selalu indah dan memesona sepanjang waktu.”

“Jangan panggil aku sayang.” Di ujung kalimat dapat kurasakan wajah ini bersemu. Wajah tuaku mungkin sedang merona-rona.

“Bulan gendunt.”

“Bukan. Jangan itu.”

“Lalu?”

Honey.”

“Aku memanggilmu honey di usia seperti ini? Honey itu panggilan untuk mereka yang masih muda, Sayang, tidak untuk kita yang sudah tua.”

“Mengapa tidak untuk kita? Aku suka dipanggil honey.”

“Ya udah.”

“Ya udah apa?”

“Aku panggil kamu honey. Aku sayang kamu, honey.”

“Kok, ada kata sayangnya lagi?” Aku pura-pura cemberut.

“Ya udah, aku ganti. Aku cinta kamu, honey.”

Hatiku tertawa. Tertawa sangat keras.

Dikutip dari buku antologi cerpen Lemon Cake—kumpulan kisah terpilih dari 489 karya lomba Kisah Romantis Diva Press 2011.


You may also like

No comments: