Berapa hari, ya, saya tidak membuat postingan di blog ini? Saya pun tidak ingat, hehe. Tapi, alhamdulillah, ada seseorang yang ternyata selalu menunggu-nunggu tulisan saya. Sampai-sampai dia BBM supaya saya ingat blog dan tak lupa disertai emot muka marah. Saya tersenyum membacanya. Benar-benar menunggu rupanya. Terima kasih, Pat, untuk penantianmu :)

Lagi pula, proyek saya ini adalah menulis setiap hari. Bukan membuat postingan setiap hari. Walaupun pengennya bisa posting tulisan setiap hari, tapi kadang-kadang isi tulisan saya—kalau sedang tidak mood menulis—lebih sering mengarah ke curahan hati. Dan, karena bersifat pribadi, maka saya tidak posting. Dinikmati sendiri saja, sekaligus mengeluarkan uneg-uneg yang bersarang di hati—yang katanya baik untuk kesehatan dompet jiwa kita.

Oke. Mengingat sebentar lagi bulan Ramadhan, dan itu berarti nggak lama lagi saya pulang kampung—ya Allah kangen banget sama keluarga, terutama sama Bapak—belakangan saya mulai mencari-cari tiket di Traveloka. Harganya alhamdulillah, bikin galau, haha. Tidak apa-apa sih, yang penting bisa pulang kampung. Tadinya, ada keinginan tahun ini tidak pulang, tapi tiba-tiba terbersit pemikiran dalam kepala saya, bagaimana kalau tahun depan kesempatan untuk berlebaran bersama keluarga, melihat bapak yang begitu saya rindukan, sudah tidak ada lagi? Jadilah, tekad membulat, tahun ini, pulang! Ongkos larang alias mahal tidak masalah. Selama masih diberi kesehatan, insya Allah rejeki Allah masih bisa dijemput. Bertemu orangtua kan belum tentu bisa tahun depan. Umur, siapa yang tahu?

Berhubung akan pulang kampung, dan seperti biasa orang yang akan pulang kampung tak pernah lupa dihembuskan kata-kata mutiara, “Jangan lupa oleh-olehnya.” Jadilah pada hari Senin kemarin, hari di mana Daeng Rewa libur, saya dan kakak keluar mencari oleh-oleh. Saya sebenarnya ada rencana lain hari Senin itu, tapi mau tidak mau harus dibatalkan karena mencari oleh-oleh ini tidak bisa lagi saya lakukan bulan depan. Karena, kemungkinan besar, bulan depan tidak akan ada libur, karena akan dirangkap libur untuk lebaran. Akhirnya, saya dan kakak memutuskan ke Pasar Turi.

Seperti biasa, saya yang belum tahu jalur angkot di Surabaya ini, selalu mengandalkan Go-Jek ke mana-mana. Asyiknya naik Go-Jek itu gak perlu bermacet-macet ria, alhamdulillah. Namun, ada kejadian yang tak akan saya lupakan. Seumur-umur naik Go-Jek, baru kali ini saya mendapat driver Go-Jek yang “berbeda”. Ya, berbeda. Biasanya, kalau saya naik Go-Jek, sambil berkendara sang driver biasanya akan mengajak saya mengobrol, atau saya yang mengajaknya mengobrol. Tapi, kali ini, sang driver justru mengaji—atau mengulangi hapalan Al-Qurannya. Saya yang duduk dibelakang, kali pertama mendengarnya, berpikir sang driver lagi nyanyi. Hapalan Al-Qurannya bertabrakan dengan suara kendaraan lain membuat suaranya terdengar samar-samar, makanya saya berpikir begitu. Namun, lama-lama, saya menyadari juga kalau Pak Gojek ini bukan menyanyi, melainkan mengaji. Sampai-sampai saya mengangkat kaca helm dan sedikit mendekatkan kepala biar bisa mendengar lebih jelas.

Tenang, saya gak sampai kayak gini kok cuman buat dengar hapalan Al-Quran Pak Gojeknya. Memangnya saya cowok apaan, terong-terongan? Haha.
Sepanjang perjalan menuju Pasar Turi, Pak Gojek ini terus mengaji, dan saya juga terus bertanya-tanya ini benaran mengaji atau nyanyi, ya? Sulit benar memastikan. Saya hanya menduga-duga saja. Mau bertanya, nggak enak juga, hehe.

Dan, akhirnya, dugaan saya benar ketika Pak Gojek berhenti di depan Stasiun Kereta Api Pasar Turi. Lha, saya heran, kok berhenti depan stasiun, bukannya pasar. Ternyata Pak Gojeknya nggak ngeh kalau tujuan saya itu ke Pasar Turi.

“Oalah, ke Pasar Turi, to. Hapalan Al-Quranku jadi berhenti ini,” bilangnya sambil terkekeh kecil.

“Mas daritadi menghapal, ya?” aku akhirnya bertanya juga sambil naik kembali, siap-siap menuju Pasar Turi. “Dari tadi saya dengar-dengar mas, mau nanya tapi nggak enak, hehe.”

“Ya, begitulah. Ulangin hapalan saja, dikit-dikit.”

“Sudah berapa juz hapalannya, Mas?” tanya saya—padahal yang nanya 1 juz aja belum.

“Ndak gitu, sih,” sahutnya, tidak menyebut berapa juz—atau surah—yang sudah dihapalnya. “Ya, sekadar mengulangi hapalan tok. Daripada kosong, ya mending dipakai mengaji saja,” lanjutnya, tidak sadar kata-kata Pak Gojek barusan seumpama segenggam tangan yang tiba-tiba meninjuku, membongkar kesadaranku.

Tersenyum kecil sebentar, saya lalu menimpali, “Bener, Mas. Daripada kosong, nggak dapat apa-apa, mending mengaji aja, ya, dapat pahala. Masnya keren. Tambahin terus, ya, hapalannya.” Aku mengakhiri dengan sepotong pujian sembari mengingat waktu-waktu kosong yang saya miliki, yang isinya hanya bermain handphone—baca buku, sih, masih mending, lha ini social media doang. Malu, ah, saya.

Tak lama, saya melanjutkan, “Baru kali ini, lho, Mas saya naik Gojek yang driver-nya mengaji.”

“Masa, sih?” tanyanya.

“Iya, benaran. Baru kali ini.” Di kedalaman hati, saya bahagia sekaligus iri. Bahagia karena ada orang yang tak mau waktu luangnya berisi kesia-siaan saja. Dan, iri karena saya tidak bisa seperti Pak Gojek. Ya Allah, semoga Engkau memberi keistiqamahan dan rahmat pada Pak Gojek, yang entah siapa namanya. Aamiin yra.

Bersambung....


(Insya Allah akan saya lanjutkan besok.)

Berapa lama waktu telah bergulir, adakah kau ingat?

Kau tahu, aku terus menghitungnya kendati itu membuat dadaku menyesak—tak mengapa. Bagaimana kali terakhir kita bertemu, berpelukan lama, menyadari itulah kali terakhir pertemuan kita. Perpisahan adalah yang terbaik, begitu katamu. Haruskah aku memaksa? Haruskah aku memaksa untuk mengatakan bahwa kebersamaanlah yang terbaik, bukan sebaliknya. Namun, adilkah aku menahan kaki yang ingin melangkah? Meskipun aku tahu itu akan melukaiku, namun aku mencoba untuk membiarkanmu. Bila memang kepergian membuatmu bahagia, aku terima. Toh, kalaupun kau tetap berdiri di sisiku, bila itu tak membuatmu bahagia, bukankah itu lebih menyakitkan lagi?

Orang-orang bilang, cinta tentang penerimaan. Saat kita bisa memilikinya maupun saat kita tak bisa memilikinya. Kedua-duanya sama-sama menuntut kita untuk menerima. Dan, aku tak bisa memilikimu. Meski sulit, aku mencoba menerima. Cinta tak selalu menjelma dalam kebersamaan, bukan? Terus-menerus aku mengingatkan diriku seperti itu. Meski di kedalaman hati, harap untuk bersama masih terus memendar layaknya kunang-kunang pada malam nan gulita.

Ah, harap.

Seringkali, harapanlah yang melukai. Entahlah, aku hanya merasa seperti itu. Segala harapan-harapan yang kutitipkan padamu, segala janji-janji yang kau ucapkan—dan bodohnya aku percaya—membuat pintal harapan kian meraksasa. Aku tak marah kau pernah berjanji dan tak kau tepati. Aku hanya marah pada diriku sendiri, mengapa membiarkan harapan demi harapan menggumpali dadaku. Aku marah pada diriku sendiri mengapa tak pernah menyadari bahwa harapan yang dititipkan pada manusia selalu memiliki celah untuk diingkari—di kecewakan.

Aku yang salah. Aku yang bodoh.

Pada pertemuan terakhir itu, aku mencoba merelakan kepergianmu. Semua akan baik-baik saja, batinku terus merapal. Namun, nyatanya, semua tak baik-baik saja. Hari-hari yang menyambutku selalu datang dengan segenggam kenangan, membuatku terus-menerus mengingatmu. Berkali-kali aku mencoba mengabaikan, namun, mengapa begitu sulit? Orang yang masih kita cintai, yang pernah membuat kita bahagia, membuat hari-hari kita tak ubahnya senja—penuh warna—sungguh, bagaimanakah cara melupakannya?

Ada yang bilang, kita tak akan pernah bisa melupakan seseorang yang pernah singgah dalam kehidupan kita. Tapi, suatu ketika nanti, waktu akan berbaik hati meminggirkan semua tentangnya ke sudut ingatan. Sebuah pojok yang remang-remang, tak terlalu menarik untuk dilihat, karena kita menyadari di sana hanya ada luka, kecewa, dan air mata ketika kita mendatanginya. Ya. Pada akhirnya, semua hanya masalah waktu.


Dan, aku menunggu.
Islamic Book Fair, Balai Pemuda, Surabaya.

Sudah tiga kali gagal dalam proyek menulis 40 hari ini. Ya, seharusnya kemarin, Minggu tanggal 1 Mei menjadi tulisan ketujuh—dan ini seharusnya menjadi tulisan kedelapan—tapi kembali saya tidak menulis. Bedanya, kegagalan kemarin tidak terlalu membuat saya sedih. Bukannya apa-apa, masalah kegagalan saya kemarin bukan karena kemalasan saya untuk menulis, tapi karena tidak ada waktu—mungkin, lebih tepatnya sangat sedikit waktu—untuk menulis. Dari pagi sibuk menyiapkan jualan depot, lalu berhubung weekend, Daeng Rewa kebanjiran pembeli, alhamdulillah. Malamnya, saya harus ke Balai Pemuda, ke acara IBF atau Islamic Book Fair—ya, tempat terbaik buat khilaf beli buku, haha—sampai jam sembilan. Pulang-pulang sudah capek. Lelah yang terkumpul dari kesibukan kerja dan kesibukan mencari-cari buku di IBF. Akhirnya, yup, sudah tertebak: bobo cantik ganteng.

Hari Minggu. Meskipun hari yang penuh kesibukan, tapi saya bersyukur karena hari itu menjadi hari yang membahagiakan sebab bisa kopdar dengan teman dunia maya asal Salatiga—mbak Iken Vidya.

Saya mengenal mbak Iken karena uncle Dang Aji. Ya, seingat saya, waktu itu mbak Iken terpilih menjadi nominasi Unsa Ambassador—sebuah ajang pemilihan duta kepenulisan di grup facebook Untuk Sahabat atau Unsa. Uncle kemudian menghubungi saya, untuk menjadi mentor atau pendamping mbak Iken selama melewati masa seleksi. Tugas saya membimbing supaya tulisan mbak Iken bisa mengantarkannya menjadi pemenang—meskipun akhirnya mbak Iken gagal entah ditahap ke berapa, saya sudah lali alias lupa.

Meskipun gagal, kami terus berkomunikasi. Saling menyemangati dalam hal menulis—berhubung sama-sama jadi orang yang moody-an (atau pemalas, yak?) Mengobrol ngalor-ngidul sampai-sampai berasa seperti saudara sendiri. Sampai akhirnya, mbak Iken mengabari akan mbolang ke Surabaya bareng teman karibnya, mbak Mia. Tentu saja saya senang, karena itu berarti kami akhirnya bakal ketemuan. Kopi buaya darat. Tadinya, mbak Iken ke Surabaya dengan misi nonton Ada Apa Dengan Cinta 2, tapi akhirnya nontonya di Pasuruan. Dan ke Surabaya khusus buat bertemu saya *kibas poni sek* Harap maklum, menurut pengakuan mbak Iken, dia itu fans seberat 100kg sama saya. Padahal, saya mah apa atuh....

Sambil kerja, saya bertanya-tanya, mbak Iken dan mbak Mia mau ke sini jam piro-an, ya? Aku berharap datangnya agak sore, karena kalau siang alhamdulillah depot ramai—jadi ngobrolnya susah. Eh, ternyata, datangnya siang. Akhirnya, mau tidak mau, saya mengobrol dengan mereka sambil melayani pembeli yang terus berdatangan, seolah-olah tak mengerti saya sedang ingin mengobrol banyak dengan keduanya.


Seperti yang sudah lama diidam-idamkan mbak Iken, segera saja Es Pisang Ijo di pesan. Sop Konro. Buras. Nasi. Pokoknya uakeh tenan pesanannya, sampai-sampai saya bertanya, nggak bakal kekenyangan nanti? Eh, ternyata oh ternyata, kata mbak Mia, mbak Iken emang porsi makannya segitu haha. Ngak apa-apa sih, asal sehat dan dompet tebal sajah, silakan :D

Mbak Iken dan mbak Mia cukup lama di Daeng Rewa. Hingga akhirnya, mereka pamit dan akan kembali lagi ke Daeng Rewa karena saya ngajakin mereka untuk ke Islamic Book Fair di Balai Pemuda, mumpung lagi di Surabaya. Tapi, ternyata, dua cewek cantik itu mbolang sampai di Delta Plaza. Dapat bbm dari mbak Iken kalau kami ketemu di Delta saja, nanti bareng-bareng ke Balai Pemuda. Yowes ae aku mah haha.

Biar kayak penulis benaran, tanda tangan di novel Ketika milik mbak Iken :)
Alhamdulillah, rejeki anak sholeh, dapat Enting-Enting, oleh-oleh khas Salatiga.

Pada akhirnya, bertemulah kami di Delta Plaza dan menyusuri tepian jalan menuju Balai Pemuda, di mana telah menunggu Diniyah Hidayati,

Ada kejadian lucu. Ketika hendak menyeberang ke Balai Pemuda lewat zabra cross, ternyata kami gagal. Kendaraan-kendaraan tak ada yang memelan, tidak mengerti perasaan kami *eeaaa* Sampai akhirnya, kami mendengar suara, “tetot... tetot...” di kejauhan. Mbak Mia langsung bilang kalau kami lewat zebra cross yang ada “tetot... tetot...” nya saja. Dasar orang Indonesia, baru mau memelankan kendaraan kalau ada suara “tetot... tetot...” Zabra Cros mah diabaikan ae. Preeet!

Dan, di IBF, seperti yang sudah saya duga, kembali saya khilaf membeli buku, padahal stok buku yang belum di baca masih uakeh tenan.

Hasil Khilaf di IBF.
Puzzle buat keponakan, Athalla :)

Pada akhirnya, saya berdoa semoga bisa kembali bertemu dengan mbak Iken, juga mbak Mia yang mendampingi mbak Iken mbolang plus jadi fotografernya. Terkadang, dunia ini memang selebar daun kelor. Allah bisa saja dengan cara-Nya kembali mempertemukan kita. Insya Allah.

Semenjak saya mulai bekerja di Daeng Rewa, ada satu kegiatan favorit saya yang perlahan-lahan terlupakan—membaca buku. Ya. Awal-awal saya bekerja, saya tidak pernah membaca buku—membaca artiker sih tetap karena lewat handphone, tapi tetap saja sensasinya beda—karena saya tidak memiliki koleksi buku di sini. Saya mulai membaca ketika Pak Bos tahu bahwa saya suka membaca dan suka menulis. Berhubung Pak Bos juga suka membaca dan tentu saja memiliki banyak koleksi buku, akhirnya Pak Bos meminjamkan saya buku-bukunya—di kemudian hari, Pak Bos beberapa kali membelikan saya buku di Gramedia, sumpah membuat saya bahagia bukan main. Buku gratis, Jooon! Haha. Sejak saat itulah, saya mulai membaca buku di sela-sela bekerja.

Namun, ada yang aneh. Saya tidak bisa menikmati bacaan saya kalau sambil bekerja. Membaca beberapa lembar, lalu harus melayani pembeli. Lanjut membaca lagi, mulai hanyut dengan cerita, eh ada pembeli lagi. Terlalu sering seperti itu membuat saya kehilangan feel cerita. Dan sungguh itu bikin kesal. Pada akhirnya, perlahan-lahan, saya mulai malas membaca. Kalau begini terus keadaannya, bagaimana saya bisa menikmati lembar-lembar bacaanku? Begitu saya berpikir.

Tak hanya itu, saya juga membandingkan apa yang saya rasakan ketika masih di Kabaena. Membaca kapan pun saya mau, menikmati betul apa yang tengah saya baca. Satu buku—kalau memang ceritanya bagus—bisa selesai dalam satu atau dua hari. Di sini, hmmm, satu buku kadang nggak selesai-selesai, haha.

Namun, kemudian, ada yang tak bisa saya abaikan. Dorongan untuk membaca buku itu selalu ada. Saya ingin membaca buku. Saya tidak bisa kalau tidak membaca buku. Seolah ada yang hilang rasanya. Tapi, bagaimana caranya supaya apa yang saya baca bisa saya nikmati? Nggak enak banget baca buku tapi nggak bisa dinikmati. Ya, kan? Membaca malam setelah depot tutup? Ini bisa jadi pilihan, tapi yang seringkali terjadi setelah depot tutup mata saya tinggal 5 Watt. Susah kalau untuk dipakai membaca buku. Satu-satunya pilihan yang ada adalah membaca buku di sela-sela kerja.

Sebuah pertanyaan memantul-mantul dalam kepala saya: mulai sekarang atau tidak pernah sama sekali? Membaca buku di sela-sela kerja atau tidak akan pernah sama sekali? Mau sampai kapan menunggu waktu yang tepat, dengan kondisi yang kamu inginkan, suasana yang kamu harapkan? Bila memang menunggu itu, percayalah itu tidak akan pernah ada. Kalau pun ada, paling saat libur kerja saja. Pilih mana?

Waktu yang tepat? Sekarang!

Ya, sekarang!

Saya kemudian menyadari, bahwa semua ini hanya masalah pembiasaan. Saya hanya belum terbiasa membaca di sela kesibukan, membaca di tengah keramaian—sama halnya dengan menulis. Dan, yang perlu saya lakukan adalah mulai membiasakan. Awal-awalnya tidak menikmati, namun tetap saya paksakan menyelesaikan bacaan meskipun harus terpotong-potong oleh kerjaan. Perlahan-lahan, saya akhirnya bisa menikmati, bisa hanyut dalam bacaan. Sekarang, seramai apa pun di sekitar, saya sudah bisa fokus membaca dan menghanyutkan diri di sana.

Dalam hal menulis pun perlahan-lahan mulai terbiasa. Yang tadinya selalu menulis dalam keheningan, kini bisa menulis di tengah keramaian. Ada untungnya juga, sih. Saya jadi bisa latihan fokus.

Meskipun begitu, untuk menyelesaikan membaca sebuah buku, saya kadang membutuhkan waktu lebih banyak—kadang seminggu, bahkan lebih, dan tak jarang sangat berlebihan, haha—dasar sayanya ajah! Nah, karena itulah, sekarang sebelum memulai membaca buku, saya akan membagi buku tersebut menjadi 3 atau 4 bagian, tergantung ketebalan. Setiap bagiannya harus selesai di baca dalam 1 hari. Jadi kalau ada 3 bagian, maka buku itu akan kelar saya baca dalam waktu 3 hari. Bagusnya, cara ini menuntut saya untuk memaksimalkan waktu sebaik mungkin. Alhamdulillah....

Bukankah waktu itu sangat mahal? Ya. Orang-orang memiliki waktu yang sama di dunia ini, tetapi mengapa ada yang sukses dan ada yang begitu-begitu saja. Semua kembali pada satu pertanyaan: bagaimana kita menghabiskan waktu yang sudah Tuhan berikan?

Note: Tulisan ini seharusnya saya posting pada hari Sabtu, namun Wi-fi di Daeng Rewa sedang error, jadilah baru bisa saya posting hari ini.


Ini seharusnya menjadi hari keenam, tapi sekali lagi saya gagal menulis secara rutin. Tidak perlulah saya menulis alasannya di sini, karena kalau mau mencari alasan selalu tersedia banyak di kepala. Yang jelas, ternyata untuk istiqamah itu tidak mudah. Saya sampai greget pada diri saya sendiri, yang tak mampu menantang rintangan demi rintangan yang menghantam diri ini, menghantam pertahanan saya untuk terus menulis, apa pun yang terjadi. Nyatanya, saya gagal. Sejauh ini, sudah dua kali saya gagal menulis. Yang seharusnya tulisan saya telah mencapai tujuh tulisan dengan hari ini, tapi justru baru mencapai lima tulisan.

Meskipun gagal, saya tidak mau berhenti melanjutkan proyek pribadi ini, proyek untuk membiasakan menulis setiap hari. Semangat, Aiman!


***

Ia tidak ingin mendambakan pertemuan itu kalau saja tahu semua akan begini. Orang yang katanya mencintainya, menyayanginya, kini justru melangkah menjauhinya. Ia tidak mengerti, mengapa semua terlalu cepat, hubungan mereka. Ia tidak yakin apakah telah membuat kesalahan, sehingga menyurutkan langkah orang yang dicintainya itu. Dan ia pun bertanya-tanya, mengapa seolah-olah orang itu hanya sejenak saja mampir dalam hidupnya?

Apakah memang ada orang seperti itu? Sejenak saja mampir dalam kehidupan seseorang, menorehkan rupa-rupa warna di sana--bahagia, rindu, janji-janji--lalu pergi seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tak menoleh sedikitpun untuk sekadar melihat seseorang yang telah ditinggalkannya, yang kini tengah terseok-seok menenteng berkantung-kantung kenangan. Memang hanya sejenak, tapi kenangan yang telah tercipta begitu banyaknya.

Ia meragu, apakah mampu melewati hari demi hari, berjalan bersisian bersama kenangan? Apakah ia mampu melewatinya sendiri? Apakah ia tak pantas bahagia? Ah, kalau saja ia tahu akan begini, ia tak mau terlalu mencintai orang itu. Ia tak mau menyerahkan seluruh hatinya pada orang itu--yang katanya mencintainya.

Ia yang bodoh atau memang beginilah cinta? Di mana ketika kita mencintai seseorang, jangan pernah mencintainya separuh-separuh. Ataukah itu salah? Salah bila terlalu mencintai seseorang? Ah entahlah. Ia tak tahu. Kini, ia hanya merasa ia terlalu bodoh. Terlalu bodoh untuk mengendalikan perasaannya sendiri. Bila hanyut, ia biarkan dirinya hanyut. Sama sekali tak mempersiapkan hatinya untuk sebuah perpisahan, yang mana merupakan sebuah kepastian.

Kini, ia menyadari, perjalanannya masih panjang. Kini, ia merapal harap, hari demi hari, bahwa waktu segera berbaik hati untuk menjulurkan jari-jemarinya, satu demi satu mengambil kenangan yang membebani hatinya, yang kerapkali membuat rongga dadanya sesak, membuat ulu hatinya memerih, juga basah kedua matanya.

Ia pantas bahagia, bisiknya.
Ia pantas dicintai tanpa selalu dilukai, lagi ia berbisik.
Ia pantas untuk mengenang hari-hari yang telah lalu dalam kebersamaan, bukan kesendirian, lagi-lagi ia berbisik.

Dan, karena itulah, ia terus melangkah, kendati disadarinya tak akan mudah.

Hari keempat. Alhamdulillah masih setia menulis.

Pada tulisan ketiga kemarin, aku bercerita bagaimana aku bisa bekerja di Surabaya, jauh dari Bumi Anoa. Kali ini, aku mau melanjutkan cerita itu.

Rasanya ada begitu banyak hal yang harus aku syukuri. Mendapat pekerjaan tanpa perlu repot-repot mencari. Perjalanan gratis dari Sulawesi–Surabaya. Sesampainya di Surabaya, aku juga tak perlu repot-repot mencari tempat tinggal karena Daeng Rewa menempati ruko 3 lantai, di mana lantai 1 dan 2 berisi jejeran meja-kursi untuk para pembeli. Sementara lantai 3 untuk tempat tidur para pegawainya. Selain itu, makan sehari-hari ditanggung di sini. Juga tak perlu lagi memikirkan biaya akomodasi karena aku tinggal langsung di sana. Alhamdulillah banget kan? :)

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Ada hal lucu ketika awal-awal berada di Surabaya. Seumur hidup tinggal di Sulawesi, dan terbiasa mendengar suara orang-orang yang lantang khas Sulawesi, membuatku kagok saat berada di lingkungan Jawa yang notabene-nya bersuara lembut--sebagian malah super duper lembut--dan ditambah lagi medoknya. Duh, Tuhan. Lengkap sudah. Hahaha.

Pada beberapa kejadian, saat berbicara dengan orang Jawa, aku sampai harus bertanya beberapa kali apa yang sudah mereka katakan. Aku mendadak menjadi bak orang tuli. Kali lain, karena nggak enak dan malu meminta mereka mengulangi apa yang mereka katakan, akhirnya aku mengangguk-angguk saja, pura-pura ngertos. Padahal, oraaaa :D

Di Surabaya ini, sekali lagi Allah mengabulkan keinginanku untuk memiliki usaha, bisnis. Sewaktu di Kabaena, untuk mengisi waktu luang, aku mencoba menjadi seorang dropshiper produk Wall Sticker atau Stiker Dinding. Selama menjadi dropshiper ini keuntungan yang aku dapatkan cukup lumayan. Dan kegiatan ini masih berlangsung sampai aku bekerja di Daeng Rewa. Entah mengapa, aku cukup menyukai bisnis ini. Tidak terlalu merepotkan dan peluangnya juga sangat besar. Orang-orang tentu bosan dengan dinding mereka yang warnanya begitu-begitu saja. Paling ditempeli foto atau poster biar tidak monoton. Just it. Nah, Wall Sticker ini bisa menjadi solusi untuk mempermanis ruangan, menyegarkan mata tatkala memandang *jiaaaah* Apalagi dengan motif yang uaekeh tenan--banyak banget maksudnya, hehe :)

Nah, selama beberapa bulan bekerja, aku akhirnya menyetok Wall Sticker juga. Inilah keinginan yang juga Allah kabulkan. Alhamdulillah. Masalah bisnis Wall Sticker ini, akan aku ceritakan di tulisan lainnya ya.... Yang jelas, seperti yang aku dambakan saat masih di Kabaena, aku akhirnya benar-benar sibuk. Setelah Daeng Rewa tutup, aku melanjutkan dengan membungkus orderan-orderan Wall Sticker. Tak jarang sampai mendekati angka 12 selama aku bergumul dengan orderan-orderan itu. Mata sampai tinggal 5 Watt. Tapi, alhamdulillah. Segala sesuatu yang disyukuri, akan selalu menghadirkan kebahagiaan di dada.

Ya. Karena bahagia itu sederhana; bersyukur.


Hari ketiga. Alhamdulillah aku masih bisa istiqamah menulis. Ternyata, memulai sesuatu yang telah lama kita tinggalkan itu sulit sekali. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa selamanya. Selalu ada cara untuk kembali ke kebiasaan yang lalu. Memang, ada saat-saat di mana rasa malas mencengkeramku begitu kuat. Belum lagi kesibukan yang datang silih berganti. Belum lagi media sosial yang menggoda bukan main. Aku menulis ini sampai handphone harus kusimpan di dalam laci. Itulah satu-satunya cara supaya aku dapat menulis tanpa gangguan. Sedang asyik menulis, tiba-tiba datang pembeli, dan mau tak mau kegiatan menulis pun harus berhenti. Yup, inilah risiko bekerja di depot makanan, hehe :)

Ya, saat ini aku bekerja di depot Coto Makassar Daeng Rewa yang terletak di Surabaya Timur.

Ngomong-ngomong aku belum cerita bagaimana aku bisa berada di tanah Jawa ini dan bekerja di sini. Oke, baiklah. Pada tulisan kali ini, aku akan bercerita bagaimana aku bisa berada di Kota Pahlawan ini.

Rasanya, semua berawal dari doa. Ya, doa. Aku masih ingat, bagaimana membosankannya tidak memiliki pekerjaan. Saat masih berada di Kabaena, pekerjaanku semata-mata hanya menulis. Di Kabaena pulalah aku menyelesaikan naskah novel perdanaku; Ketika. Selain menulis, yang aku lakukan hanya membaca dan rutinitas rumah lainnya. Tak ada pekerjaan lain. Dan, bagaimanapun, itu menghadirkan kebosanan luar biasa. Berangkat dari perasaan jenuh itu, aku akhirnya berdoa pada Allah SWT (aku masih ingat berdoa sampai berkali-kali setiap usai shalat) supaya aku dikasih pekerjaan apa pun, asal aku bisa sibuk dan bisa keluar dari rutinitas yang semuanya terjadi di rumah itu.

Entah berapa bulan kemudian--aku benar-benar tidak ingat kapan pastinya aku mulai berdoa meminta pekerjaan, meminta kesibukan--kakakku menawarkan untuk bekerja di Surabaya. Saat itu aku heran, lho kok jauh banget kerjanya? Usut punya usut, ternyata suami kakakku itu bekerja di Surabaya. Karena iparku itu orang Makassar dan hobi masak juga, akhirnya dia diminta untuk menjadi koki di depot Coto Makassar Daeng Rewa yang baru buka akhir Agustus 2015.

Aku termasuk tipe orang yang pemikir sebenarnya. Maksudnya, segala sesuatu yang akan aku lakukan, segala sesuatu pilihanku, pasti aku pikirkan matang-matang. Paling tidak, aku pasti pertimbangkan dulu. Namun, aneh saat kakakku menawarkan untuk ke Surabaya, serta-merta aku mengiyakan. Tanpa berpikir macam-macam. Tanpa berpikir bagaimana jika ini, bagaimana jika itu. Duh, itu artinya aku harus tinggal jauh dari orangtuaku, dong? Pikiran-pikiran itu alhamdulillah tidak bersileweran di otakku ketika tawaran itu datang. Aku hanya bilang, "Oke, ayok!"

Yang bersileweran di otakku saat itu justru syair Imam Syafi'i tentang merantau yang kali pertama aku baca di novel A. Fuadi--Ranah 3 Warna. Syair indahnya seperti ini:

Merantaulah…
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).
Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.
Yup, syair yang indah dan penuh makna. Sempurna menyentilku yang merasa nyaman berada di tanah kelahiranku. Selain itu, aku juga memikirkan tentang zona nyaman. Seumur hidupku, aku selalu berada di zona nyaman. Berada di sekitar keluargaku, tak takut kekurangan apa pun karena menyadari selalu ada keluarga di sana. Dan, zona nyaman seringkali membuat seseorang tak menjadi apa-apa, tak berkembang, mentok begitu-begitu saja. Dan, aku tak mau seperti itu. Aku tak mau hidupku terus-menerus berada di zona nyaman, jauh dari tantangan kehidupan yang merupakan vitamin untuk menuju tangga kesuksesan, untuk menjadi pribadi yang berkembang. Pikiran-pikiran itulah yang berloncatan dalam otakku, hingga akhirnya membulatkan tekadku untuk menjadi seperti yang sudah saudara laki-lakiku lakukan: Merantau.

Tak banyak persiapan yang aku lakukan untuk merantau. Hanya berkemas pada malam sebelum keesokan paginya berangkat. Alhamdulillah-nya, perjalan menuju Surabaya ini free alias ditanggung pemilik depot tempat iparku bekerja. Mulai dari perjalanan meninggalkan Pulau Kabaena menggunakan kapal feri, lalu sampai di Bau-bau, menginap di hotel semalam dan akhirnya lanjut terbang menuju Surabaya.

Menunggu kapal feri datang di Pelabuhan Dongkala, Kabaena Timur.
Dalam perjalanan itu, aku baru menyadari bahwa Allah tengah mengabulkan doa-doaku dulu. Ya, doa-doa supaya mendapat pekerjaan. Dan, aku semakin yakin doa-doaku terkabul ketika mulai bekerja di Daeng Rewa. Di sana, aku benar-benar sibuk, mengerjakan banyak hal--persis yang aku minta dalam doaku supaya dikasih kesibukan. Rupanya Allah benar-benar memberi aku kesibukan yang super-super sibuk. Alhamdulillah :)

Tidak hanya itu. Allah juga mengabulkan doaku seperti sebuah pepatah: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sekali Allah kabulkan, ternyata bukan hanya mengabulkan satu doa, yaitu mendapat pekerjaan dan kesibukan, tetapi juga mengabulkan keinginan yang tak pernah aku ucapkan, hanya diam-diam mengendap di kedalaman hati. Apa itu? Bahwa suatu saat nanti aku bisa ke Surabaya. Dan, mengapa Kota Pahlawan? Karena ada beberapa teman dunia maya yang sangat ingin kutemui di sana. Teman dunia maya yang rasanya sudah seperti keluarga. Salah satunya adalah keluarga UNSA (Untuk Sahabat).

Alhamdulillah, bersyukur sekali Allah masih berkenan mengabulkan doa-doaku. Yang rasanya tak mungkin, ternyata mungkin bagi-Nya. Satu yang akan selalu kuingat sekarang, bahwa jangan pernah meremehkan sebuah doa. Memang hanya kegiatan sederhana, sekadar berkata-kata berbalut harapan, namun Allah tidak tidur. Allah menunggu kapan waktu yang tepat untuk mengabulkan doa-doa itu.

Mari berdoa. Mari menunggu dengan sabar.


Bandara Betoambari, Bau-Bau.

Bersama kakak, Rhina Bagea di halaman Bandara Betoambari.

Transit di Bandara Hassanudin, Makassar.

Menuju Surabaya.


Ini sebenarnya bukan hari kedua, tapi hari ketiga. Kemarin seharusnya hari kedua, tapi ternyata aku gagal untuk istiqamah menulis. Kalau mau mencari alasan, ada banyak alasan mengapa aku tidak menulis kemarin. Namun, aku tidak mau menjadi orang yang selalu mencari-cari alasan. Aku tidak mau hidup seperti itu. Yang sebaiknya aku cari adalah jalan keluar. Seperti judul postingan kali ini, Gagal, namun never give up!

Tulisan kali ini, jujur aku tidak tahu harus menulis apa. Tidak ada ide yang melintas di kepalaku apa yang harus aku tulis. Namun, ada yang sangat terasa sekarang di dalam hatiku. Mungkin, sebaiknya aku tulis itu saja.

Ini tentang perpisahan. Tidak usah bertanya perpisahan dengan siapa, hehe. Karena terkadang, aku cenderung suka memikirkan perpisahan, menyentil sisi melankolis dalam diriku, yang mana sering kali membuat aku jadi bergairah untuk menulis--kadang bekerja, kadang juga tidak sih, hehe.

Pertemuan. Perpisahan. Keduanya tak terpisahkan. Keduanya senantiasa berjalan bersisian. Seringkali, kita menyedari bahwa perpisahan itu akan datang, namun seringkali pula kita tidak mempersiapkan hati untuk hal itu. Akhirnya, ketika terjadi, sakitnya luar biasa. Ah, siapa juga yang suka perpisahan. Semua orang menyukai kebersamaan. Memikirkan perpisahan hanya membuat takut saja, walaupun itu pasti terjadi.

Perpisahan. Ia bagai malam yang perlahan-lahan merampas senja. Dan perpisahan tak pernah lupa menitipkan sekantung kenangan, untuk kita bawa setiap harinya. Menyiksa kita untuk meniti langkah hari demi hari. Seolah-olah hari terasa berat, terasa panjang. Perjalanan tak lagi menyenangkan, yang tadi bersama kini tinggal sendiri.

Ah, perpisahan....
Ah, kamu....

Jujur, aku tidak pernah lagi menulis seperti dulu. Di mana kata-kata yang berputar di kepalaku begitu mudah untuk aku tuangkan dalam tulisan. Seringnya malah kata-kata itu macet ketika hendak keluar. Aku menyadari, aku terlalu banyak berpikir, apakah akan bagus? apakah ini sudah pas? Standar tinggi untuk tulisan sendiri, sungguh itu bukan sesuatu yang baik, aku menyadari itu. Tidak sepatutnya seorang penulis membiarkan 'editor' hidup dalam draf pertamanya. Bukankah draf pertama itu wajib jelek? Wajib tampak kayak sampah? Ah, aku menyadari itu dan seringkali mengatakannya pada diriku sendiri. Namun, mungkin karena sudah tidak asing lagi, aku menjadi terbiasa mendengar kata-kata itu dan malah menganggapnya angin lalu saja. Dan akhirnya, beginilah kondisiku saat ini: stuck.

Terkadang ketika hendak memulai menulis dan malah mendapati diriku yang hanya menghadapi lembar kosong word, aku tiba-tiba merindukan diriku saat-saat yang lalu. Di mana menulis terasa begitu gampang. Apa pun yang meloncat-loncat dalam kepalaku begitu mudah untuk aku tuliskan. Ringan. Enteng. Pokoknya nyaman banget. Dulu, apa pun yang terjadi di sekitarku, rasanya gatal kalau aku tidak mengubahnya menjadi sebuah cerita. Rasanya aneh dalam sehari kalau aku tidak menulis. Itu dulu. Sekarang, super parah. Sudah beberapa tahun tidak lagi menghasilkan sebuah cerita--entah itu cerpen, lebih-lebih novel.

Ini semua bermula dari terbitnya novel perdanaku: KETIKA. Aku tahu, semua ini sepenuhnya salahku. Yang ketika novel itu terbit, malah sibuk promo saja, dan lalai untuk kembali merajut cerita. Ya, dulu aku hanya promo dan promo. Lalu, perlahan-lahan, kegiatan menulis terlepas dalam hidupku. Dulu awal-awal aku masih suka membuat quote-quote di twitter, setidaknya itu menjadi satu-satunya cara untuk merangsang ide kreatif di kepalaku. Twitter menjadi media untuk menulis saat itu. Lalu, perlahan-lahan, aku berhenti menulis quote. Dan, di mulai dari situlah, aku tidak menulis. Beberapa kali pernah mencoba menulis, namun kosa kata dalam otakku seolah dirampok entah ke mana. Susah menemukan kata yang pas, yang pada akhirnya membuat kepalaku mumet dan aku pun seringkali berhenti menulis.

Satu yang aku sesali, mengapa dulu aku berhenti menulis? Aku tidak menyadari bahwa ketika aku sudah berhenti menulis, dan itu berlangsung beberapa tahun, ketika hendak menulis lagi, ternyata sulit minta ampun. Kalau saja boleh kembali, aku akan memilih terus menulis, meskipun itu bukan novel. Mungkin cerpen. Atau puisi. Dan itu tidak harus terpampang di media. Terpampang di blog sendiri saja itu cukup. Paling tidak, untuk menulis tidak sesulit ini. Untuk menuangkan kata-kata yang berlalu-lalang di kepala tidak seberat ini. Ah. Siapa pun kamu, yang telah begitu akrab dengan menulis, pesanku teruslah menulis. Jangan berhenti. Memang ada saat-saat jenuh dalam menulis--atau alasan apa pun--tapi itu tidak berarti membuat kita benar-benar berhenti menulis. Percayalah, setelah berhenti lama, dan untuk memulai lagi, rasanya susaaaaah banget. Seolah-olah pipa yang mengalirkan kata-kata dalam kepala ini telah dikerumini karat. Dan itu berarti perlu usaha keras untuk kembali melancarkan aliran kata-kata, menerobos kerumunan karat-karat itu.

Teruslah menulis....

Kini, aku mencoba kembali membiasakan menulis setiap hari. Dan ini hari pertama aku melakukannya. Aku belajar menulis bebas. Free Writing. Aku belajar untuk menyingkirkan editor dalam diriku. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa tak ada yang perlu aku khawatirkan dalam tulisanku. Tidak ada kata bagus. Tidak ada pula kata jelek. Aku menulis saja. Menulis, Dan terus menulis.

Tidak ada kata terlambat. Ya, tidak ada kata terlambat untuk kembali membiasakan diri ini menulis. Aku masih punya kesempatan untuk membangun kebiasaan itu, selama aku masih hidup, masih diberi waktu dan kesehatan, aku bisa kembali membangun kebiasaan itu. Ngomong-ngomong, aku jadi teringat kalimat dalam buku salah satu penulis favoritku, Khaled Hosseini, yang berjudul The Kite Runner bahwa selalu ada jalan untuk kembali. Ya, itulah aku saat ini. Yang mencari jalan kembali untuk membiasakan menulis. Dan, jalan itu dengan mulai menulis. Aku berencana untuk menulis setiap hari selama 40 hari. Sebenarnya 21 hari atau 3 minggu sudah cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baru, tapi aku mencoba memakai jangka waktu yang Ustad Yusuf Mansur sarankan dalam Riyadhoh 40 hari--biar lebih mantap.

Harapanku semua ini akan berjalan lancar nantinya. Aamiin yra :)