Ini seharusnya menjadi hari keenam, tapi sekali lagi saya gagal menulis secara rutin. Tidak perlulah saya menulis alasannya di sini, karena kalau mau mencari alasan selalu tersedia banyak di kepala. Yang jelas, ternyata untuk istiqamah itu tidak mudah. Saya sampai greget pada diri saya sendiri, yang tak mampu menantang rintangan demi rintangan yang menghantam diri ini, menghantam pertahanan saya untuk terus menulis, apa pun yang terjadi. Nyatanya, saya gagal. Sejauh ini, sudah dua kali saya gagal menulis. Yang seharusnya tulisan saya telah mencapai tujuh tulisan dengan hari ini, tapi justru baru mencapai lima tulisan.

Meskipun gagal, saya tidak mau berhenti melanjutkan proyek pribadi ini, proyek untuk membiasakan menulis setiap hari. Semangat, Aiman!


***

Ia tidak ingin mendambakan pertemuan itu kalau saja tahu semua akan begini. Orang yang katanya mencintainya, menyayanginya, kini justru melangkah menjauhinya. Ia tidak mengerti, mengapa semua terlalu cepat, hubungan mereka. Ia tidak yakin apakah telah membuat kesalahan, sehingga menyurutkan langkah orang yang dicintainya itu. Dan ia pun bertanya-tanya, mengapa seolah-olah orang itu hanya sejenak saja mampir dalam hidupnya?

Apakah memang ada orang seperti itu? Sejenak saja mampir dalam kehidupan seseorang, menorehkan rupa-rupa warna di sana--bahagia, rindu, janji-janji--lalu pergi seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tak menoleh sedikitpun untuk sekadar melihat seseorang yang telah ditinggalkannya, yang kini tengah terseok-seok menenteng berkantung-kantung kenangan. Memang hanya sejenak, tapi kenangan yang telah tercipta begitu banyaknya.

Ia meragu, apakah mampu melewati hari demi hari, berjalan bersisian bersama kenangan? Apakah ia mampu melewatinya sendiri? Apakah ia tak pantas bahagia? Ah, kalau saja ia tahu akan begini, ia tak mau terlalu mencintai orang itu. Ia tak mau menyerahkan seluruh hatinya pada orang itu--yang katanya mencintainya.

Ia yang bodoh atau memang beginilah cinta? Di mana ketika kita mencintai seseorang, jangan pernah mencintainya separuh-separuh. Ataukah itu salah? Salah bila terlalu mencintai seseorang? Ah entahlah. Ia tak tahu. Kini, ia hanya merasa ia terlalu bodoh. Terlalu bodoh untuk mengendalikan perasaannya sendiri. Bila hanyut, ia biarkan dirinya hanyut. Sama sekali tak mempersiapkan hatinya untuk sebuah perpisahan, yang mana merupakan sebuah kepastian.

Kini, ia menyadari, perjalanannya masih panjang. Kini, ia merapal harap, hari demi hari, bahwa waktu segera berbaik hati untuk menjulurkan jari-jemarinya, satu demi satu mengambil kenangan yang membebani hatinya, yang kerapkali membuat rongga dadanya sesak, membuat ulu hatinya memerih, juga basah kedua matanya.

Ia pantas bahagia, bisiknya.
Ia pantas dicintai tanpa selalu dilukai, lagi ia berbisik.
Ia pantas untuk mengenang hari-hari yang telah lalu dalam kebersamaan, bukan kesendirian, lagi-lagi ia berbisik.

Dan, karena itulah, ia terus melangkah, kendati disadarinya tak akan mudah.

Hari keempat. Alhamdulillah masih setia menulis.

Pada tulisan ketiga kemarin, aku bercerita bagaimana aku bisa bekerja di Surabaya, jauh dari Bumi Anoa. Kali ini, aku mau melanjutkan cerita itu.

Rasanya ada begitu banyak hal yang harus aku syukuri. Mendapat pekerjaan tanpa perlu repot-repot mencari. Perjalanan gratis dari Sulawesi–Surabaya. Sesampainya di Surabaya, aku juga tak perlu repot-repot mencari tempat tinggal karena Daeng Rewa menempati ruko 3 lantai, di mana lantai 1 dan 2 berisi jejeran meja-kursi untuk para pembeli. Sementara lantai 3 untuk tempat tidur para pegawainya. Selain itu, makan sehari-hari ditanggung di sini. Juga tak perlu lagi memikirkan biaya akomodasi karena aku tinggal langsung di sana. Alhamdulillah banget kan? :)

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Ada hal lucu ketika awal-awal berada di Surabaya. Seumur hidup tinggal di Sulawesi, dan terbiasa mendengar suara orang-orang yang lantang khas Sulawesi, membuatku kagok saat berada di lingkungan Jawa yang notabene-nya bersuara lembut--sebagian malah super duper lembut--dan ditambah lagi medoknya. Duh, Tuhan. Lengkap sudah. Hahaha.

Pada beberapa kejadian, saat berbicara dengan orang Jawa, aku sampai harus bertanya beberapa kali apa yang sudah mereka katakan. Aku mendadak menjadi bak orang tuli. Kali lain, karena nggak enak dan malu meminta mereka mengulangi apa yang mereka katakan, akhirnya aku mengangguk-angguk saja, pura-pura ngertos. Padahal, oraaaa :D

Di Surabaya ini, sekali lagi Allah mengabulkan keinginanku untuk memiliki usaha, bisnis. Sewaktu di Kabaena, untuk mengisi waktu luang, aku mencoba menjadi seorang dropshiper produk Wall Sticker atau Stiker Dinding. Selama menjadi dropshiper ini keuntungan yang aku dapatkan cukup lumayan. Dan kegiatan ini masih berlangsung sampai aku bekerja di Daeng Rewa. Entah mengapa, aku cukup menyukai bisnis ini. Tidak terlalu merepotkan dan peluangnya juga sangat besar. Orang-orang tentu bosan dengan dinding mereka yang warnanya begitu-begitu saja. Paling ditempeli foto atau poster biar tidak monoton. Just it. Nah, Wall Sticker ini bisa menjadi solusi untuk mempermanis ruangan, menyegarkan mata tatkala memandang *jiaaaah* Apalagi dengan motif yang uaekeh tenan--banyak banget maksudnya, hehe :)

Nah, selama beberapa bulan bekerja, aku akhirnya menyetok Wall Sticker juga. Inilah keinginan yang juga Allah kabulkan. Alhamdulillah. Masalah bisnis Wall Sticker ini, akan aku ceritakan di tulisan lainnya ya.... Yang jelas, seperti yang aku dambakan saat masih di Kabaena, aku akhirnya benar-benar sibuk. Setelah Daeng Rewa tutup, aku melanjutkan dengan membungkus orderan-orderan Wall Sticker. Tak jarang sampai mendekati angka 12 selama aku bergumul dengan orderan-orderan itu. Mata sampai tinggal 5 Watt. Tapi, alhamdulillah. Segala sesuatu yang disyukuri, akan selalu menghadirkan kebahagiaan di dada.

Ya. Karena bahagia itu sederhana; bersyukur.


Hari ketiga. Alhamdulillah aku masih bisa istiqamah menulis. Ternyata, memulai sesuatu yang telah lama kita tinggalkan itu sulit sekali. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa selamanya. Selalu ada cara untuk kembali ke kebiasaan yang lalu. Memang, ada saat-saat di mana rasa malas mencengkeramku begitu kuat. Belum lagi kesibukan yang datang silih berganti. Belum lagi media sosial yang menggoda bukan main. Aku menulis ini sampai handphone harus kusimpan di dalam laci. Itulah satu-satunya cara supaya aku dapat menulis tanpa gangguan. Sedang asyik menulis, tiba-tiba datang pembeli, dan mau tak mau kegiatan menulis pun harus berhenti. Yup, inilah risiko bekerja di depot makanan, hehe :)

Ya, saat ini aku bekerja di depot Coto Makassar Daeng Rewa yang terletak di Surabaya Timur.

Ngomong-ngomong aku belum cerita bagaimana aku bisa berada di tanah Jawa ini dan bekerja di sini. Oke, baiklah. Pada tulisan kali ini, aku akan bercerita bagaimana aku bisa berada di Kota Pahlawan ini.

Rasanya, semua berawal dari doa. Ya, doa. Aku masih ingat, bagaimana membosankannya tidak memiliki pekerjaan. Saat masih berada di Kabaena, pekerjaanku semata-mata hanya menulis. Di Kabaena pulalah aku menyelesaikan naskah novel perdanaku; Ketika. Selain menulis, yang aku lakukan hanya membaca dan rutinitas rumah lainnya. Tak ada pekerjaan lain. Dan, bagaimanapun, itu menghadirkan kebosanan luar biasa. Berangkat dari perasaan jenuh itu, aku akhirnya berdoa pada Allah SWT (aku masih ingat berdoa sampai berkali-kali setiap usai shalat) supaya aku dikasih pekerjaan apa pun, asal aku bisa sibuk dan bisa keluar dari rutinitas yang semuanya terjadi di rumah itu.

Entah berapa bulan kemudian--aku benar-benar tidak ingat kapan pastinya aku mulai berdoa meminta pekerjaan, meminta kesibukan--kakakku menawarkan untuk bekerja di Surabaya. Saat itu aku heran, lho kok jauh banget kerjanya? Usut punya usut, ternyata suami kakakku itu bekerja di Surabaya. Karena iparku itu orang Makassar dan hobi masak juga, akhirnya dia diminta untuk menjadi koki di depot Coto Makassar Daeng Rewa yang baru buka akhir Agustus 2015.

Aku termasuk tipe orang yang pemikir sebenarnya. Maksudnya, segala sesuatu yang akan aku lakukan, segala sesuatu pilihanku, pasti aku pikirkan matang-matang. Paling tidak, aku pasti pertimbangkan dulu. Namun, aneh saat kakakku menawarkan untuk ke Surabaya, serta-merta aku mengiyakan. Tanpa berpikir macam-macam. Tanpa berpikir bagaimana jika ini, bagaimana jika itu. Duh, itu artinya aku harus tinggal jauh dari orangtuaku, dong? Pikiran-pikiran itu alhamdulillah tidak bersileweran di otakku ketika tawaran itu datang. Aku hanya bilang, "Oke, ayok!"

Yang bersileweran di otakku saat itu justru syair Imam Syafi'i tentang merantau yang kali pertama aku baca di novel A. Fuadi--Ranah 3 Warna. Syair indahnya seperti ini:

Merantaulah…
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).
Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.
Yup, syair yang indah dan penuh makna. Sempurna menyentilku yang merasa nyaman berada di tanah kelahiranku. Selain itu, aku juga memikirkan tentang zona nyaman. Seumur hidupku, aku selalu berada di zona nyaman. Berada di sekitar keluargaku, tak takut kekurangan apa pun karena menyadari selalu ada keluarga di sana. Dan, zona nyaman seringkali membuat seseorang tak menjadi apa-apa, tak berkembang, mentok begitu-begitu saja. Dan, aku tak mau seperti itu. Aku tak mau hidupku terus-menerus berada di zona nyaman, jauh dari tantangan kehidupan yang merupakan vitamin untuk menuju tangga kesuksesan, untuk menjadi pribadi yang berkembang. Pikiran-pikiran itulah yang berloncatan dalam otakku, hingga akhirnya membulatkan tekadku untuk menjadi seperti yang sudah saudara laki-lakiku lakukan: Merantau.

Tak banyak persiapan yang aku lakukan untuk merantau. Hanya berkemas pada malam sebelum keesokan paginya berangkat. Alhamdulillah-nya, perjalan menuju Surabaya ini free alias ditanggung pemilik depot tempat iparku bekerja. Mulai dari perjalanan meninggalkan Pulau Kabaena menggunakan kapal feri, lalu sampai di Bau-bau, menginap di hotel semalam dan akhirnya lanjut terbang menuju Surabaya.

Menunggu kapal feri datang di Pelabuhan Dongkala, Kabaena Timur.
Dalam perjalanan itu, aku baru menyadari bahwa Allah tengah mengabulkan doa-doaku dulu. Ya, doa-doa supaya mendapat pekerjaan. Dan, aku semakin yakin doa-doaku terkabul ketika mulai bekerja di Daeng Rewa. Di sana, aku benar-benar sibuk, mengerjakan banyak hal--persis yang aku minta dalam doaku supaya dikasih kesibukan. Rupanya Allah benar-benar memberi aku kesibukan yang super-super sibuk. Alhamdulillah :)

Tidak hanya itu. Allah juga mengabulkan doaku seperti sebuah pepatah: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sekali Allah kabulkan, ternyata bukan hanya mengabulkan satu doa, yaitu mendapat pekerjaan dan kesibukan, tetapi juga mengabulkan keinginan yang tak pernah aku ucapkan, hanya diam-diam mengendap di kedalaman hati. Apa itu? Bahwa suatu saat nanti aku bisa ke Surabaya. Dan, mengapa Kota Pahlawan? Karena ada beberapa teman dunia maya yang sangat ingin kutemui di sana. Teman dunia maya yang rasanya sudah seperti keluarga. Salah satunya adalah keluarga UNSA (Untuk Sahabat).

Alhamdulillah, bersyukur sekali Allah masih berkenan mengabulkan doa-doaku. Yang rasanya tak mungkin, ternyata mungkin bagi-Nya. Satu yang akan selalu kuingat sekarang, bahwa jangan pernah meremehkan sebuah doa. Memang hanya kegiatan sederhana, sekadar berkata-kata berbalut harapan, namun Allah tidak tidur. Allah menunggu kapan waktu yang tepat untuk mengabulkan doa-doa itu.

Mari berdoa. Mari menunggu dengan sabar.


Bandara Betoambari, Bau-Bau.

Bersama kakak, Rhina Bagea di halaman Bandara Betoambari.

Transit di Bandara Hassanudin, Makassar.

Menuju Surabaya.


Ini sebenarnya bukan hari kedua, tapi hari ketiga. Kemarin seharusnya hari kedua, tapi ternyata aku gagal untuk istiqamah menulis. Kalau mau mencari alasan, ada banyak alasan mengapa aku tidak menulis kemarin. Namun, aku tidak mau menjadi orang yang selalu mencari-cari alasan. Aku tidak mau hidup seperti itu. Yang sebaiknya aku cari adalah jalan keluar. Seperti judul postingan kali ini, Gagal, namun never give up!

Tulisan kali ini, jujur aku tidak tahu harus menulis apa. Tidak ada ide yang melintas di kepalaku apa yang harus aku tulis. Namun, ada yang sangat terasa sekarang di dalam hatiku. Mungkin, sebaiknya aku tulis itu saja.

Ini tentang perpisahan. Tidak usah bertanya perpisahan dengan siapa, hehe. Karena terkadang, aku cenderung suka memikirkan perpisahan, menyentil sisi melankolis dalam diriku, yang mana sering kali membuat aku jadi bergairah untuk menulis--kadang bekerja, kadang juga tidak sih, hehe.

Pertemuan. Perpisahan. Keduanya tak terpisahkan. Keduanya senantiasa berjalan bersisian. Seringkali, kita menyedari bahwa perpisahan itu akan datang, namun seringkali pula kita tidak mempersiapkan hati untuk hal itu. Akhirnya, ketika terjadi, sakitnya luar biasa. Ah, siapa juga yang suka perpisahan. Semua orang menyukai kebersamaan. Memikirkan perpisahan hanya membuat takut saja, walaupun itu pasti terjadi.

Perpisahan. Ia bagai malam yang perlahan-lahan merampas senja. Dan perpisahan tak pernah lupa menitipkan sekantung kenangan, untuk kita bawa setiap harinya. Menyiksa kita untuk meniti langkah hari demi hari. Seolah-olah hari terasa berat, terasa panjang. Perjalanan tak lagi menyenangkan, yang tadi bersama kini tinggal sendiri.

Ah, perpisahan....
Ah, kamu....

Jujur, aku tidak pernah lagi menulis seperti dulu. Di mana kata-kata yang berputar di kepalaku begitu mudah untuk aku tuangkan dalam tulisan. Seringnya malah kata-kata itu macet ketika hendak keluar. Aku menyadari, aku terlalu banyak berpikir, apakah akan bagus? apakah ini sudah pas? Standar tinggi untuk tulisan sendiri, sungguh itu bukan sesuatu yang baik, aku menyadari itu. Tidak sepatutnya seorang penulis membiarkan 'editor' hidup dalam draf pertamanya. Bukankah draf pertama itu wajib jelek? Wajib tampak kayak sampah? Ah, aku menyadari itu dan seringkali mengatakannya pada diriku sendiri. Namun, mungkin karena sudah tidak asing lagi, aku menjadi terbiasa mendengar kata-kata itu dan malah menganggapnya angin lalu saja. Dan akhirnya, beginilah kondisiku saat ini: stuck.

Terkadang ketika hendak memulai menulis dan malah mendapati diriku yang hanya menghadapi lembar kosong word, aku tiba-tiba merindukan diriku saat-saat yang lalu. Di mana menulis terasa begitu gampang. Apa pun yang meloncat-loncat dalam kepalaku begitu mudah untuk aku tuliskan. Ringan. Enteng. Pokoknya nyaman banget. Dulu, apa pun yang terjadi di sekitarku, rasanya gatal kalau aku tidak mengubahnya menjadi sebuah cerita. Rasanya aneh dalam sehari kalau aku tidak menulis. Itu dulu. Sekarang, super parah. Sudah beberapa tahun tidak lagi menghasilkan sebuah cerita--entah itu cerpen, lebih-lebih novel.

Ini semua bermula dari terbitnya novel perdanaku: KETIKA. Aku tahu, semua ini sepenuhnya salahku. Yang ketika novel itu terbit, malah sibuk promo saja, dan lalai untuk kembali merajut cerita. Ya, dulu aku hanya promo dan promo. Lalu, perlahan-lahan, kegiatan menulis terlepas dalam hidupku. Dulu awal-awal aku masih suka membuat quote-quote di twitter, setidaknya itu menjadi satu-satunya cara untuk merangsang ide kreatif di kepalaku. Twitter menjadi media untuk menulis saat itu. Lalu, perlahan-lahan, aku berhenti menulis quote. Dan, di mulai dari situlah, aku tidak menulis. Beberapa kali pernah mencoba menulis, namun kosa kata dalam otakku seolah dirampok entah ke mana. Susah menemukan kata yang pas, yang pada akhirnya membuat kepalaku mumet dan aku pun seringkali berhenti menulis.

Satu yang aku sesali, mengapa dulu aku berhenti menulis? Aku tidak menyadari bahwa ketika aku sudah berhenti menulis, dan itu berlangsung beberapa tahun, ketika hendak menulis lagi, ternyata sulit minta ampun. Kalau saja boleh kembali, aku akan memilih terus menulis, meskipun itu bukan novel. Mungkin cerpen. Atau puisi. Dan itu tidak harus terpampang di media. Terpampang di blog sendiri saja itu cukup. Paling tidak, untuk menulis tidak sesulit ini. Untuk menuangkan kata-kata yang berlalu-lalang di kepala tidak seberat ini. Ah. Siapa pun kamu, yang telah begitu akrab dengan menulis, pesanku teruslah menulis. Jangan berhenti. Memang ada saat-saat jenuh dalam menulis--atau alasan apa pun--tapi itu tidak berarti membuat kita benar-benar berhenti menulis. Percayalah, setelah berhenti lama, dan untuk memulai lagi, rasanya susaaaaah banget. Seolah-olah pipa yang mengalirkan kata-kata dalam kepala ini telah dikerumini karat. Dan itu berarti perlu usaha keras untuk kembali melancarkan aliran kata-kata, menerobos kerumunan karat-karat itu.

Teruslah menulis....

Kini, aku mencoba kembali membiasakan menulis setiap hari. Dan ini hari pertama aku melakukannya. Aku belajar menulis bebas. Free Writing. Aku belajar untuk menyingkirkan editor dalam diriku. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa tak ada yang perlu aku khawatirkan dalam tulisanku. Tidak ada kata bagus. Tidak ada pula kata jelek. Aku menulis saja. Menulis, Dan terus menulis.

Tidak ada kata terlambat. Ya, tidak ada kata terlambat untuk kembali membiasakan diri ini menulis. Aku masih punya kesempatan untuk membangun kebiasaan itu, selama aku masih hidup, masih diberi waktu dan kesehatan, aku bisa kembali membangun kebiasaan itu. Ngomong-ngomong, aku jadi teringat kalimat dalam buku salah satu penulis favoritku, Khaled Hosseini, yang berjudul The Kite Runner bahwa selalu ada jalan untuk kembali. Ya, itulah aku saat ini. Yang mencari jalan kembali untuk membiasakan menulis. Dan, jalan itu dengan mulai menulis. Aku berencana untuk menulis setiap hari selama 40 hari. Sebenarnya 21 hari atau 3 minggu sudah cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baru, tapi aku mencoba memakai jangka waktu yang Ustad Yusuf Mansur sarankan dalam Riyadhoh 40 hari--biar lebih mantap.

Harapanku semua ini akan berjalan lancar nantinya. Aamiin yra :)