Seperti yang sering kau katakan, kekuatan cinta itu ada. Dan kini, aku percaya bahwa kekuatan cinta itu benar-benar ada. Semua telah kusaksikan dan terbukti melalui kebersamaan kita sampai saat ini. Bersama-sama, kita mengarungi bahtera rumah tangga. Kadang, teramat damai tanpa kejaran ombak. Kadang, begitu goyah dihantam gulungan-gulungan ombak. Sekarang dan untuk selamanya, cintamu takkan kuragukan lagi. Cintamu yang putih, tulus, dan indah. Meski begitu, di kedalaman benakku, sesekali bertengger tanya. Mengapa kau bisa bertahan mencintai perempuan mandul sepertiku? Bukankah istri yang sempurna itu seharusnya dapat melahirkan seorang anak?

Kau pasti sangat tahu kalau aku mengizinkanmu mencari dan memetika bunga lain yang lebih indah dan bisa melahirkan keturunanmu. Namun, kau selalu saja menggeleng seraya berkata, “Tak ada bunga seindah dirimu.”

Ya. Aku terima pandanganmu itu. Tetapi, apakah kau tak pernah berharap memiliki keturunan di sepanjang hidupmu? Aku selalu berharap akan hal itu. Tapi saat dokter memvonisku mandul, harapan itu terpaksa harus kukubur sedalam-dalamnya. Kau juga tahu kalau aku tak ingin mengadopsi anak orang lain. Seperti yang sering kau sarankan setiap kali melihat air mukaku berubah sedih.

Waktu kian berlari dan meninggalkan masa lalu. Kau tahu kalau aku kadang bosan denganmu. Bosan melihat wajahmu, bosan melihat gerak-gerikmu, bosan melihatmu berada di rumah, bosan tidur berdua denganmu, dan bosan tinggal bersamamu. Masih mampu kuingat, usiaku menginjak angka tiga puluh satu saat aku merasa sangat bosan melihatmu di rumah. Maka, dengan kasar, kusuruh kau pergi dari rumah. Aku menyuruhmu pergi sejauh-jauhnya. Dan kau tahu, seminggu setelah kepergianmu yang entah ke mana, aku tiba-tiba disergap rasa bersalah yang amat sangat. Tidak hanya itu, aku juga dilanda kerinduan yang teramat kental. Karena itulah, ketika kau datang, aku bergegas menubrukmu dengan pelukan. Aku memelukmu erat-erat sembari bersimbah air mata.

Aku memang kadang bosan padamu, tetapi kamu? Inilah yang ingin kutanyakan padamu nanti. Sebentar lagi. Bagaimana bisa kau tak pernah bosan padaku? Dan, bagaimana pula caramu mencintaiku?

Ada kebahagiaan yang berhamburan di hati saat aku menatap wajahmu yang terlelap. Aku beruntung dipersunting olehmu, lelaki sederhana yang mengagumi purnama. Oh, bukan hanya kaua yang mengagumi purnama. AKu pun sangat mengaguminya.

Jika kubuka laci ingatan, akan kutemukan kenangan-kenangan manis kita. Kenangan tatkala berdua kita pandangi langit yang bertahtakan gemintang dan purnama. Duduk berdua dibasuh angin malam, saling menggenggam tangan, seolah ingin menyatukan rasa yang bergejolak di dada. Dan sampai kini, kita masih melakukan itu setiap purnama hadir di pekat malam. Itu sudah menjadi rutinitas kita.

***
Angin mengalir lembut, membawa helai-helai dingin yang akan segera menyelimuti tubuh renta kita. Usai shalat Maghrib tadi, telah kau beritahu aku bahwa malam nanti akan terbit purnama. Tampak kebahagiaan berpendar-pendar dari matamu yang lelah. Tidak hanya kau, mataku pun kini lelah. Aku serta-merta menyambutnya dengan rasa bahagia. Kusampaikan dengan melukis senyum terindah yang aku miliki. Lalu, bakda Isya, kita keluar rumah dengan langkah tertatih sambil saling menuntun. Perlahan, tubuh melengkung kita akan berlabuh di atas balai bambu yang kau buat beberapa tahun lalu. “Hadiah ulang tahun,” katamu dulu.

Dengan tetap saling bergenggam tangan, kita rambatkan pandangan ke langit malam. Di atas sana, ada rembulan sebesar semangka yang tengah menyiramkan cahayanya ke bumi. Langit menjadi cerah. Tak hanya ada sang demi malam, jutaan gemintang pun berhamburan di angkasa.

Angin malam kembali bertiup.

Aku mulai merasakan tubuh ini dingin. Tiba-tiba, kau menyentuh pundakku dengan jemarimu yang sama dengan jemariku, mengerut. Lantas, kau membawa aku dalam dekap pelukmu, ingin membagi kehangatan. Mungkin, kau tahu bahwa aku tengah kedinginan lewat getaran tanganku di genggamanmu. Seketika, semua terasa indah. Hatiku merona-rona. Mungkin bila ada anak muda yang melihat kita kini, mereka akan berkata, “Kakek dan Nenek bisa romantis-romantisan juga ternyata.”

“Bulannya gendut sekali,” kata-katamu meluncur lembut, sedang telunjukmu menghunus angkasa.

“Bulan purnama,” aku membetulkan perkataanmu. “Dari dulu sampai sekarang, masih juga kau bilang bulan gendut. Apakah karena timbangan badanku pernah melebihi batas ketika muda dulu sehingga kau menyebut purnama dengan kata itu?” Dari ekor mataku, kujalari wajahmu yang kini bertahtakan senyuman. Senyuman yang selalu saja tampak indah di mataku. Senyuman sederhana nan menawan.

Kau semakin merapatkan pelukanmu dan tak menanggapi perkataanku. Untuk beberapa saat, kita didekap sunyi. Kau tahu, saat diam seperti ini, yang kulakukan adalah mencoba menggapai kelabat di kepala mengenai saat-saat terindah bersamamu. Kurasa, waktu memang telah merenggut sebagian ingatan kita.

Lorong-lorong waktu akan mempersembahkan berbagai macam kenangan kita berdua. Namun, yang paling kusuka adalah saat kita menatap purnama di pinggir sungai dulu. Sama seperti malam ini, saat itu pun angin menyuguhkan secawan dingin dan sebulat rembulan.
“Aku akan melamarmi minggu depan, Bulan,” ujarmu kala itu. Semburat bahagia karena mendengar ucapanmu itu tidak mampu kusembunyikan di bawah temaram rembulan.

Dan, ternyata benar. Seminggu kemudian, kau datang melamarku bersama kedua orangtuamu. Sungguh, laksana ada bunga-bunga yang ranum dan mewangi bertebaran di hatiku. Kebahagiaanku lengkap sudah. Cinta kita akhirnya bersemi pada bulan kedelapan.

Aku menangkap desah napasmu yang berat. Jemarimu juga tak tinggal diam. Sedari tadi, mengusap rambutku yang sepenuhnya berwarna tembaga, seperti juga rambutmu.

“Entah sampai kapan kita akan terus menatap purnama,” desisku di antara angin yang mengaduk dedaunan.

“Sampai kita telah tiada,” sahutmu ringan. Aku tersenyum lebar.

“Kau tak pernah bosan kepadaku? Maksudku, kau tak pernah bosan mencintaiku?” Akhirnya, sebutir tanya yang telah lama mengendap di dada terlontar juga.

Kepalamu yang kau letakkan di atas kepalaku, menggeleng. Suaramu kemudian terdengar, “Tidak. Aku tak pernah bosan mencintaimu. Meskipun waktu telah merenggut pesonamu, cinta di hatiku tetap bersinar benderang. Cinta itu masih seperti dulu, saat pertama kali bertemu denganmu.”

“Mengapa dulu kau tak mau menikah dengan perempuan lain saat tahu aku mandul dan tak mungkin melahirkan keturunanmu?”

“Karena aku mencintaimu.”

“Mengapa kaut tak pernah bosan mencintaku?”

“Karena aku mencintaimu bukan dengan mata. Aku mencintaimu dengan hati.”

Aku terhenyak. Kulonggarkan pelukan, lalu bergegas menatap bola matamu. Terlihat ketulusan dan kesungguhan di sana. Begitukah caramu mencintaku? Begitukah caramu memandang cinta selama ini? Aku sungguh tak menyangka. Hatiku gerimis, terkenang masa-masa di mana aku begitu bosan padamu. Bahkan, aku sampai menyuruhmu meninggalkan rumah, meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memelukmu erat. Sekuat-kuatnya. Aku takut kehilanganmu. Air mataku menelaga sejenak, lalu tumpah ruah. Aku terisak dalam pelukanmu.

“Aku sungguh beruntung menjadi sitrimu,” kataku. Di antara lelehan air mata, ucapanku itu lebih serupa bisikan.

Kudengar kau berkata, “Aku juga beruntung menjadi suamimu.”

Untuk beberapa saat, kita berada dalam keharuan. Setelah melepas pelukan, kedua lensa kita kembali terhunus ke angkasa. Pikiranku kembali melayang-layang, melambung, lalu hinggap di masa-masa muda. Ya, inilah yang biasa dilakukan seseorang apabila usia mereka telah uzur. Mengingat masa-masa muda yang mungkin indah atau mungkin juga tak indah. Hanya itu hiburanku akhir-akhir ini. Aku tidak punya hiburan lain seperti kehadiran seorang cucu.

“Kita semakin tua dan tak akan lama lagi menyatu dengan tanah,” ucapmu setelah terbatuk-batuk.

Seraya mengurut punggungmu, aku menyahut, “Siapa pun yang dipanggil-Nya lebih dulu, kita sudah berjanji untuk tidak terlalu bersedih.”

Kau mengangguk lemah, lalu berkata, “Aku takkan melupakanmu. Di hatiku akan selalu ada kamu, Bulan yang memesona.”

“Kita akan bertemu lagi di ruang yang lain. Dan, aku akan sangat merindukanmu,” balasku.

Hening sejenak.

“Kau masih ingat saat kita pertama bertemu?” matamu melekat di wajahku saat kau ucap itu.

“Tentu saja,” jawabku. Layar-layar bergerak bergantian di kepalaku. Hingga akhirnya, sampai pada layar yang menampilkan episode pertemuanku dengan suamiku kini, Mas Dion. Episode pertemuan yang lucu, menurutku.

“Kau marah-marah saat itu,” pandanganmu menerawang.

Aku terkekeh sebentar. “Gara-gara kau. Mengapa datang mengejutkanku?”

“Sungguh, aku mengira kau adalah teman yang sedang menungguku.”

“Dari sisi mana kau mengira aku temanmu?”

“Dari belakang. Bentuk tubuh dan potongan rambutmu mirip dengan temanku itu. Tapi, setelah dari depan, ternyata…,” kalimatmu terhenti. Kau melirikku dengan lirikan menggoda.

“Ternyata apa?”

“Ternyata seorang bidadari.”

Aku tertawa malu, lalu berkata, “Kau berlebihan.”

“Kenyataanya begitu, Sayang.”

Kupu-kupu tidur dalam perutku kembali terbangun. “Untuk pertama kalinya kau memanggilku sayang di usia seperti ini.”

“Tak bolehkah memanggil sayang di usia seperti ini?”

“Boleh. Tapi, terdengar lucu.”

Kita terkekeh bersama. Lembut, kau rangkul pundakku lagi. Malam terus merambat dan angin semakin runcing. Angkasa begitu meriah.

“Sayang, aku akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Kau laksana purnama di atas sana, selalu indah dan memesona sepanjang waktu.”

“Jangan panggil aku sayang.” Di ujung kalimat dapat kurasakan wajah ini bersemu. Wajah tuaku mungkin sedang merona-rona.

“Bulan gendunt.”

“Bukan. Jangan itu.”

“Lalu?”

Honey.”

“Aku memanggilmu honey di usia seperti ini? Honey itu panggilan untuk mereka yang masih muda, Sayang, tidak untuk kita yang sudah tua.”

“Mengapa tidak untuk kita? Aku suka dipanggil honey.”

“Ya udah.”

“Ya udah apa?”

“Aku panggil kamu honey. Aku sayang kamu, honey.”

“Kok, ada kata sayangnya lagi?” Aku pura-pura cemberut.

“Ya udah, aku ganti. Aku cinta kamu, honey.”

Hatiku tertawa. Tertawa sangat keras.

Dikutip dari buku antologi cerpen Lemon Cake—kumpulan kisah terpilih dari 489 karya lomba Kisah Romantis Diva Press 2011.

Setelah sekian lama mencari, berkali-kali mengganti, mencoba ini dan itu, akhirnya saya jatuh cinta juga. Hati ini akhirnya memilih *ehem ehem* Namun, sayangnya, dalam hal ini, saya tidak sedang jatuh cinta kepada seseorang. Lalu? Saya sedang jatuh cinta dalam hal lain, yaitu, jatuh cinta kepada template blog ini. Maaf, kalau nggak seperti dugaan kalian—kalau memang kalian menduga demikian. Dan, ya, benar, sampai sekarang saya masih jomblo  Crying face  *sodorin pacar please*

Template blog ini benar-benar membuat saya jatuh cinta. Sungguh. Belum pernah sebelumnya saya merasa sejatuh ini pada template blog sendiri. Padahal, sudah nggak terhitung lagi berapa kali saya mengganti-ganti template, mulai dari yang ramenya kayak pasar malam, sampai yang sederhana alias simple. Dari yang loadingnya seberat galon, sampai yang loadingnya secepat kilat.

Akhirnya,  kumenemukanmu … Note Naff mode on Note

Saya menemukan template ini saat sedang mencari-cari template yang simple, namun dengan tampilan yang membuat nyaman pembaca. Setelah browsing sana-sini, loncat dari blog satu ke blog yang lain, akhirnya saya menemukan sebuah blog luar negeri yang memberi template gratis seperti yang saya cari. Ada sembilan template sih, kalau tidak salah, dan semuanya keren-keren, namun saya langsung jatuh cinta pada template ini saat kali pertama preview. Setelah di download dan dipasang di blog, edit sana-sini, jadilah template ini makin membuat saya jatuh cinta. Ada beberapa alasan sehingga akhirnya saya memilih template ini.

Pertama, loading-nya cepat—dan inilah yang paling penting—sehingga nanti nggak akan membuat pengunjung lelah menunggu bak menunggu Bang Toyib pulang kampung. Tadinya, saya pengen menambah foto di sidebar, tetapi akhirnya saya cancel karena takut beban blog makin berat. Kan nggak asyik itu….  Smile with tongue out

Kedua, tampilannya yang simple dan bikin nyaman, dengan nuansa warna putih dan biru muda, serta  tombol menu yang terus muncul walaupun di scroll ke bawah—aku nggak tahu nama istilah menu seperti itu  Open-mouthed smile

Ketiga, pilihan font-nya benar-benar pas menurutku, nggak kekecilan dan nggak kebesaran, sehingga nggak bakal membuat mata pembaca lelah.

Kekurangan template ini  hanya satu; lebar sidebar dan lain-lainnya nggak bisa diubah, padahal saya ingin kurangi sedikit lebarnya. Ada satu kekurangan lagi sih, yaitu nggak terdapat tombol share, namun itu nggak terlalu masalah, karena saya bisa menambahkannya lewat html.

Alhamdulillah, saya menemukan template ini. Bukannya apa-apa, mood untuk mengisi blog ini tiba-tiba meningkat drastis. Mungkin karena saya terlanjur menyukai template ini, ya? Entahlah. Apa pun itu, ini sungguh kabar baik untuk saya, mengingat selama ini saya ogah-ogahan buat ngeblog. Berharap dengan template baru ini, saya semakin rajin menulis dan bisa berbagi lebih banyak lagi kepada siapa pun—tentang apa pun—lewat blog sederhana ini.

Aamiin.

where the mountain meets the moon
Rasanya, hampir sebagian besar anak-anak menyukai dongeng. Kisah-kisahnya yang luar biasa, para tokohnya yang hebat nan memesona, dan lain-lain—begitu memikat anak-anak. Dongeng, bagaimanapun, tidak lebih dari cerita khayalan yang tidak benar-benar terjadi, yang disampaikan oleh para orangtua guna mendidik moral dan menghibur anak-anaknya. Namun, bagi Minli, tokoh utama dalam novel setebal 272 halaman ini, dongeng-dongeng yang kerap kali diceritakan Ba padanya benar-benar nyata untuknya. Meskipun kehidupan mereka—dan juga seluruh warga desa yang tinggal di kaki Gunung Nirbuah—begitu miskin, namun keluarga Minli berbeda. Kisah-kisah yang diceritakan Ba pada Minlilah yang membuat keluarga itu berbeda—terutama untuk Minli. (hal. 3)

Salah satu kisah yang selalu Minli dengar adalah kisah mengenai Kakek Rembulan. Kisah inilah yang akhirnya mendorong Minli ingin bertemu Kakek Rembulan dan menanyakan padanya bagaimana cara mengubah peruntungan keluarganya. Namun, Kakek Rembulan tidak lebih dari sebuah dongeng, bahkan Ma tidak percaya kalau Kakek Rembulan benar-benar ada. Sebaliknya, anak semata wayangnya, Minli, justru percaya. Kepercayaan Minli akan Kakek Rembulan semakin membuncah ketika suatu hari seorang penjaja ikan mas melintasi desanya. Dengan dua keping uang logam—yang merupakan milik Minli dan juga harta berharga satu-satunya yang ada di rumah mereka—gadis kecil itu membeli ikan mas. Kata si penjaja, ikan mas itu bisa membawa peruntungan.

Karena ikan mas itu, Ma marah kepada Minli. Dan akhirnya, Minli memutuskan untuk membuang ikan mas miliknya ke sungai. Sebelum dia menceburkan ikan mas tersebut, sebuah keanehan terjadi. Ikan mas itu berbicara dan memberitahu Minli kalau dia tahu di mana Kakek Rembulan berada.

Berbekal petunjuk dari ikan mas, Minli memulai perjalanannya. Dia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan orangtuanya keesokan harinya. Ba dan Ma sangat khawatir, bahkan Ma sampai memekik, ketika pulang dan mendapati Minli telah tiada. Hanya secarik surat yang ditulis Minli yang mereka temukan. (hal. 35)

Ba dan Ma akhirnya memutuskan untuk menyusul Minli meski dengan petunjuk seadanya. Ma yang selama ini kerap mengeluh dengan kehidupan mereka yang miskin, dihantam kesadaran bahwa sikapnya itu sama sekali tidak pantas, dan bahkan tidak perlu ada, karena sesungguhnya kemiskinan yang sebenarnya adalah ketika Minli hilang dari sisinya. Gadis kecilnya itu adalah harta yang tidak tertandingi. Ma baru menyadari kalau selama ini ia kurang bersyukur dengan kehidupan mereka. Namun, kesadaran itu sia-sia karena Minli telah pergi.

Sementara itu, dalam perjalanan bertemu Kakek Rembulan, Minli bertemu seekor Naga yang tidak bisa terbang. Naga itu akhirnya menjadi teman seperjalanan Minli. Naga juga ingin bertanya kepada Kakek Rembulan mengapa ia tidak bisa terbang seperti naga-naga lain. Bersama Naga, perjalanan jauh lebih mudah karena Minli dapat menungganginya. Namun, rintangan ternyata banyak mengadang perjalanan mereka. Di mulai dari pertemuan dengan sekawanan monyet tamak sampai keharusan untuk mendapatkan Garis Pinjaman yang dimiliki oleh Raja Kota Terang Bulan—dan itu bukanlah hal yang mudah.

Perjalanan selanjutnya, Minli dan Naga kembali bertemu Harimau—yang diyakini sebagai reinkarnasi Hakim Harimau yang kejam. Harimau tersebut melukai Naga hingga membuatnya hampir mati. Namun, untungnya, pertemuan dengan dua bocah kembar Da dan Fu (Da-Fu) menyelamatkan hidup Naga dan juga Minli. Dua boca itu pula yang akan menuntun mereka ke Gunung Tak Berujung, di mana Kakek Rembulan berada. Apakah Minli dan Naga bisa bertemu Kakek Rembulan dengan bekal-bekal yang telah mereka miliki? Lalu, bagaimanakah akhirnya ketika Minli tahu bahwa dia hanya boleh mengajukan satu pertanyaan kepada Kakek Rembulan, sementara dia juga harus menanyakan pertanyaan Naga yang dititipkan padanya?

Temukan jawabannya di novel ini.

Grace Lin benar-benar cerdas dalam mengolah cerita, mengaitkannya satu sama lain dalam bahasa yang lincah dan lugas, sehingga mudah di mengerti baik oleh orang dewasa maupun anak-anak. Selain cerita yang asyik untuk diikuti, selipan lukisan-lukisan—yang merupakan karya Grace Lin sendiri—turut mewarnai halamannya dan menjadi poin plus buku ini.

ilustrasi karya Grace Lin
Akhirnya, novel ini mengajarkan pada kita tentang kebersyukuran dalam menjalani hidup ini, di mana kekayaan sesungguhnya bukanlah ketika kita memiliki banyak harta, tetapi ketika kita menjadi orang yang senantiasa bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Karena dengan begitu, Sang Pemilik Hidup akan berkenan menambah nikmat kita bahkan sampai berlipat-lipat banyaknya.

Judul : Where the Mountain Meets the Moon
Penulis : Grace Lin
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Atria
Tahun terbit : Cetakan 1, November 2010
Jumlah halaman : 272 halaman
ISBN : 978-979-024-460-3

Rating:  Red heart Red heart Red heart Red heart Red heart

Buku ini saya dapatkan lewat kuis yang diadakan Penerbit Atria sekitar tahun 2011. Udah lama selesai dibaca, dan kembali dibaca ulang untuk diresensi di sini.
miss_jinjing_4d51fcf0a3fec-203x300
Cina memang diidentikkan orang dengan barang palsu. Rasanya, tidak ada satu pun di Cina yang tidak dipalsukan, kecuali orang. Sepertinya, hampir semua produk yang punya nilai komersial bisa dan sudah dipalsukan di Cina. (halaman 73.)

Selain diidentikkan orang dengan barang-barang palsu, Cina juga diidentikkan sebagai tempat yang jorok, kampungan, dan gudangnya copet. Namun, Cina rupanya tidaklah separah itu. Dalam buku ini, Miss Jinjing membeberkan pengalamannya ke Negeri Tirai Bambu itu dan akhirnya menjadi negera paling sering dikunjunginya sekaligus menjadi negara yang membuatnya jatuh cinta sejak kali pertama datang.

Menurut Miss Jinjing, Cina adalah surga buat perempuan ber-DNA Miss Jinjing dan arena pertempuran yang asyik buat para Miss Jinjing yang jago tawar-menawar. (halaman 36.)
Selain membahas pengalamannya selama ke Cina, entah sekadar jalan-jalan atau menjadi tour-leader dalam shoping trip, buku ini juga kaya akan informasi tentang Cina—mulai dari penerbangan terbaik dari Indonesia, hotel yang nyaman untuk ditinggali, pusat perbelanjaan, makanan, minuman, tempat foto terbaik, check list barang-barang yang wajib dibawa, tips untuk menghindari copet, sampai tips tawar-menawar di sana.

Bagi Anda yang berencana ke Cina, apalagi untuk pebisnis, rasanya buku ini wajib untuk dibaca. Cover yang indah dan ala Cina banget, informatif dalam bahasa yang mengalir dan lincah, dilengkapi juga dengan foto-foto—sayangnya tidak ada caption pada foto-foto itu, misalnya lagi berfoto di mana, tempat itu namanya apa, sehingga pembaca langsung mengetahui bentuk tempatnya, bukan hanya mengetahui namanya saja.

Judul : Belanja Sampai Mati di China
Penulis : Amelia Masniari a.k.a Miss Jinjing
Penerbit : Republika
Tahun terbit : Cetakan 1, Juli 2010
Jumlah halaman : 252 halaman
ISBN : 978-979-1102-92-6


Rating: Red heart Red heart Red heart Broken heart Broken heart
Buku ini saya dapatkan tahun 2011 kalau tidak salah, dari giveaway salah satu akun di Twitter saat saya masih menjadi KUTER aka Kuis Hunter, entah nama akunnya apa, saya sudah lupa. Plus ttd Miss Jinjing tentunya. Akhirnya, setelah beberapa tahun nganggur di rak buku, baru kali ini saya menyelesaikannya. Genre bukunya bukan genre saya soalnya, hehe Smile