motivasi burung kutilang
Dua hari saya tidak menulis apa-apa untuk blog ini—dan rasanya kok bikin resah, ya? Hehe... iya, saya merasa resah, entah mengapa, atau jangan-jangan ini menjadi tanda kalau saya mulai ketagihan untuk ngeblog? Entahlah. Yang jelas, dua hari tidak menulis karena tiba-tiba saja saya mentok. Tidak tahu harus menulis apa. Ada beberapa judul yang sudah saya tulis, namun saat hendak eksekusi, tangan ini nggak tahu harus menekan tuts mana. Memang sih, saya masih menulis, namun bukan untuk blog ini, melainkan untuk pribadi—curhatan begitu.

Postingan kali ini pun, saya tidak menulis untuk blog ini, melainkan mengutip salah satu tulisan penulis favorit saya, A. Fuadi dalam buku Rindu Purnama karya Tasaro G.K.—seperti juga yang saya lakukan pada postingan beberapa waktu lalu yang berjudul Hukum 10 Ribu Jam. Kali ini, tulisan A. Fuadi berjudul "Nyanyian Kutilang." Silakan baca dan semoga bermanfaat. Aamiin.

"Kasih sayang hakiki lebih dari sekadar memberi receh kepada pengemis, tapi melihat bahwa bangunan yang menghasilkan pengemis ini perlu dikonstruksi ulang."

—Martin Luther Jubg Jr.

Para Kiai dan ustaz saya di pesantren dahulu suka berbagi cerita. Topiknya aneka rasa, bisa kisah heroik pejuang kemerdekaan lokal, sampai cerita dari negeri-negeri yang jauh semisal Abu Nawas di Bagdad dan Napoleon Bonaparte di Eropa. Hikayat yang mereka sampaikan bisa membuat kami mengangguk-angguk sambil bengong, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, menggigit bibir cemas, atau berteriak kencang penuh semangat.

Mereka adalah story teller atau pencerita yang andal. Makna filosofis hidup yang rumit dibahasakan dengan santai sehingga menyelinap lembut ke relung hati. Herannya, walau ada cerita yang diulang-ulang, rasanya kami tidak bosan-bosan mendengarnya. Setiap halaman buku harian kami penuh coretan saripati cerita-cerita para guru ini. Salah satu cerita yang pernah disampaikan Pak Kiai adalah kisah keluarga burung. Hikayat itu kira-kira seperti ini:

Tersebutlah pasangan burung kutilang yang berbahagia hidup di sebuah sarang di atas cabang beringin yang rindang. Si betina sekarang bertelur, mengerami, sampai akhirnya telus menetas dan hadirlah seekor anak burung mungil.

Kutilang mungil ini memulai kehidupannya dengan menganga lebar meminta disuapkan cacing atau ulat oleh ibu dan bapak burung. Setelah agak besar, dia kemudian masuk kelas penerbangan, belajar terbang. Nilainya ternyata cukup baik sehingga mampu terbang dengan baik dan dapat "ijazah" sebagai burung yang boleh terbang sendiri.

Setelah punya keahlian terbang, burung kutilang ini semakin percaya diri dan mulai mencari makan dengan terbang ke pohon-pohon lain atau ke sawah. Ternyata pekerjaan mencari makan itu tidak sulit, asalkan dia bangun pagi dan bekerja keras mencari makan, dia pasti dapat ulat, cacing, dan biji-bijian. The early bird gets the worm. Temboloknya penuh, perut kenyang, dan dia bahagia sekali sehingga dia bernyanyi bercuit-cuit di kala pagi dan petang. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Ada usaha, ada makanan.

Tidak berapa lama kemudian dia mendapat jodoh seekor burung betina. Mereka berdua lalu sepakat untuk membangun sarang bersama di sebuah pohon jambu. Mereka kumpulkan ranting demi ranting sehingga menjadi sebuah sarang yang kukuh dan hangat. Hidup kutilang ini semakin bahagia karena si betina mulai bertelur dan menetaskan burung kecil yang mencicit-cicit.

Begitu terus hidup mereka berjalan, terbang mencari makan, kenyang, dan hidup senang. Besok mereka ulang lagi semua siklus hidup dan besoknya lagi dan besoknya lagi sampai mereka mati. Pagi bernyanyi, sore bernyanyi. What a happy life.

Sungguh banyak persamaan siklus hidup kita dengan kutilang ini. Manusia juga tumbuh besar dengan belajar, kuliah, kerja mencari nafkah, mencari pasangan, membangun rumah, dan punya anak. Sebagaian orangtua menasehati anak mereka untuk rajin belajar supaya dapat pekerjaan bagus, sukses, dan kaya. Kalau kita kemudian berhenti di tujuan: sukses, dan uang, maka sebetulnya kita mengikuti siklus seperti burung kutilang yang berbahagia tadi.

Nyatanya, kita bukan kutilang dan hewan lainnya. Kalau kutilang telah berbahagia dengan capaian duniawi, maka manusia dititipkan sebuah misi besar: pengabdian. Tuhan berfirman dalam Al-Quran bahwa penciptaan manusia hanya untuk mengabdi saja. Pengabdian kepada Sang Pencipta melalui ibadah kepada-Nya (mualamalah maallah) dan bergaul, menyayangi, dan bermanfaat bagi sesama manusia (muamalah maannas).

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain sehingga hidup seperti kutilang yang bahagia sungguh belum cukup buat manusia. Burung kutilang belum membawa manfaat buat sesama kutilang. Nabi Muhammad mengajak kita naik kelas dari kebahagiaan individu, kemudian menularkan ke sekeliling kita sehingga menjadi kebahagiaan bersama semua orang.

***

Suatu ketika Pak Kiai kami ditanya seorang wartawan, bagaimana rasanya punya santri yang sekarang sudah menjadi orang besar, pemimpin nasional, dan pejabat tinggi. "Siapa saja mereka itu, Pak Kiai?" tanyanya. Sayang, si wartawan mungkin kecewa. Kiai tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan. Malah berkomentar, "Orang besar itu banyak, ada yang merasa dirinya besar dan ada yang dibesar-besarkan orang. Bagi kami, orang besar adalah seorang yang mengajarkan sebait ayat di sebuah dusun terpencil atau di kolong jembatan, tapi dengan segala keikhlasan. Itulah ukuran orang besar kami." Ikhlas mengabdikan diri untuk kebaikan.

Setiap individu punya kemampuan dan kesempatan untuk bermanfaat, dengan cara kita masing-masing. Kini di berbagai belahan dunia ada kebangkitan minat orang untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain melalui berbagai cara. Di Bangladesh, Muhammad Yunus mendirikan bank yang "aneh" bernama Grameen. Bank yang unik karena nasabah yang meminjam uang hanya orang paling miskin di antara yang miskin, orang yang ditolak oleh bank karena tidak punya apa-apa untuk menjadi jaminan, orang yang selalu dianggap oleh sisten ekonomi biasa tidak layak dikasih kredit karena tidak menjanjikan profit dan berisiko macet.

Yunus tidak melihat bisnis sebagai pertimbangan utama, tapi dia lebih tertarik bagaimana bisa membantu orang miskin ini dengan kredit kecil. Kini sistem kredit mikro ini telah dinikmati oleh 8,3 juta nasabah dan 97 persen di antaranya adalah perempuan. Atas kontribusi yang besar ini, Yunus diganjar hadiah Nobel pada 2006.

Di ujung dunia lain, di tahun yang sama, pria terkaya dunia, Bill Gates, menyatakan muncul dari Microsoft untuk bisa fokus mengurus yayasan sosialnya. Untuk memberi manfaat buat lebih banyak orang. Di negara kita, tidak terhitung berapa banyak pribadi yang diam-diam mengabdikan diri untuk memperbaiki masyarakat, bahkan kadang-kadang dengan mengorbankan hidup mereka. Ibu Andi Rubiah yang berjuluk Suster Apung yang rela menempuh ombak untuk mengobati pasien-pasien di pulau-pulau terpencil antara Sulawesi dan Flores, Butet Manurung yang mengajar anak-anak di rimba Jambi, Tri Mumpuni Wiyanto dan Iskandar Kuntoaji yang merakit pembangkit listrik di desa pedalaman di Indonesia, hanyalah sekadar contoh yang tertangkap oleh media. Misi mereka untuk bermanfaat buat orang lain.

David Bornstein dalam bukunya How to Change the World: Social Entrepreneurs and the Power of New Ideas, menggelari gerakan yang peduli terhadap orang lain ini sebagai citizen sector atau pelakunya populer disebut social entrepreneur. Mereka adalah kelompok orang yang tidak tahan melihat orang lain kehilangan kesempatan yang seharusnya bisa mereka dapat.

Menurut Bornstein, gerakan citizen sector ini semakin berkembang antrara lain karena semakin banyak orang yang punya kemerdekaan, modal, waktu, dan kepercayaan diri melawan problem sosial. Mungkin juga karena banyak pemerintahan di dunia yang lamban atau bahkan gagal mengatasi kesulitan hidup masyarakat. Social entrepreneur adalah sebagian warga yang gregetan dan tidak tahan melihat masalah sosial tidak diatasi. Daripada mengeluh dan menyalah-nyalahkan pemerintah, mereka kemudian menyingsingkan lengan baju untuk mengatasi masalah sosial yang ada, mereka memilih untuk bergerak membantu diri sendiri dan segala keterbatasannya.

Majunya citizen sector ini bisa juga karena semakin kuatnya cengkeraman korporasi yang mampu meminggirkan kepentingan sosial masyarakat luas. Dalam bukunya yang kritis, The Corporation, Joel Bakan memperingatkan bahwa para korporasi telah menjelma menjadi raksasa bermodal besar sehingga bisa mengalahkan kekuasaan negara-negara berdaulat yang awalnya melahirkan mereka.

Kini, social entrepreneurship semakin diakui sebagai kajian dan profesi. Banyak kampus di Dunia Barat memasukkan bidang ini sebagai mata kuliah. Sebagai padanannya dari dunia korporasi, kemudian muncul pula bidang corporate social responsibility. Keduanya adalah bidang kajian baru yang melihat semua orang dan perusahaan sebetulnya punya tanggung jawab sosial membantu orang banyak di dunia semakin bergegas dan kompetitif ini.

***

Ada masa dalam hidup saya ketika saya sangat menikmati menjadi kutilang dan sudah sangat nyaman menjadi kutilang. Namun, ada pertanyaan yang terus mengetuk-ngetuk hati saya: Lalu hidup senang ini buat apa sebenarnya? Masa, sih, hidup hanya untuk begini-begini saja, lalu setelah itu mati dan tutup buku? Seperti burung kutilang yang kalau mati jadi bangkai, paruh, bulu, dan tulang hancur dimakan tanah?

Lalu saya ingat petuah para kiai dan ustaz, "Hidup sekali hiduplah yang berarti." Penciptaan ini untuk mengabdi. Dan pengabdian itu harus berarti. Hidup itu tidak tutup buku setelah mati, malah kita akan pindah ke hidup setelah mati yang kekal. Hidup kita untuk sebuah misi suci yang perlu kita sadari sebelum terlambat.

Jangan kita menjadi orang yang sedang berlayar di laut lepas, yang ketika ketemu kapal lain ditanya, "Anda mau berlayar ke mana?" Sambil menggaruk kepala orang itu menjawab, "Wah, ke mana, ya? Saya belum tahu, ya, mau berlayar saja." Siapa yang berlayar tanpa tahu tujuan akan bisa hanyut ke mana saja dan terapung-apung tanpa arah sepanjang masa. Berlayar tanpa tujuan adalah salah besar. Namun, hidup tanpa tujuan yang jelas adalah fatal. Silakan tanya lagi pada diri kita, apa tujuan dan misi hidup kita.

Jika misi itu sudah ketemu, mari kita belajar hidup yang lebih bermakna dari orang-orang seperti Muhammad Yunus, Suster Apung, atau Butet. Yaitu orang yang tidak puas hanya seperti kutilang yang bahagia bernyanyi pagi dan sore.

sagu goreng
Ada yang istimewa dengan sarapan saya di suatu pagi beberapa hari lalu. Mengapa saya katakan istimewa, padahal penampakkannya biasa-biasa saja, bahkan mungkin tidak mengundang selera sama sekali? Yah, karena sarapan saya pagi itu adalah tabaro nihole atau sagu goreng dalam bahasa Indonesia, di mana makanan ini sudah cukup lama tidak saya cicipi. Kangen dengan makanan hasil olahan sagu ini, saya bahagia saat tahu kakak saya akan membuat tabaro nihole—kebetulan saat itu ada sagu di rumah.

Tabaro nihole tidak hanya mengandalkan sagu saja, dalam pengolahannya, sagu itu dicampur dengan kelapa setengah tua—artinya, tidak tua, dan tidak juga muda. Setengah tua pokoknya. Lalu, keduanya digoreng di atas api sedang. Nah, jangan pikir membuat tabaro nihole ini semudah membuat nasi goreng. Beuh, beda sekali perbandingannya. Membuat tabaro nihole membutuhkan perjuangan ekstra, karena kenapa? Karena saat sagu itu sudah terkena panas, ia akan meleleh dan melengket di penggorengan. Di sinilah, pembuat tabaro nihole harus mengeluarkan tenaga dalam hahaha   Open-mouthed smile 

Sampai segitunya?

Iya, memang sampai segitunya. Dipikir mudah mengaduk sesuatu yang kayak mengaduk lem. Apalagi dalam jumlah banyak. Enggak layauuu!


Bahkan, pagi itu, saat kakak saya membuat tabaro nihole, dia sampai dibantu oleh satu orang lagi. Kalau tidak, penggorengannya bakal goyang dumang, ke sana dan kemari. Pokoknya pagi itu, kami orang-orang rumah banyak tertawa, merasa lucu karena makanan sesederhana itu membutuhkan dua orang dalam pembuatannya. Hampir saja saya ikut gabung membantu, tapi kemudian batal karena merasa belum punya tenaga dalam yang ada hanya tenaga untuk mencintai dan dicintai, hahaha. Saya akhirnya memutuskan untuk menonton saja dan menunggu semuanya siap di makan  Note na na na na na na Note

Yah, namanya juga sagu, jadi rasanya tentu saja tawar. Iya, sih, ada kelapanya, tapi itu hanya sebagai penambar aroma saja, jadi terkesan menggugah selera begitu. Bayangkan saja aroma kelapa goreng bagaimana, hmmmm... Sebenarnya tabaro nihole tetap bisa langsung di makan kok, tapi akan terasa lebih nikmat lagi kalau dicampur dengan ica motui atau ikan kering—atau ikan asin—dalam bahasa Indonesia.

sagu goreng

Nah, dengan adanya ica motui itu, tabaro nihole yang notabenenya hanya makanan sederhana, bakal terasa senikmat makan pizza, mungkin nikmatnya lebih dari senikmat makan pizza—paling tidak itulah yang saya rasakan.

Akhirnya, rasa kangen pada tabaro nihole terbayar tuntas hari itu. Berharap akan ada pada pagi-pagi selanjutnya *tapi sampai postingan ini saya tulis, belum ada lagi tabaro nihole hikss, habis bikinnya susah sih*

Nah, itu dia makanan sederhana yang menjadi favorit saya, apa makanan sederhana yang menjadi favoritmu? Share, yuk!


putus cinta
Tidak terasa, sampai sekarang saya masih rajin memposting tulisan di blog ini. Yah, walaupun tulisan-tulisan kecil, sederhana—sesekali cerpen—yang penting saya konsisten mengisi blog ini. Saya harap akan terus dan selalu. Aamiin.

Seperti judul postingan di atas, lama bersama, tak berarti berakhir bahagia. Ide tulisan kali ini muncul ketika saya mendapat kabar salah satu teman saya bahwa ia sudah putus dengan pacarnya. Padahal, mereka pacaran sudah terbilang lama. Sejak kelas dua—atau tiga—SMA, kalau saya tidak salah. Dan, mereka putus empat bulan lalu.

Ah. Saya benar-benar menyayangkan mengapa mereka putus. Bukannya apa-apa, saya tadinya berpikir bahwa mereka itu akan berakhir bahagia, berakhir di pelaminan dan kelak menjadi sebuah keluarga yang samawa. Namun, apa daya, kenyataan tidak berjalan sebagaimana yang saya pikirkan. Dan, sejujurnya, saya sedikit kecewa. Terbersit keinginan untuk melihat mereka bersama selama-lamanya. Terbersit keinginan bahwa suatu ketika nanti saya akan melihat anak mereka yang lucu-lucu. Ah, namun, itu, bagaimanapun, harus saya lupakan. Enyahkan.

Ah. Rupanya, perjalanan cinta yang bahkan sampai bertahun-tahun, tak menjamin akan berakhir jodoh. Bukan jaminan bahwa ia akan menjadi pelengkap hidup kita kelak. Hal seperti ini telah banyak terjadi—namun tidak sedikit juga yang bisa berakhir bahagia. Bahkan, banyak terjadi, mereka yang baru bertemu sebulan—atau beberapa bulan saja—bisa langsung menjadi jodoh kita. Menurut saya, ini agak lucu dan... sayang sekali.

Mengapa saya katakan sayang sekali?

Coba deh kita menengok ke belakang, melihat apa yang telah mereka lewati bersama-sama, terlalu banyak kenangan yang rasanya sayang sekali kalau hanya akan diingat ketika kita berada di sisi orang lain—bukan dia. Kenangan akan jauh lebih indah kalau kita mengingatnya sembari duduk di sisi dia yang ada dalam kenangan itu, bukan? Yah, meskipun begitu, tetapi seperti itulah cara Allah SWT bekerja. Cara yang seringkali tidak pernah disangka-sangka hambanya. Toh, Allah SWT tahu mana orang yang terbaik buat kita—Dia tahu siapa orang yang lebih kita butuhkan untuk menjalani hidup ini.

Baca juga: Ini Tentang Kita.

Berharap teman saya itu tidak sampai galau tingkat negara  Open-mouthed smile  Nerd smile  Meskipun tadi saat saya tanya bagaimana keadaannya setelah putus, dia menjawab bahwa dia lebih tenang. Hmm, tenang—saya yang pengagum mereka justru tak tenang *apasih?*

Bagaimanapun, ada satu hal yang menarik dari kasus teman saya itu. Sewaktu saya tanya apa penyebab mereka putus *agak gimana gitu waktu nanya bagian ini, nanti saya dianggap tukang kepo, padahal memang iya* Teman saya itu menyahut, "Gara-gara jarang ketemu."

Jarang ketemu. Oh, jadi jarang bertemu berpotensi mengandaskan suatu hubungan? Asli saya tidak banyak pengalaman tentang cinta, jadi maklum kalau saya terkesan baru tahu. Saya memang masih polos kok  Embarrassed smile  masih pakai popok juga ini hahaha

Lho, tidak banyak pengalaman cinta, tapi kok suka nulis cinta-cintaan? Barangkali ada yang bertanya begitu. Yah, mau-mau saya dong, sewot amat jadi manusia, hehe. Yah, menurut saya sih menulis cinta-cintaan bukan berarti harus mengalami, kan? Walaupun mengalami lebih bagus juga, sih  Open-mouthed smile  Saya bisa belajar dari orang-orang di sekitar bagaimana soal cinta itu—dan teman saya ini salah satunya—lalu menuangkannya ke dalam tulisan. Lihat itu J.K. Rowling, apa pernah dia mengalami naik sapu terbang sampai bisa nulis Harry Potter. Tidak, kan? Nah, itu dia alasannya. Oke, back ke topik utama.

Jarang ketemu. Agak lama saya menimbang-nimbang dua kata ini. Lho, kok, bisa sih jarang ketemu bisa bikin putus. Memangnya mereka nggak bosan selama ini, sampai bertahun-tahun, ketemuan terus. Sekali-kali jarang ketemu kan nggak apa-apa. Hitung-hitung itu menjadi ajang untuk menumpuk rindu, biar nanti saat bertemu langsung dihamburkan deh rindu itu. Kan, asyik, hehehe *sotoy saya*

Apa pun itu, saya menduga ada alasan lain. Entah apa. Teman saya ini bahkan sempat bilang, "Saya sudah malas." Hmm, malas. Berarti dalam hal ini pasti bosan. Bosan memang selalu menjadi pengintai suatu hubungan—seperti halnya kematian. Dan, itu wajar. Suatu hubungan bisa bertahan ataupun tidak, itu tergantung pelaku di dalamnya. Mau bertahan dan melawan kebosanan itu dengan cara yang barangkali memang bisa ampuh, atau memilih menyerah dan membiarkan segala lepas begitu saja.

Namun, setahu saya, teman saya ini orangnya selalu mau mempertahankan. Tapi, yah, kembali ke jalan yang sudah di siapkan Allah SWT, barangkali jodoh bukan jalan yang akan mereka titi bersama, melainkan besama orang lain, yang tentu sudah pilihan terbaik dari-Nya. Apa pun itu, saya hanya bisa mendoakan semoga teman saya itu mendapat seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Dan, bisa berakhir di pelaminan. Aamiin.

Untuk kamu—dan juga saya—yang barangkali saat ini dalam perjalanan cinta, saat nanti kebosanan datang, saya sarankan, cobalah lihat ke belakang, ke hari-hari yang telah kalian lewati bersama, dan petiklah kenangan saat di mana dia tampak begitu berarti di matamu, yang barangkali itu menjadi satu kenangan yang tak akan pernah kamu lupakan dari dia. Barangkali, itu kenangan saat dia menjagamu seharian saat kamu sakit, atau mungkin itu kenangan saat dia menerobos hujan hanya untuk menjemputmu. Suatu pengorbanan. Sesuatu yang istimewa. Hal-hal seperti itu, coba ingatlah, rasakanlah, dan bayangkanlah bahwa dia itu terlalu berharga untuk kamu lepaskan. Dia itu adalah seseorang yang lebih pantas untuk kita pertahankan, dengan lebih dan kurangnya dia.

Menurut saya, itu cukup ampuh untuk mengusir kebosanan dalam suatu hubungan. Bagaimana menurutmu?



Narto menatap wajah teduh bapaknya di hadapannya. Di tatapnya lekat wajah yang mulai tampak tua itu, wajah yang menghitam karena terbakar matahari juga rambut yang hampir sepenuhnya berwarna tembaga. Narto tak bergerak dari tempatnya berpijak. Tas ransel hitam yang terlihat penuh dan berat masih bertengger di bahunya. Pandangan Narto tak beralih ke arah ibu dan adik perempuannya, melainkan hanya ke arah bapaknya. Di lihatnya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

"Bapak," desis Narto. Dari wajahnya memancar cahaya bahagia bercampur sedih. Sampai lelehan kristal baning meluncur dari tepi matanya, Narto tak menyadari hal itu. Yang bergejolak dalam pikiran dan hatinya hanyalah tentang bapaknya. Tentang apa yang sekarang di lihatnya dengan begitu jelas. Bukan lagi mimpi atau pun khayalan yang acap kali menghampirinya saat tidur pun saat jiwanya di dera rasa rindu. Tapi, ini nyata. Ini bapaknya, lelaki yang yang selalu membakar semangatnya untuk sekolah.

"Narto," ucap bapak Narto yang bernama Nani dengan wajah bertahtakan senyuman. Narto tidak sempat membalas senyuman bapaknyakarena pelukan erat segera tercipta. Narto memejam matanya, menikmati aroma tubuh bapaknya, aroma yang selalu di rindukannya. Pak Nani ikut meneteskan air bening dan tangannya menepuk-nepuk punggung Narto.

"Apa kabar, Nak? Bagaimana dengan kuliahmu? Kami di rumah selalu merindukanmu," kata Pak Nani kemudian.

"Narto alhamdulillah sehat, Pak. Kuliah juga alhamdulillah lancar. Sama dengan Narto, Pak, Narto selalu rindu sama bapak, ibu dan Nisma," sahut narto sembari melonggarkan pelukannya. Detik berikutnya Narto menghampiri ibunya, lantas memeluknya.

"Narto rindu masakan Ibu."

"Iya, nanti Ibu masakin telur mata sapi kesukaanmu sebentar ya."

Selanjutnya Narto bergerak menuju adiknya, Nisma. Di peluknya penuh sayang. "Bagaimana sekolahmu, Nis? Dapat juara berapa? Sekarang sudah pakai jilbab, makin cantik deh," tanyanya menatap wajah Nisma yang berbalutkan jilbab putih gading.

"Sekolah baik, Kak. Alhamdulillah aku dapat juara 2, saingannya lumayan banyak, sih. Pada pintar-pintar semua teman sekelas, hehe," Nisma menjawab lembut dan mengakhirinya dengan tawa kecil.

"Sejak kapan pakai jilbab, Nis?" tanya Narto lagi.

"Sejak bulan lalu. O iya, makasih ya udah bilang Nisma cantik. Hehe..."

"Kan emang Nisma cantik. Iyakan, Pak, Ibu?" Narto menatap bapak dan ibunya, menunggu jawaban. Bapak dan ibunya hanya tersenyum. "Tuh, kan, Bapak dan Ibu saja bilang kamu cantik." Narto tersenyum simpul.

"Udah dari sononya kaliiii. Haha," timpal Nisma sambil membelai wajahnya dengan bangga.

"Yeee, kepedean amat sih kamu." Narto tertawa.

Nisma segera mencubit lengan Narto. "Aaah Kakak."

Semburat kesedihan perlahan lenyap dan digantikan dengan semburat bahagia yang memancar begitu memesona.

***

Ruang tamu yang sederhana itu tiba-tiba terasa panas, padahal udara di luar berhamburkan hawa dingin setelah hujan mengguyur siang hampir dua jam. Narto diam. Namun tidak berarti pandengarannya ikut diam pula. Narto masih menyimak perkataan-perkataan bapaknya.

"Narto harus kuliah," ucap Pak Nani tegas. Narto mendongakkan wajahnya, menatap wajah bapaknya dengan raut memelas.

"Kasihan Bapak. Untuk memberi makan keluarga saja sudah setengah mati. Bagaimana nanti kalau Narto kuliah. Narto tidak apa-apa kok kalau tidak di kuliahkan. Nanti Narto bisa bantu bapak cari uang. Di sekolahkan hingga tamat SMA saja Narto sudah sangat bersyukur, Pak." Narto membuang pandangannya ke luar jendela. Menatap pohon-pohon kelapa yang tumbuh menjulang laksana menara. Sejenak, Narto ingin menyimpan semua mimpi-mimpinya di pohon-pohon kelapa, di daun nyiur, di buah, di akar dan batang pohon kelapa. Dan nanti setelah memiliki banyak uang, barulah Narto mengambil mimpi-mimpinya itu lantas mewujudkannya.

Andai ekonomi keluarganya tidak memprihatinkan, tidak selalu membuat Narto sedih tatkala memikirkan bapaknya yang mengais-ngais rejeki dengan cara yang sungguh berat, pasti dengan semangat yang menderu Narto meminta di kuliahkan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, dengan kekayaan alamnya yang melimpahlah yang membuat keluarga Pak Nani dapat bertahan melewati hari-hari. Melalui pohon kelapa yang dominan tumbuh di Pulau Kabaena, yang selalu di olah menjadi kopra atau minyak goreng oleh masyarakat, Pak Nanti mengais rejeki. Pak Nani bekerja sebagai seorang pemanjat kelapa atau biasa di sebut pomone ni'i. Dan hasil kerja Pak Nanti biasanya di bayar dengan menghitung jumlah pohon kelapa yang berhasil dipanjatnya. Satu pohon di hargai dua ribu lima ratus rupiah.

Baca juga cerpen lainnya: Makassar, Jalan Kenangan.

"Tidak usah pikirkan besarnya biaya kuliah. Semua itu nanti bapak yang pikirkan. Tugas Narto hanya kuliah sampai selesai lalu kerja."

"Narto tidak memikirkan biaya kuliah, Pak. Narto memikirkan Bapak. Bapak sudah tua dan Narto tidak ingin menyiksa Bapak dengan Narto kulaih." Nada suara Narto sedikit meninggi.

"Bapak tidak merasa tersiksa karena Bapak melakukannya untuk anak Bapak, untuk kamu." Suara Pak Nanti ikut meninggi.

"Tapi Bapak dapat uang darimana? Penghasilan Bapak tidak akan cukup membiayai kuliah Narto. Tidak akan!!" Aliran hangat mengumpul di hati Narto. Napasnya menderu.

"Bapak sudah bilang, Narto tidak usah pikirkan soal biaya kuliah!"

Narto berdiri dari duduknya, "Narto tidak mau kuliah. Titik!"

Dan seketika ruang tamu menjadi gaduh. Pak Nanti berdiri menampar Narto. Lalu di raihnya kerah baju Narto dan berkata, "Mau sampai kapan keluarga kita begini terus. Miskin dan kumuh. Bapak ingin Narto kuliah biar nanti Narto yang mengubah keluarga kita. Mengangkat derajat keluarga kita dengan ilmu yang kamu miliki. Kenapa Narto tidak mengerti juga maksud Bapak ingin menguliahkanmu. Narto harus kuliah dan Bapak akan berusaha sekuat tenaga agar kuliahmu selesai."

Narto yang sebelumnya begitu keras dengan keinginannya membantu keluarga, perlahan melemah dan menguat lagi pada keinginan yang lainnya yaitu kuliah. Pak Nanti melepaskan genggamannya di kerah Narto lalu jatuh terduduk di kursi. Kepalanya menunduk menatap lantai rumah yang terbuat dari papan. Narto menitikkan air mata tanpa suara.

"Bapak ada apa?" Bu Sulha, ibunda Narto yang mendengar suara ribut tiba-tiba datang menghampiri mereka dan melempar tanya. Tampak Bu Sulha barusan bangun tidur karena matanya sedikit memerah dan wajahnya yang kusut. Pak Nanti tidak menjawab. Pak Nani hanya diam, sesal telah menampar Narto masih bercokol di dadanya.

Lalu, Bu Sulha menghampiri Narto yang masih menangis. "Ada apa, Nak?" tanya Bu Sulha.

"Semua salah Narto, Bu. Harusnya Narto mengikuti kemauan Bapak. Bukan menentangnya," jawab Narto seraya duduk. Bu Sulha ikut duduk di samping anaknya.

"Memang bapakmu mau apa, Nak?" Bu Sulha melirik Pak Nanti yang masih menunduk diam.

"Bapak mau narto kuliah, Bu." Bu Sulha mendesah kuat. Dibelainya pundak Narto kemudian.

"Pak, memangnya uang darimana mau kuliahin Narto?" terlihat keraguan memburat di wajah Bu Sulha. Lagi-lagi Bu Sulha mendesah berat.

"Ibu, sola biaya nanti Bapak yang pikirkan. Yang penting ada kemauan. Ini demi mewujudkan mimpi Narto, demi keluarga kita," ujar Pak Nani mantap walau masih ada sisa-sisa penyesalan di wajahnya.

"Ya sudah. Kalau bapakmu maunya begitu, ikuti saja kemauannya, Nak. Wujudkan mimpimu dan buat keluarga kita menjadi lebih baik. Ibu dukung dan Ibu akan berusaha juga." Ada senyuman di ujung kalimat Bu Sulha.

Narto mengangguk, "Iya, Pak, Bu. Narto akan kuliah."

Wajah Pak Nani berubah sumringah. Perlahan tapi pasti senyum melengkung di wajahnya yang teduh.

***

Kenangan tiga tahun lalu terputar ulang dalam laci ingatan Narto, ketika dia tengah duduk di kursi ruang tamu, menatap pohon-pohon kelapa melalui mulut jendela. Matanya tampak seolah berhamburkan kaca. Kenangan itu yang membuat Narto semangat mengejar impian. Bukan. Lebih tepatnya perkataan bapaknya, harapan-harapan bapaknya. Di kedalaman benaknya, ada keinginan Narto bertanya bagaimana bapaknya bisa membiayai kuliahnya sampai saat ini. Tapi, tanya itu terpaksa di pendamnya dan berjanji tidak akan mempertanyakannya lagi. Narto takut melukai hati bapaknya. Narto hanya yakin satu hal, bapaknya akan melakukan apa pun dan berusaha agar kuliahnya selesai. Narto mendesah. Air matanya susut ketika ibunya datang menghampiri.

"Nak, telur mata sapi kesukaanmu sudah jadi. Yuk, kita ke dapur," ajak Bu Sulha. Narto bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti ibunya. Sesampai di dapur, di dapatinya bapak dan adiknya duduk melantai di hadapan makanan yang seadanya. Seadanya namun itulah makanan yang selali dirindukan Narto. Ada nasi, ikan asin yang ditumis bersama asam, sayur lodeh, dan telur mata sapi. Sebelum makan, Narto sempat menatap bapaknya. Hatinya bergumam: hidup kita akan lebih baik dari sekarang, Pak. Narto janji. Bapak adalah lelaki tangguh yang selalu membakar semangat Narto, yang selalu menguatkan Narto di saat Narto dalam kerapuhan. Narto sayang Bapak. Bapak lelaki tangguh nomor satu di hati Narto.

Mereka pun menikmati hidangan yang menggugah selera itu.

Cerpen ini termuat dalam buku antologi "Lelaki Beraroma Ayah". Saya masih ingat, cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang berhasil dibukukan—meskipun penerbit indie, tapi rasanya membahagiakan—setelah berkali-kali mengikuti lomba-lomba di sosial media facebook.
 

Jatuh cinta. Ah, rasanya, itu adalah salah satu alasan kebahagiaan seseorang di dunia ini. Merasakan bagaimana rindu memenuhi dada, merasakan detak jantung mengencang saat bersua dengan dia yang kita cintai—menyenangkan. Namun, bagaimana bila cinta tak pernah terkatakan, hanya mengendap di dada, membikin sesak di sana?

Itulah yang dialami Satira—tokoh sentral dalam novel Kepingan Cinta Lalu karya Helga Rif ini—yang begitu terpikat dengan pesona sosok lelaki bernama Arga. Mereka bertemu kali pertama di Radio Gema Surabaya FM, di mana keduanya sama-sama hendak membeli tiket konser band MLTR—Michael Learns To Rock. Rupanya, waktu kembali mempertemukan mereka di rumah Intan, sahabat Satira, yang saat itu hendak memperkenalkan Satira kepada lelaki yang disukainya. Sulit melupakan wajah Arga, sontak Satira terkejut ketika tahu bahwa Intan jatuh cinta kepada lelaki yang diam-diam dikaguminya itu.

Meski berat, Satira mencoba merelakan Arga demi sang sahabat. Namun, itu bukan hal mudah. Terlebih ketika Arga menyatakan bahwa ia mencintai Satira, bukannya Intan. Bertambah-tambah beban yang Satira rasakan. Di satu sisi, ia bahagia mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya ternyata juga mencintainya. Dan di sisi lain, ia juga tidak ingin mengecewakan Intan, sahabat yang begitu ia sayangi. Satira tak lantas menanggapi pernyataan Arga. Ia memilih menghindari lelaki itu, menyibukkan diri dengan band-nya di kampus. Namun, lagi-lagi, sulit bagi Satira untuk benar-benar terlepas dari Arga karena Intan kerap membawa lelaki itu di hadapan Satira.

Ketika akhirnya Intan dan Arga jadian, hati Satira benar-benar hancur. Namun, yang membuatnya terkejut adalah pernyataan Arga bahwa ia memacari Intan hanya supaya bisa lebih dekat dengan Satira. Karena itulah jalan satu-satunya yang bisa Arga ambil, meskipun sangat menyiksa perasaannya sendiri. (hal. 75).

Baca juga resensi lainnya: Menelusuri Jejak Cinta.

Di hadapan Intan, Satira sebisa mungkin tidak memperlihatkan kecemburuannya, kesedihannya. Dan, itu cukup berhasil ia lakukan. Persahabatan mereka baik-baik saja, hingga suatu hari, ketika Arga mengajak Satira ke rumahnya untuk mengambil video konser salah satu band favorit Satira yang dimiliki Arga, terjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Satira. Mereka berciuman dan nyaris saja Satira menyerahkan kehormatannya andai tak ada yang mengetuk pintu. Kejadian itu ternyata tidak hanya mengguncang Satira yang merasa menyesal dan malu, namun juga mengguncang persahabatannya dengan Intan. Bagaimanapun, berapa kali pun Satira meminta maaf, persahabatan mereka tak lagi bisa seperti dulu. Dan, ia pun harus melupakan Arga karena lelaki itu, entah mengapa, tiba-tiba menghilang dari kehidupannya.

Tujuh tahun kemudian, saat Satira sedang tur konsel band-nya di Bali, waktu kembali mempertemukannya dengan Arga, yang kebetulan bekerja sebagai area maneger di sebuah provider telekomunikasi yang menyelenggarakan konser. Sungguh, Satira benar-benar tidak menyangka bahwa waktu tujuh tahun tak lantas menghapuskan jejak-jejak rasanya kepada Arga. Ia masih bergetar, masih terpikat pada pesona Arga. Namun, pertemuan mereka kali ini, membawa serta sebuah harapan. Dan, Satira—yang telah memiliki kekasih bernama Ardian—perlahan-lahan dihampiri keraguan. Dilema.

Siapakah akhirnya yang akan dipilih Satira? Ardian—yang begitu hangat dan perhatian padanya meskipun hubungan mereka masih terbilang singkat? Atau justru Arga—cinta dari masa lalunya, yang telah lama ia dambakan? Bagaimanakah akhirnya, saat Satira tahu bahwa Arga tak hanya datang membawa harapan, namun juga membawa rahasia yang tak mampu ia sampaikan, hanya demi kebersamaannya dengan Satira? Temukan jawabannya dalam novel setebal 328 halaman ini.

Meskipun dengan ide yang klise, Mbak Helga Rif tetap mampu mengolah cerita menjadi lebih memikat dan memesona dengan bahasa yang lincah. Meski begitu, masih terdapat beberapa typo dalam novel ini, pengulangan informasi tentang Intan yang mendapat beasiswa ke New York—sudah pernah dibahas oleh Arga dan Satira saat di Bali, kembali dibahas saat mereka ada di Surabaya. Dan, menurut saya, terlalu sering menggunakan kata "kini"—serius, seriiiiiing banget, hehe, sudah pernah saya dan penulis diskusikan dulu via BBM  Winking smile  Dengan cover yang cantik, blurb yang manis, dan tentunya kisah yang menarik, sayang rasanya kalau dilewatkan saat mampir ke toko buku.

Selamat membaca!

Judul : Kepingan Cinta Lalu
Penulis : Helga Rif
Penerbit : Bukune
Tahun terbit : November 2012, Cetakan II
Jumlah halaman : iv+324 halaman
ISBN : 602-220-058-x

Rating :  Red heart  Red heart  Red heart  Red heart  Broken heart  



Telah banyak yang kita lewati, ingatkah kamu? Itu bahagia. Itu sedih. Itu getir. Itu semua layaknya rona-rona senja pada langit sore—mewarnai cinta kita. Tahun demi tahu telah menemani perjalanan kita. Kau—ataupun aku—sekali-sekali merasa lelah, bahkan bukan tak pernah jalan kita saling menyimpang. Itu wajah dalam sebuah rasa, bukan? Ya, meskipun begitu, tahukah kamu, itu selalu menjadi saat-saat yang mendatangkan resah bagiku.

Saat jalan kita menyimpang, pertanyaan yag sama kerapkali menghamburi kepalaku: setelah bertahun-tahun bersama, inikah saatnya perpisahan itu, yang—malangnya—hanya karena persimpangan kecil? Pada akhirnya, langkahku akan kembali kepadamu. Barangkali aku terlihat lemah di matamu, seolah terkesan takut tak ada lagi orang lain yang bersedia menemani perjalananku, selain kamu.

Baca juga cerpen: Laksana Purnama.

Tak masalah. Karena aku memang tak selalu menjadi lelaki pemberani, yang bersedia, yang mau, yang siap, merelakan begitu saja dia yang, kutahu dan kusadari, masih kubutuhkan dalam hidupku—dan barangkali seumur hidupku. Yang tak alpa pada suka dan dukaku. Yang tahu segalanya tentangku. Yang tahu seleraku. Yang tahu rahasia-rahasiaku. Yang tahu kurang dan lebihku. Dan, terpenting, yang bersedia menerima keapa adaannya aku. Tahukah kamu, hidup bersama orang yang telah mengenalmu luar-dalam jauh lebih menyenangkan daripada memulai perjalanan baru bersama orang lain.

Dan, sampai saat ini, barangkali kamu tak pernah tahu, bahwa sepemberani apa pun aku, tetap saja aku memiliki ketakutan besar: takut kehilangan kamu. Kamu, yang akan selalu kucintai.


waktu blog
Pada postingan kali ini, saya mau berbagi salah satu tulisan penulis favorit saya, A. Fuadi dalam novel Rindu Purnama karya Tasaro G.K. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semua. Aamiin. Berikut ini tulisannya:

Imam Syafi’i, pemimpin mahzab fikih yang hidup di abad ke-8 Masehi, sungguh gemar merantau untuk menuntut ilmu. Selama hidupnya dia antara lain berpindah dari Gaza, Mekah, Madinah, Yaman, Bagdad, dan Mesir. Dengan pengalaman berburu ilmu ini dia pernah memberi nasihat kepada para pelajar agar berhasil. Di antara tip itu adalah harus “rakus’' menuntut ilmu, bersungguh-sungguh, dan perlu investasi waktu yang lama untuk belajar (thulu zaman). Namun, seberapa lama? Setahun, sepuluh tahun, atau lebih? Ulama terpandang ini tidak memerinci.

Mungkin Malcolm Gladwell, penulis buku laris Outliers, bisa membantu kita mendefinisikan panjangnya waktu belajar. Dalam bukunya ini, Gladwell berkisah panjang lebar tentang rahasia di balik sukses orang-orang berpengaruh di dunia. Di antara bahasan yang paling menarik dalam buku ini adalah “hukum 10 ribu jam” yang disadurnya dari penelitian seorang ahli psikologi dari Florida State University, K. Anders Ericsson.

“Hukum” ini mengatakan bahwa manusia yang sukses di dunia ini adalah sosok yang telah menginvestasikan waktunya untuk mempelajari, mendalami, dan melatih suatu hal yang spesifik sampai 10 ribu jam. Seperti apa panjagnya belajar 10 ribu jam itu? Kalau rata-rata kita belajar atau berlatih 8 jam sehari, maka kita butuh 1.250 hari atau sama dengan 3,4 tahun. Kalau dipotong hari libur dan sebagainya, maka bisalah disebut 10 ribu jam itu sama dengan mendalami sesuatu selama 4 tahun.

Gladwell menyimpulkan, begitu akumulasi 10 ribu jam ini digunakan untuk mendalami satu bidang, maka orang itu akan menjadi ahli di bidang itu dan umumnya mencapai sukses yang lebih dari orang rata-rata. Sebagai bukti, Gladwell menyodorkan contoh pendiri Microsoft, Bill Gates. Pria ini berhasil menjadi seorang terkemuka di dunia komputer antara lain karena pada 1968, ketika dia masih berusia 13 tahun, Gates mendapat kesempatan langka menggunakan ASR-33 Teletype, komputer canggih untuk masa itu.

Dini hari dia bahkan menyelinap dari rumahnya dan naik bus ke laboratorium komputer untuk mengulik komputer sampai pagi. Dengan “rakus” dan antusias, Gates secara total telah menghabiskan sampai 10 ribu jam mengutak-atik komputer di sekolahnya dan tempat lain. Dengan investasi waktu yang panjang ini, dia lalu menjadi ahli komputer dan menciptakan standar operting system yang merajai dunia sampai kini.

Bukti lain yang ditulis Gladwell adalah perjuangan grup musik asal Inggris, The Beatles, sebelum mereka kondang. Rupanya grup ini pernah susah juga. Antara 1960-1964 mereka bahkan terus mencari nafkah sampai ke Kota Hamburg, Jerman, dengan bayaran biasa saja. Namun, di sana The Beatles harus tampil live sampai 8 jam sehari nonstop. Akumulasi penampilan mereka mencapai 1.200 kali sehingga dalam 4 tahun itu jam latihan dan penampilan grup ini mencapai 10 ribu jam. Setelah itu, The Beatles kembali ke Inggris dan merajai musik dunia.

Maka, Daniel J. Levitin, seorang profesor psikologi dan Behavioral Neuroscience di McGill University Kanada memaparkan, “Dari penelitian, 10 ribu jam latihan dibutuhkan untuk mencapai lever cakap (mastery) yang dianggap sebagai ahli kelas dunia—di bidang apa pun.” Dia menyimpulkan, “Tampaknya otak butuh waktu sepanjang itu untuk menggabungkan semua yang dibutuhkan untuk mencapai penguasaan utuh (true mastery).”
Namun, “hukum 10 ribu jam” tidak berdiri sendiri. Gladwell juga menyinggung betapa pentingnya sebuah lingkungan yang mendukung dan kesempatan (opportunity) untuk mendalami bidang-bidang yang cocok. Tanpa lingkungan yang menyirami semua potensi yang ada, maka orang yang paling hebat pun bisa layu dan tidak berkembang. Contohnya Christoper Langan, salah satu manusia dengan skor IQ tertinggi di dunia dengan angka 195, jauh di atas Einstein yang hanya 150. Langan kini bekerja di sebuah peternakan dan tidak berkembang seperti Einstein. Langan adalah tipe orang potensial yang tidak mendapat dukungan lingkungan sehingga kemampuan besarnya tidak maksimal. Tampaknya, tidak ada orang yang bisa sukses dengan sendiri. Dia perlu orang yang mendukung, membantu, menyemangati, dan lingkungan yang sangat kondusif.

Seperti kata Imam Syafi’i, berlama-lama mendalami sebuah bidang (thulu zaman) belum cukup kalau tidak dilakukan dengan kesungguhan. Usaha yang lama perlu dilengkapi dengan kesungguhan, tanpa kesungguhan hasilnya mungkin tidak maksimal. Spirit ini sangat cocok dengan pepatah Arab pertama yang kami teriakkan secara berjamaah di mata pelajaran Mahfuzhat di Gontor, “man jadda wajada”. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.

Kesungguhan itu artinya mengusahakan apa pun itu dengan energi dan usaha ekstra, di atas usaha rata-rata orang lain. Going the extra miles. Kalau melebihkan usaha di atas rata-rata, maka hasilnya juga akan di atas rata-rata, menjadi yang terbaik dan juara di bidang apa saja. Inilah upaya untuk mengumpulkan berbagai kelebihan, yang sering disebut sebagai accumulative adventage oleh para ahli sosiologi.

Apa defenisi sungguh-sungguh itu? Ada sebuah cerita turun-temurun dari kakak kelas di Gontor. Alkisah, Pak Kiai pendiri pondok pernah memberikan pengarahan khusus kepada para santri. Pengarahan kali ini ternyata menggunakan alat peraga. Pak Kiai berdiri di depan para santrinya dengan membawa dua golok panjang. Golok di tangan kanannya tampak baru dan berkilat-kilat. Sementara yang sebelah kiri tampak sudah berkarat.

Kiai lalu menghunus golok yang berkilat-kilat, lalu menebaskannya ke sebatang kayu. Namun, sedikit lagi menyentuh kayu itu, ayunan golok terhenti. Rupanya Kiai mengalihkan perhatian kepada para murid dan mengajak mereka mengobrol. Sambil tetap mengobrol, ayunan golok diteruskan ke arah kayu dengan santai. Kayu tidak bergeming, tidak putus.
Setelah itu ganti beliau menghunus golok karatan dan tumpul di tangan kanan. Kalau tadi raut muka beliau santai, kali ini sangat serius. Lalu, dengan sepenuh tenaga, dia mengayun golok karatan dengan cepat ke arah kayu. Duk… besi berkarat menghajar kayu. Tidak terjadi apa pun. Namun, Kiai tidak menyerah, dia mengulang-ulang hal yang sama sampai akhirnya… par… kayu itu patah dua dihajar oleh golok berkarat ini.

Lalu Kiai menjelaskan hikmah dari jurus golok ini. Orang pintar bagai golok tajam. Namun, kalau tidak serius dan malas-malasan, belum tentu golok tajam ini akan mampu menebas kayu. Kepintaran akan mubazir tanpa aksi sungguh-sungguh.

Sedangkan orang yang tidak pintar diibaratkan dengan golok karatan. Walau otak tidak gemilang, tapi kalau terus bekerja keras, tidak lelah mengulang-ulang usaha, maka lambat laun akan berhasil. Apalagi kalau golok karatan itu diasah dengan rajin dan kemampuan terus dilatih. Konon Abraham Lincoln pernah berkata, “Kalau saya punya 8 jam untuk menebang pohon, akan saya gunakan 6 jam pertama untuk mengasah kapak.” Usaha dan persiapan yang sungguh-sungguh akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Man jadda wajada.

***

Kalaulah asumsi pentingnya ‘'”kesempatan” dan “hukum 10 ribu jam” dari buku Gladwell ini kita gunakan untuk mengukur kemungkinan sukses, bagaimana kita bisa praktikkan dalam kehidupan nyata? Apakah dalam sistem pendidikan ada lingkungan yang membuat murid belajar sampai 10 ribu jam? Bagaimana kesempatan-kesempatan emas bisa diciptakan?

Ambil pendidikan sekolah berasrama (boarding school) sebagai contoh. Di Gontor, proses pendidikan berjalan 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Jadi, semenjak santri membuka mata sebelum subuh, sampai dia tidur malam hari, dai terus “belajar” tentang kehidupan dengan melihat, mendengar, merasakan, dan mengamati semua dinamika pendidikan di Gontor. Santri juga bebas mengembangkan bakat dan potensi terpendam yang mereka miliki. Inilah milieu pendukung yang kuat untuk pengembangan diri seseorang. Menurut Gladwell, kesempatan dan lingkungan sangat menentukan pengembangan potensi setiap orang.

Jadi, berapa jam yang diinvestasikan santri berlatih dan belajar? Mari kita hitung baik-baik. Kalau setiap santri bangun pukul 4 subuh dan tidur pukul 10 malam, maka dia paling tidak telah “belajar” selama 18 jam dalam kurun sehari semalam. Kalau 18 jam dikalikan 30 hari, maka setiap bulan dia telah menginvestasikan waktu belajar sebanyak 540 jam. Setelah dipotong dengan 2 bulan waktu libur, maka setiap tahun dia telah membukukan 5.400 jam belajar.

Artinya dalam 2 tahun saja, setiap santri Gontor telah melampaui ambang batas “hukum 10 ribu jam” tadi. Kalau belajar di sana 6 tahun (jika masuk tamat SD), berarti seorang santri telah “belajar dan berlatih” sebanyak 32.400 jam, sedangkan kalau belajar 4 tahun (jika masuk tamat SMP) maka dia telah “belajar dan berlatih” sebanyak 21.600 jam. Beberapa kali lipat dari akumulasi jam yang dituliskan Gladwell. Namun sebagai catatan, akumulasi waktu ini tidak spesifik mendalami satu bidang khusus yang unik. Akumulasi waktu ini digunakan untuk berlatih karakter dan keilmuan secara umum.

Tentu ukuran 10 ribu jam bukan patokan mati, tapi hanya sebagai salah satu referensi pembanding. Juga tidak harus masuk sekolah berasrama untuk berhasil. Akumulasi jam belajar dan berlatih bisa dilakukan sendiri baik di sekolah, rumah, maupun tempat kerja. Lingkungan dan kesempatan yang mendukung bisa dikejar dengan memilih teman-teman yang terbaik dan aktif mencari peluang untuk meningkatkan prestasi. Saya percaya kesempatan bisa dikejar dan diciptakan. Apalagi kalau mendapat dukungan penuh dari keluarga, guru yan ikhlas, dan sekolah yang baik. Mari kita belajar seperti Imam Syafi’i , Bill Gates, The Beatels. Sungguh-sungguh dan konsisten dalam waktu yang panjang.


Ini tentang kita. Dan, rupanya, akan selalu tentang kita. Setelah melewati perjalanan panjang, terkadang lelah di persimpangan, cinta akhirnya menemukan muara, menemukan persinggahan yang nyaman dan akan selalu menjadi rumahnya, tempat pulangnya—pernikahan. Ah, betapa membahagiakannya. Kamu tahu, hal itu telah menjadi impianku, harapan terbesar dalam hidupku, karena aku percaya, bersamamu, hanya bersamamu, ada begitu banyak kesempatan untuk bahagia.

Ini tentang kita. Dua orang yang kini berada di bawah naungan pernikahan. Hari-hari berlalu jauh lebih indah, ternyata. Menyeduh secangkir kopi untukmu, sepiring nasi goreng untuk sarapanmu, sepasang pakaian kerja yang kupilih sendiri, mengikat dasimu, dan akhirnya, sebelum kepergianmu, aku menanti kecup lembut di puncak kepalaku. Ah, betapa membahagiakannya.

Ini tentang kita. Yang akan selalu saling mencintai. Meski bahagia tak selalu menyertai. Aku tahu, aku mengerti. Sebab pernikahan tak hanya memangku satu emosi, tetapi bermacam-macam emosi. Dan, kusyukuri, hal itu tak lantas membuatmu berhenti mencintaiku—tak juga membuatku berhenti mencintaimu. Seperti katamu di waktu silam, aku—kita—hanya perlu percaya bahwa cinta mampu menjaga kita.

Ya, aku percaya…

“Aku bisa saja meninggalkanmu,” satu ketika, di bawah lindungan selimut, di atas dadamu yang berdetak-detak, kamu berkata. “Ada bengitu banyak alasan yang bisa aku temukan untuk meninggalkanmu. Namun, semua alasan itu hilang saat aku menyadari bahwa selama ini, hanya kamulah yang tak henti-henti berdiri di sisiku saat orang-orang menjauhiku. Kamulah satu-satunya yang bersedia hanyut, bersedia ada, pada setiap musim kehidupanku. Alasan apalagikah yang bisa aku temukan untuk meninggalkanmu, perempuan yang begitu tabah di sisiku?”

Ah, kamu. Ah, aku tak tahu harus bilang apa. Selain menarik kepalaku dari dadamu, menatapmu dalam-dalam, sebelum akhirnya menutup bibirmu dengan bibirku. Lama. Dan, seandainya bisa, selamanya.

Ini tentang kita. Dan, selamanya akan tentang kita. I promise.




Ini tentang kita. Yang masih melangkah bersisian di jalan yang sama. Hari demi hari telah berlalu, telah kita lewati bersama, dan aku—entah mengapa—mulai merasa sesuatu darimu perlahan-lahan memudar. Bukan cinta, aku tahu itu. Bukan cinta. Tetapi sesuatu yang kusebut perhatian. Hal yang dulu, berbulan-bulan silam, kudapatkan hampir tak ada jeda. Kamu tahu, itu selalu menjadi alasan kebahagiaanku. Senyumku melebar pada setiap resahmu bila aku terlambat makan, pada cemasmu saat aku melakukan terlalu banyak hal—nanti kamu sakit, begitu katamu. Ah, kamu…

Ini tentang kita. Akan selalu tentang kita, kurasa. Sebab waktu masih berbaik hati, membiarkan kita melewati hari dalam kebersamaan—meski belakangan, hal itu tak lagi sering terjadi. Aku tak tahu mengapa. Yang jelas, selalu ada alasan yang kamu katakan setiap aku mendamba sebuah pertemuan. Aku selalu berusaha mengerti. Aku selalu berusaha menabahkan diri, juga hati. Namun, tidakkah kamu berusaha mengerti aku? Kamu tahu, rindu takkan pernah melebur tanpa sebuah pertemuan. Sebab itulah apinya—melelehkan rasa yang menggumpal di dada. Tidakkah kamu rindu?

Ini tentang kita. Yang kini seolah-olah telah berjarak, padahal kita masih di jalan yang sama. Di sudut hatiku, kamu tahu, ada segelombang risau yang mengempas. Risau kalau-kalau semua ini, yang pada mulanya kita mulai dengan bergelora, mulai menemukan titik jenuh—titik bosan. Ah, tidak. Jangan. Aku tidak mau itu terjadi. Masih banyak, terlalu banyak malah, hal-hal yang ingin kulewati bersamamu. Aku masih ingin merasakan hangat jemarimu di genggamanku. Erat pelukanmu di bahuku. Lembut belaianmu di rambutku. Tatapan matamu di mataku. Dan, caramu tersenyum. Sungguh, aku masih ingin merasakan semua itu.

“Tak ada yang perlu dirisaukan, karena cinta sudah mampu menjaga kita,” katamu pada satu sore yang hangat. Itu, entah mengapa, seketika mengusir kerisauan dalam hatiku. Lalu, kamu menambahkan, berbisik lembut di daun telingaku, “Dan, kamu hanya perlu percaya. Itu saja.”




Ini tentang kita. Tentang dua orang yang saling mencintai. Tak ada lagi keraguan sebagaimana yang terasa beberapa saat lalu. Kini, harap telah menjelma. Kebahagiaan telah mendekap kita—seperti dekapanmu yang erat pada malam-malam yang dingin. Yang aku suka. Yang padanya selalu kutemukan kehangatan, ketenangan, dan perlindungan. Kamu memang seorang pelindung. Pelindungku. Kuharap itu selamanya.

Ini tentang kita. Dua orang yang kini melangkah bersisian di jalan yang sama. Saling menggenggam tangan, seolah takut salah satu dari kita melangkah terlalu gegas, atau justru tertinggal. Ah, cinta. Rupanya, saat ia telah mengetuk pintumu, hari terasa dihujani bunga-bunga dan waktu terasa lebih berarti—menyenangkan. Namun, satu yang tak kusuka, namun tak bisa dimungkiri, itu rindu. Ya, rindu. Kamu tahu, ia selalu ada saat genggaman kita terlerai dan langkah kita berjarak. Mengapa ia selalu ada? Aku bertanya-tanya. Tak henti rasanya ia menyertai, seperti pantai yang disertai ombak, seperti getar daun-daun yang diserai angin. Ah, hal itu membuatku kerapkali mendamba hari esok, di mana kita bertemu lagi.

Ini tentang kita. Dua orang yang kini berusaha untuk saling menjaga hati. Aku berjanji bahwa aku akan menjaga hati ini untukmu—maukah kamu menjanjikan hal yang sama? Kuharap kamu mau, namun tak ingkar di kemudian hari. Jadilah setia pada apa-apa yang kamu katakan, yang dengannya akan membuatku bahagia, membuatmu lebih berarti di mataku. Dan dengannya, tak perlu ada luka yang tergores di antara kita. Lalu, kelak, kenangan tak perlu getir, tak sampai membuat dada sesak, mata berair, apabila mengingatnya.

Ini tentang kita. Dan, aku berharap akan selalu tentang kita, dua orang yang dipertemukan waktu untuk saling mencintai, untuk saling mengisi dan melengkapi. Ah, aku lagi-lagi berharap, kelak nanti, kematianlah yang melerai kita. Bukan karena cinta yang memudar. Bukan pula karena hati yang tak mampu dijaga.

Ah, kamu, aku merindukanmu. Adakah kamu rasa?

Ini tentang kita. Tentang segala yang telah kita lalui beberapa bulan ini. Rasa nyaman saat berada di sisimu, berjalan bersamamu, dan tertawa denganmu. Ada getar yang kerapkali muncul pada setiap hadirmu di dekatku. Getar yang kutahu, kupahami, namun tak mampu tersampaikan. Selain menikmatinya, apa lagi yang kubisa? Seiring waktu berjalan, harapan perlahan-lahan membutir di dadaku—kadang-kadang terasa sesak di sana, kadang-kadang pula membuatku menjadi lebih semangat, bahagia, untuk bisa bersua denganmu lagi—esok dan sampai nanti.

Ini tentang kita. Sebuah hubungan yang tak ubahnya angin, tak tertebak ke mana larinya. Namun, aku tak henti berharap, semoga nanti angin itu akan menerpa kita—membuat segalanya menjadi jelas. Sejujurnya, aku sudah lelah meraba-raba hatimu. Keraguan acapkali hadir setiap kali aku melakukannya. Adakah namaku di sana? Aku selalu bertanya-tanya. Adakah sebentuk rindu untukku di sana—sebagaimana sebentuk rindu yang teronggok di sudut hatiku, untukmu. Adakah?

Ini tentang kita. Ah, sungguhkah? Aku takut kalau ini hanya tentang aku saja, yang memendam rasa padamu. Namun, bukankah keakraban telah kita miliki? Kedekatan pun demikian. Dan, tentu saja, perlakuanmu padaku mau tak mau menerbitkan sedikit keyakinan bahwa semua ini akan berakhir dalam cinta. Ini akan berakhir indah. Benarkah? Aku sungguh tak tahu. Menebak-nebak pun—entah mengapa—membuatku gentar. Aku hanya bisa berharap dan berharap. Apalagi yang kubisa? Apalagi?

Ah, hati. Ah, cinta. Ah, kamu, mengapa tak bergegas bilang?

Rupanya, menunggu cinta datang mengetuk pintumu, mampu mendatangkan resah yang tak habis-habis.

Cinta, cepatlah tiba. Kuharap, perjalananmu baik-baik saja.


Ia menatap lelaki yang dicintainya sekali lagi—masih tak percaya kalau jarak akhirnya benar-benar merenggut kebersamaan mereka. Inilah, pikirnya, inilah yang selalu ia takutkan dari cinta, saat jarak mengambil ruang di antara mereka.

“Jangan khawatir, kita akan baik-baik saja,” bilang lelaki itu, seolah tahu keresahannya. Lelaki itu memang selalu tahu tentangnya.

Ah… Ia menghela napas panjang, memandang pelabuhan yang semakin meriuh. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, sebuah kapal yang tertambat mulai dipenuhi penumpang. Tak lama lagi, kapal ini berenang pergi. Membawa lelaki yang dicintainya. Meninggalkannya sendiri bersama rindu yang entah bagaimana harus dienyahkannya—atau justru tak akan bisa?

“Berjanjilah kamu akan kembali dengan hati yang sama,” ia berkata, menatap dalam-dalam mata lelaki itu, merapatkan genggaman tangannya pada jemari kokoh kekasihnya. Sungguh, ia benar-benar takut membayangkan hari yang akan datang. Akankah segalanya masih sama? Ah, jarak. Ia benar-benar benci.

Tak langsung menyahut, lelaki itu memungut helai anak rambutnya, menyelipkan ke belakang telinga kemudian. “Maafkan aku. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu,” ucapnya pelan.

“Kenapa?” ia bertanya, dua garis keningnya terangkat. “Apakah kamu tidak yakin kalau kamu bisa kembali dengan hati yang sama? Dan, karena itulah kamu takut berjanji.”

“Bukan begitu.”

“Aku bisa memastikan hatiku tidak akan berubah saat kamu kembali nanti, dan mengapa kamu tidak?”

Lelaki itu tersenyum kecil. “Kamu tahu, janji itu begitu rapuh. Rapuh sekali. Bagiku, lebih baik tidak menjanjikan apa-apa padamu daripada melihatmu terluka karena kerapuhan janji itu.” Jeda sebentar, mendesah pelan. “Lagi pula, jarak adalah ujian bagi cinta, karena di sana, kesetiaan dan kepercayaan di pertanyakan. Kalau memang benar-benar cinta, kita hanya perlu melakukan satu hal: bertahan.”

Baca juga: Ditinggalkan, Tak Pernah Mudah. 

Bukan pernikahan namanya kalau mulus dan bebas tanpa hambatan. Bagaimanapun, pernikahan merupakan  penyatuan dua orang berbeda karakter, yang mana kemudian akan bersama-sama menyejajarkan langkah dalam membina rumah tangga—dan itu bukan sesuatu yang mudah. Perselisihan pendapat, sikap yang terkadang tidak disukai pasangan, atau pertengkaran, kerap mewarnai sebuah pernikahan.

 

Pada banyak kasus, mereka yang tak mampu bertahan dalam pernikahannya, akhirnya akan menyerah pada perceraian. Namun, banyak pula pernikahan yang mampu bertahan meski belasan—bahkan puluhan—tahun telah berlalu. Meskipun begitu, bukan berarti segalanya baik-baik saja. Terkadang, ada saat-saat di mana salah satu pasangan—entah suami, entah istri, atau keduanya—merasa pernikahannya tak lagi seindah dulu. Banyak hal yang menjadi penyebabnya dan itu, tentu saja, tidak baik bagi keharmonisan rumah tangga bila dibiarkan begitu saja.

 

Dalam buku “Muhasabah Cinta Seorang Istri” ini, bersama kawan-kawan Asma Nadia hendak memberi solusi pada mereka yang barangkali mengalami hal seperti di atas—merasa pernikahannya tak lagi indah—yaitu dengan jalur muhasabah. Di mana para penulis yang berjumlah lima belas orang, dan semuanya bertitel istri, menceritakan kebaikan-kebaikan suami selama pernikahan mereka, dengan harapan hal itu akan kembali memekarkan bunga pernikahan yang mungkin saja sempat layu.

 

Beby Haryanti Dewi, dalam tulisannya Suami Jempol, Istri Error, menceritakan bagaimana dia dan sang suami, Ilham, bagai langit dan bumi. Perbedaan mereka begitu besar, di mana Ilham tipe lelaki romantis, sementara Beby tipe perempuan yang kurang sensitif. Pesan-pesan yang dikirmkan sang suami padanya selalu berbunga-bunga, romantis abis, sedang pesan yang dia kirimkan pada sang suami hanya berisi daftar belanjaan saja. Tidak hanya itu, bahkan pernah suatu hari Ilham membawa rangkaian bunga untuk Beby, namun yang terjadi Beby justru menganggap Ilham buang-buang duit.

 

Meskipun sering kelihatan nggak nyambung, tapi mereka bahagia-bahagia saja menjalani pernikahan yang hampir 9 tahun itu. Perbedaan-perbedaan yang mereka miliki kerap membangun kelucuan dan membuat hari-hari mereka dihiasi canda tawa. (hal. 29).

 

Menurutku, justru karena berbeda itulah pasangan suami istri bisa belajar untuk saling mengisi, saling menghargai, saling memahami, dan pada akhirnya saling bergantung dan terikat satu sama lain.

Kebalikan dari Beby yang memiliki suami romantis, Nr. Ina Huda dalam tulisannya yang berjudul Romantis VS Realis justru bersuamikan lelaki yang cenderung cuek. Seringkali Ina berharap akan mendengar kata-kata manis nan berbunga dari bibir sang suami, namun hal itu sangat jarang dia dapatkan. Meskipun begitu, sang suami ternyata memiliki keromantisan dengan caranya sendiri. Misalnya, daripada bertanya apa yang bisa ia bantu, sang suami lebih memilih bertindak dengan cara mengambil alih pekerjaan. Lain waktu, saat mendapati Ina dilanda khawatir oleh sesuatu hal, sang suami tidak bertanya, “Kenapa kamu murung, Sayang?” melainkan akan berkata, “Jalan-jalan yuk, di dekat sini ada depot tanaman hias baru, lho. Kelihatannya tanaman-tanaman hiasnya bagus-bagus.” (hal. 57).

 

Aku berpikir bahwa perkawinan adalah semacam sarana untuk mencapai tujuan. Ibarat alat transportasi, aku tidak membutuhkan alat transportasi yang mewah atau megah, tetapi lebih pada yang kokoh kuat agar bisa membawaku sampai ke tujuan tanpa mogok di jalan.

Selain kedua tulisan di atas, ada juga dua belas tulisan lain yang akan menggugah hati: Aku Perlu Suami yang Sabar karya Tria Barmawi, Cinta Tak Selalu Merah Muda karya Mariskova, That Sweetest Thing karya Dyotami Febriani, Secangkir Kopi Susu karya Sinta Yudisia, Si Dia karya Sitaresmi Sidharta, I Don’t Realize that You Love Me Much, Until… karya Yulyani Dewi, Demi Ayat-Ayat Cinta karya Yunita Tri Damayanti, Tanpa Dia Aku Takkan Berhasil karya Rini Nurul Badariah, Ketika Ratu Pemalas Menanggalkan Gelarnya karya Demi Rieka, Guru Kehidupan karya Meidya Derni, Karena Aku Belum Siap Kehilangan Kamu karya Ade Sophia Winstar, dan terakhir Kalau Ada yang Berubah karya Yudith Fabiola.

 

Tidak hanya berisi muhasabah-muhasabah di atas, buku setebal 130 halaman ini juga memuat berbagai tips yang pastinya akan bermanfaat—baik untuk para istri maupun mereka yang masih lajang—misalnya tips “SerSan” alias Serius tapi Santai, tips menemukan suami pilihan bagi muslimah lajang, dan masih banyak lagi. Selain itu, terdapat juga lembar muhasabah yang bisa diisi oleh para pembaca. Rasanya, buku ini tidak hanya wajib di baca oleh para istri maupun Muslimah yang masih lajang, tetapi juga wajib di baca oleh lelaki—baik yang bertitel suami maupun yang bertitel jomblo.

 

Selamat membaca. Baca juga resensi lainnya: Perjalanan Mengubah Peruntungan.

 

Judul : Muhasabah Cinta Seorang Istri

Penulis : Asma Nadia, dkk.

Penerbit : Lingkar Pena Publishing House dan Asma Nadia Publishing House

Tahun terbit : Juli 2011, Cetakan keenam

Jumlah halaman : 130 halaman

ISBN : 978979191545-8

 

Rating :  Red heart  Red heart  Red heart  Red heart  Red heart

 

Buku ini saya dapatkan lewat kuis di twitter yang diadakan oleh—kalau tidak salah—Lingkar Pena, sekitar tahun 2011.

Desir angin menyapu ilalang. Menggetarkannya hingga terlihat seperti menggelitik senja yang tumpah di cakrawala. Winda termangu. Menatap semburat merah jingga itu di bawah naungan pohon Akasia, bersandar dan memeluk gumpalan lututnya.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Segaris suara tiba-tiba terngiang di kepala Winda. Dia tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.

 

***

 

“Berhenti menatapku seperti itu!” Winda berkata tegas saat mengetahui ada seorang lelaki menatapnya lekat. Matanya sebulat cawan.

 

“Kau sedih? Ada yang melukaimu?” Lelaki di hadapannya terus menatap dengan tatapan seolah ikut merasakan luka yang menganga di benak Winda. Winda bergegas bangkit dari duduknya, lantas berkacak pinggang.

 

“Tahu darimana kalau aku ini sedih? Tahu darimana juga kalau aku ini terluka? Jangan sok tahu, ya!” Winda meluncurkan kalimat-kalimatnya dengan lancang, lalu mengakhirinya dengan senyum cibiran.

 

Lelaki itu mendekatkan wajahnya. “Mata adalah jendela hati,” bisiknya lembut.

 

Winda terhenyak. Dia sadar akhir-akhir ini terlalu banyak gelombang yang datang silih berganti menghempas jiwanya. Bahkan dia memilih mati, namun dia selalu berpikir bahwa bunuh diri itu dosa. Dan lelaki ini, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sama, tahu akan satu hal dalam hidupnya.

 

“Lebih baik di ceritakan daripada harus dipendam sendiri. Berbagi, dan itu akan membuat dirimu lebih tenang. Bukankah benda yang berat akan terasa ringan bila ada yang membantu?” Kembali lelaki itu berucap, tepat setelah menangkap kekhawatiran yang memburat di wajah Winda.

 

“Aa… emm,” akhirnya Winda terbata. Tidak tahu harus bilang apa lagi.

 

“Namaku Dar,” lelaki itu mengulurkan tangannya.

 

Winda sesaat diam, heran. Lantas tersenyum kaku dan menyambut uluran tangan itu. “Winda.”

 

“Nama yang indah, seindah pemiliknya.” Dar tersenyum.

 

Untuk sepersekian detik Winda baru menyadari akan sesuatu di tubuh Dar, senyumnya lembut dan manis. Senyuman yang seketika itu meningkatkan kerja jantungnya.

 

“Tt… thanks,” Winda melepas genggamannya di tangan Dar. Lagi-lagi Dar tersenyum. Karena khawatir debar jantungnya semakin menjadi-jadi, Winda akhirnya memilih pergi. Belum cukup lima langkah meninggalkan Dar, Winda berbalik.

 

“Kelas berapa?” tanyanya kemudian.

 

“Sama sepertimu, kelas dua belas,” sahut Dar.

 

“Ilmu Alam?”

 

“Ilmu Sosial.”

 

“O.” Ujung bibirnya meruncing. “Oke,” lanjutnya lantas berbalik dan melangkah pergi.

 

“Belum ingin cerita?”

 

“Belum waktunya.”

 

“O. Baiklah. Tapi, kamu bisa temui aku di taman ini setiap istirahat. Dan aku siap mendengar ceritamu. Aku orang yang pandai menyimpan rahasia, kok. Jadi, jangan ragu untuk cerita.”

 

Perkataan Dar hanya mampu mengeluarkan dua kata dari bibir Winda: terima kasih. Dan Winda pun pergi. Dar menatapnya dengan senyum berlayar di wajah.

 

***

 

Segalanya mengalir begitu saja. Masalah Winda pun masih begitu-begitu saja. Gelombang itu tak urung reda. Usai ke kantin sebentar, Winda ke taman itu. Letaknya agak jauh dari keramaian siswa. Ketika Winda sampai di taman, dia tak menemukan siapa-siapa, apalagi Dar yang memang di carinya. Winda mendesah berat.

 

“Kau mencariku?”

 

Sebuah suara terdengar di belakang kepalanya. Winda menoleh. Ah, selalu seperti ini, gerutunya dalam hati. Selalu muncul seperti jin, sama seperti kali pertama mereka bertemu.

 

“Dar.” Matanya berbinar ketika menyebut nama itu.

 

“Aku siap mendengar ceritamu,” Dar berkata sembari melangkah ke bangku taman, kemudian duduk menunggu.

 

Lagi dan lagi, pikir Winda, Dar sepertinya sudah tahu maksud kedatanganku memang untuk bercerita.

 

“Tidak usah heran begitu. Aku kan pernah bilang datang saja ke taman ini kalau kamu siap untuk cerita. Dan sekarang kamu datang. Apalagi coba kalau bukan untuk cerita?”

 

O, iya. Winda teringat. Aduh, bodoh banget sih aku.

 

“Hehe….” Winda menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

Dar tersenyum. “Duduklah.”

 

Seperti ada ledakan bom di dada Winda. Kepalanya seketika di penuhi gugusan tanya yang segera butuh jawaban. Tepat setelah menceritakan segala masalahnya’'; mulai dari masalah orangtuanya yang selalu bertengkar dan meminta cerai, dan masalah-masalah lainnya. Kembali Dar melontarkan kalimat yang sungguh di luar dugaan.

 

“Hampir setiap malam aku mendengar orangtuamu bertengkar.”

 

“Hah! Tahu darimana?” Rasa kaget seketika mengaliri wajah putih Winda. Bibir bawahnya di gigit sekali.

 

“Aku tetanggamu.” Kata-katanya mengalir lembut. Winda diam saja, mencoba memulihkan kekagetannya. “Aku sedikit tahu tentang keluargamu,” Dar melanjutkan.

 

“Tapi, aku tak pernah melihatmu?” Sebutir tanya yang sedari tadi bertengger di ujung bibir Winda akhirnya melesat.

 

“Aku bekerja. Sepulang sekolah hingga malam. Menjaga toko keluarga kami. Itulah sebabnya kamu tak pernah melihatku.”

 

“Berangkat sekolah pun aku tak pernah melihatmu?”

 

“Hehe….” Dar terkekeh sebentar, kemudian melanjutkan, “Aku berangkat sekolah saat kamu masih tidur.”

 

Winda tersipu malu. Wajahnya memerah. Angin berembus sepoi, menggetarkan helai rambut Winda. Bebungaan bergoyang. Dar segera memberi solusi atas masalah Winda, sebelum waktu istirahat habis. Winda menyimak. Dan hatinya tersenyum lebar.

 

***

 

 

“Setahuku, ini adalah tempat yang kau kunjungi setiap sore.”

 

Pohon Akasia berdiri kukuh, tempat Winda menyimpan punggungnya. Senja hadir dengan jemari cahaya yang lembut menyentuh padang ilalang. Winda mengenali suara di belakangnya. Lelaki itu lagi. Sekarang, dia hadir kembali tanpa undangan. membawa kejutan-kejutan yang selalu dan selalu menerbitkan tanya besar. Tahu darimana aku sering ke sini?

 

“Dar.” Winda menoleh.

 

“Boleh aku duduk di sampingmu?” pinda Dar. Winda mengangguk.

 

“Kamu tidak kerja?” Akhirnya Winda buka suara setelah beberapa saat.

 

“Hari Minggu. Libur.”

 

“O.”

 

“Bagaimana?” Dar bertanya, menatap wajah Winda yang kuning diterpa mentari sore. Winda mengerti ke mana arah pertanyaan Dar. Tentang masalahnya.

 

“Telah kucoba seperti saranmu.” Hening sejenak. “Mereka terlalu egois. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan demi aku, anaknya. Mereka tak tahu rasanya berada di posisiku.” Pandangan Winda mengabur. Matanya berkilat-kilat. “Aku akan tersakiti karenanya. Mungkin sampai bertahun-tahun andai mereka bercerai.” Kristal bening meluncur turun. Kemudian, “Aku jelaskan kepada mereka masih ada jalan lain selain bercerai. Aku jelaskan sampai menangis. Namun, tetap saja…. “ Air mata menganak sungai. Dar mengisi rongga dadanya dengan udara, sebanyak-banyaknya, lalu menyentuh pundak Winda dan membawanya dalam pelukan.

 

“Mereka terlalu egois,” desis Winda di antara isaknya.

 

“Kadang mereka butuh penjelasan berulang kali untuk mengerti apa yang kita rasakan,” Dar mencoba menenangkan dengan membelai rambut dan menggosok punda Winda. Lalu, beberapa saat kemudian, “Coba lihat senja di sana,” ujar Dar, telunjutknya menghunus cakrawala.

 

***

 

Dua minggu kemudian….

 

Dar tidak seperti biasanya. ini hari Minggu dan senja sedang bergelora di batas horison. Dar belum juga datang di padang ilalang. Apakah Dar memberi kejutan lagi? Muncul tiba-tiba di tengah lamunan Winda. Padahal, hari ini Winda memiliki kabar gembira. Ya. Keluarganya selamat dari ancaman perceraian yang saat itu seperti monster yang mengitari rumah mereka. Tapi, Dar tak kunjung hadir. Perasaan Winda berkabutkan resah. Ke mana Dar? Lupakah dia hari ini hari Minggu? Tidak. Tidak. Winda melemah.

 

Hari-hari berlalu menjadi minggu. Dan minggu meloncat menjadi bulan. Genap sebulan Winda melewati minggunya tanpa kehadiran Dar. Telah dicarinya ke rumah Dar sepulang dari tempat itu, beberapa minggu lalu. Namun, bukan Dar yang didapatnya. Dia mendapati rumah Dar kosong. Keluarga Dar tidak menempati rumah itu lagi. Dar pindah. Mengapa dia tidak memberitahuku akan hal ini? benak Winda bertanya-tanya. Dan berjarak beberapa hari kemudian, Winda mendapat kabar tentang Dar dari tetangganya. Bahwa Dar kecelakaan dan tidak dapat diselamatkan.

 

Seketika itu, Winda merasakan tulang-tulangnya seolah lenyap dari tubuhnya. Pandangannya menjadi sehitam kopi. Winda jatuh pingsan.

 

***

 

“Coba lihat senja di sana.”

 

Winda menghapus bulir bening di wajahnya. Korneanya bergerak perlahan mengikuti telunjuk Dar.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Perkataan Dar sontak membuat detak jantung Winda sejenak jeda berdenyut. Air matanya segera surut. Winda menoleh. “Dar….”

 

“Aku mencintaimu, Winda.” Winda ternganga. “Sungguh mencintaimu.”

 

Dan begitulah. Cinta terurai di antara keduanya di penghujung senja itu. Ilalang-ilalang kian erat berpelukan ketika angin bertiup mesra.

 

***

 

 

Dedaunan Akasia tempat Winda menaruh punggungnya teracak-acak dan bergetar. Pelukan di lututnya semakin erat. Ingatannya tentang Dar selalu seperti hantu yang menghantui setiap waktu. Matanya mengembun, untuk kemudian menitik di kedua pipinya. Winda mendesiskan sesuatu, “Aku rindu padamu, Dar.”[]

 

Baca juga cerpen lainnya: Laksana Purnama.

 

Cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di media masa, yaitu Kendari Pos pada bulan September 2011.