Lama Bersama, Tak Berarti Berakhir Bahagia

/
0 Comments
putus cinta
Tidak terasa, sampai sekarang saya masih rajin memposting tulisan di blog ini. Yah, walaupun tulisan-tulisan kecil, sederhana—sesekali cerpen—yang penting saya konsisten mengisi blog ini. Saya harap akan terus dan selalu. Aamiin.

Seperti judul postingan di atas, lama bersama, tak berarti berakhir bahagia. Ide tulisan kali ini muncul ketika saya mendapat kabar salah satu teman saya bahwa ia sudah putus dengan pacarnya. Padahal, mereka pacaran sudah terbilang lama. Sejak kelas dua—atau tiga—SMA, kalau saya tidak salah. Dan, mereka putus empat bulan lalu.

Ah. Saya benar-benar menyayangkan mengapa mereka putus. Bukannya apa-apa, saya tadinya berpikir bahwa mereka itu akan berakhir bahagia, berakhir di pelaminan dan kelak menjadi sebuah keluarga yang samawa. Namun, apa daya, kenyataan tidak berjalan sebagaimana yang saya pikirkan. Dan, sejujurnya, saya sedikit kecewa. Terbersit keinginan untuk melihat mereka bersama selama-lamanya. Terbersit keinginan bahwa suatu ketika nanti saya akan melihat anak mereka yang lucu-lucu. Ah, namun, itu, bagaimanapun, harus saya lupakan. Enyahkan.

Ah. Rupanya, perjalanan cinta yang bahkan sampai bertahun-tahun, tak menjamin akan berakhir jodoh. Bukan jaminan bahwa ia akan menjadi pelengkap hidup kita kelak. Hal seperti ini telah banyak terjadi—namun tidak sedikit juga yang bisa berakhir bahagia. Bahkan, banyak terjadi, mereka yang baru bertemu sebulan—atau beberapa bulan saja—bisa langsung menjadi jodoh kita. Menurut saya, ini agak lucu dan... sayang sekali.

Mengapa saya katakan sayang sekali?

Coba deh kita menengok ke belakang, melihat apa yang telah mereka lewati bersama-sama, terlalu banyak kenangan yang rasanya sayang sekali kalau hanya akan diingat ketika kita berada di sisi orang lain—bukan dia. Kenangan akan jauh lebih indah kalau kita mengingatnya sembari duduk di sisi dia yang ada dalam kenangan itu, bukan? Yah, meskipun begitu, tetapi seperti itulah cara Allah SWT bekerja. Cara yang seringkali tidak pernah disangka-sangka hambanya. Toh, Allah SWT tahu mana orang yang terbaik buat kita—Dia tahu siapa orang yang lebih kita butuhkan untuk menjalani hidup ini.

Baca juga: Ini Tentang Kita.

Berharap teman saya itu tidak sampai galau tingkat negara  Open-mouthed smile  Nerd smile  Meskipun tadi saat saya tanya bagaimana keadaannya setelah putus, dia menjawab bahwa dia lebih tenang. Hmm, tenang—saya yang pengagum mereka justru tak tenang *apasih?*

Bagaimanapun, ada satu hal yang menarik dari kasus teman saya itu. Sewaktu saya tanya apa penyebab mereka putus *agak gimana gitu waktu nanya bagian ini, nanti saya dianggap tukang kepo, padahal memang iya* Teman saya itu menyahut, "Gara-gara jarang ketemu."

Jarang ketemu. Oh, jadi jarang bertemu berpotensi mengandaskan suatu hubungan? Asli saya tidak banyak pengalaman tentang cinta, jadi maklum kalau saya terkesan baru tahu. Saya memang masih polos kok  Embarrassed smile  masih pakai popok juga ini hahaha

Lho, tidak banyak pengalaman cinta, tapi kok suka nulis cinta-cintaan? Barangkali ada yang bertanya begitu. Yah, mau-mau saya dong, sewot amat jadi manusia, hehe. Yah, menurut saya sih menulis cinta-cintaan bukan berarti harus mengalami, kan? Walaupun mengalami lebih bagus juga, sih  Open-mouthed smile  Saya bisa belajar dari orang-orang di sekitar bagaimana soal cinta itu—dan teman saya ini salah satunya—lalu menuangkannya ke dalam tulisan. Lihat itu J.K. Rowling, apa pernah dia mengalami naik sapu terbang sampai bisa nulis Harry Potter. Tidak, kan? Nah, itu dia alasannya. Oke, back ke topik utama.

Jarang ketemu. Agak lama saya menimbang-nimbang dua kata ini. Lho, kok, bisa sih jarang ketemu bisa bikin putus. Memangnya mereka nggak bosan selama ini, sampai bertahun-tahun, ketemuan terus. Sekali-kali jarang ketemu kan nggak apa-apa. Hitung-hitung itu menjadi ajang untuk menumpuk rindu, biar nanti saat bertemu langsung dihamburkan deh rindu itu. Kan, asyik, hehehe *sotoy saya*

Apa pun itu, saya menduga ada alasan lain. Entah apa. Teman saya ini bahkan sempat bilang, "Saya sudah malas." Hmm, malas. Berarti dalam hal ini pasti bosan. Bosan memang selalu menjadi pengintai suatu hubungan—seperti halnya kematian. Dan, itu wajar. Suatu hubungan bisa bertahan ataupun tidak, itu tergantung pelaku di dalamnya. Mau bertahan dan melawan kebosanan itu dengan cara yang barangkali memang bisa ampuh, atau memilih menyerah dan membiarkan segala lepas begitu saja.

Namun, setahu saya, teman saya ini orangnya selalu mau mempertahankan. Tapi, yah, kembali ke jalan yang sudah di siapkan Allah SWT, barangkali jodoh bukan jalan yang akan mereka titi bersama, melainkan besama orang lain, yang tentu sudah pilihan terbaik dari-Nya. Apa pun itu, saya hanya bisa mendoakan semoga teman saya itu mendapat seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Dan, bisa berakhir di pelaminan. Aamiin.

Untuk kamu—dan juga saya—yang barangkali saat ini dalam perjalanan cinta, saat nanti kebosanan datang, saya sarankan, cobalah lihat ke belakang, ke hari-hari yang telah kalian lewati bersama, dan petiklah kenangan saat di mana dia tampak begitu berarti di matamu, yang barangkali itu menjadi satu kenangan yang tak akan pernah kamu lupakan dari dia. Barangkali, itu kenangan saat dia menjagamu seharian saat kamu sakit, atau mungkin itu kenangan saat dia menerobos hujan hanya untuk menjemputmu. Suatu pengorbanan. Sesuatu yang istimewa. Hal-hal seperti itu, coba ingatlah, rasakanlah, dan bayangkanlah bahwa dia itu terlalu berharga untuk kamu lepaskan. Dia itu adalah seseorang yang lebih pantas untuk kita pertahankan, dengan lebih dan kurangnya dia.

Menurut saya, itu cukup ampuh untuk mengusir kebosanan dalam suatu hubungan. Bagaimana menurutmu?




You may also like

No comments: