Hari Pertama: Mulai Membiasakan Menulis

/
0 Comments

Jujur, aku tidak pernah lagi menulis seperti dulu. Di mana kata-kata yang berputar di kepalaku begitu mudah untuk aku tuangkan dalam tulisan. Seringnya malah kata-kata itu macet ketika hendak keluar. Aku menyadari, aku terlalu banyak berpikir, apakah akan bagus? apakah ini sudah pas? Standar tinggi untuk tulisan sendiri, sungguh itu bukan sesuatu yang baik, aku menyadari itu. Tidak sepatutnya seorang penulis membiarkan 'editor' hidup dalam draf pertamanya. Bukankah draf pertama itu wajib jelek? Wajib tampak kayak sampah? Ah, aku menyadari itu dan seringkali mengatakannya pada diriku sendiri. Namun, mungkin karena sudah tidak asing lagi, aku menjadi terbiasa mendengar kata-kata itu dan malah menganggapnya angin lalu saja. Dan akhirnya, beginilah kondisiku saat ini: stuck.

Terkadang ketika hendak memulai menulis dan malah mendapati diriku yang hanya menghadapi lembar kosong word, aku tiba-tiba merindukan diriku saat-saat yang lalu. Di mana menulis terasa begitu gampang. Apa pun yang meloncat-loncat dalam kepalaku begitu mudah untuk aku tuliskan. Ringan. Enteng. Pokoknya nyaman banget. Dulu, apa pun yang terjadi di sekitarku, rasanya gatal kalau aku tidak mengubahnya menjadi sebuah cerita. Rasanya aneh dalam sehari kalau aku tidak menulis. Itu dulu. Sekarang, super parah. Sudah beberapa tahun tidak lagi menghasilkan sebuah cerita--entah itu cerpen, lebih-lebih novel.

Ini semua bermula dari terbitnya novel perdanaku: KETIKA. Aku tahu, semua ini sepenuhnya salahku. Yang ketika novel itu terbit, malah sibuk promo saja, dan lalai untuk kembali merajut cerita. Ya, dulu aku hanya promo dan promo. Lalu, perlahan-lahan, kegiatan menulis terlepas dalam hidupku. Dulu awal-awal aku masih suka membuat quote-quote di twitter, setidaknya itu menjadi satu-satunya cara untuk merangsang ide kreatif di kepalaku. Twitter menjadi media untuk menulis saat itu. Lalu, perlahan-lahan, aku berhenti menulis quote. Dan, di mulai dari situlah, aku tidak menulis. Beberapa kali pernah mencoba menulis, namun kosa kata dalam otakku seolah dirampok entah ke mana. Susah menemukan kata yang pas, yang pada akhirnya membuat kepalaku mumet dan aku pun seringkali berhenti menulis.

Satu yang aku sesali, mengapa dulu aku berhenti menulis? Aku tidak menyadari bahwa ketika aku sudah berhenti menulis, dan itu berlangsung beberapa tahun, ketika hendak menulis lagi, ternyata sulit minta ampun. Kalau saja boleh kembali, aku akan memilih terus menulis, meskipun itu bukan novel. Mungkin cerpen. Atau puisi. Dan itu tidak harus terpampang di media. Terpampang di blog sendiri saja itu cukup. Paling tidak, untuk menulis tidak sesulit ini. Untuk menuangkan kata-kata yang berlalu-lalang di kepala tidak seberat ini. Ah. Siapa pun kamu, yang telah begitu akrab dengan menulis, pesanku teruslah menulis. Jangan berhenti. Memang ada saat-saat jenuh dalam menulis--atau alasan apa pun--tapi itu tidak berarti membuat kita benar-benar berhenti menulis. Percayalah, setelah berhenti lama, dan untuk memulai lagi, rasanya susaaaaah banget. Seolah-olah pipa yang mengalirkan kata-kata dalam kepala ini telah dikerumini karat. Dan itu berarti perlu usaha keras untuk kembali melancarkan aliran kata-kata, menerobos kerumunan karat-karat itu.

Teruslah menulis....

Kini, aku mencoba kembali membiasakan menulis setiap hari. Dan ini hari pertama aku melakukannya. Aku belajar menulis bebas. Free Writing. Aku belajar untuk menyingkirkan editor dalam diriku. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa tak ada yang perlu aku khawatirkan dalam tulisanku. Tidak ada kata bagus. Tidak ada pula kata jelek. Aku menulis saja. Menulis, Dan terus menulis.

Tidak ada kata terlambat. Ya, tidak ada kata terlambat untuk kembali membiasakan diri ini menulis. Aku masih punya kesempatan untuk membangun kebiasaan itu, selama aku masih hidup, masih diberi waktu dan kesehatan, aku bisa kembali membangun kebiasaan itu. Ngomong-ngomong, aku jadi teringat kalimat dalam buku salah satu penulis favoritku, Khaled Hosseini, yang berjudul The Kite Runner bahwa selalu ada jalan untuk kembali. Ya, itulah aku saat ini. Yang mencari jalan kembali untuk membiasakan menulis. Dan, jalan itu dengan mulai menulis. Aku berencana untuk menulis setiap hari selama 40 hari. Sebenarnya 21 hari atau 3 minggu sudah cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baru, tapi aku mencoba memakai jangka waktu yang Ustad Yusuf Mansur sarankan dalam Riyadhoh 40 hari--biar lebih mantap.

Harapanku semua ini akan berjalan lancar nantinya. Aamiin yra :)




You may also like

No comments: