Hari Kelima: Berjalan Bersisian Bersama Kenangan

/
0 Comments


Ini seharusnya menjadi hari keenam, tapi sekali lagi saya gagal menulis secara rutin. Tidak perlulah saya menulis alasannya di sini, karena kalau mau mencari alasan selalu tersedia banyak di kepala. Yang jelas, ternyata untuk istiqamah itu tidak mudah. Saya sampai greget pada diri saya sendiri, yang tak mampu menantang rintangan demi rintangan yang menghantam diri ini, menghantam pertahanan saya untuk terus menulis, apa pun yang terjadi. Nyatanya, saya gagal. Sejauh ini, sudah dua kali saya gagal menulis. Yang seharusnya tulisan saya telah mencapai tujuh tulisan dengan hari ini, tapi justru baru mencapai lima tulisan.

Meskipun gagal, saya tidak mau berhenti melanjutkan proyek pribadi ini, proyek untuk membiasakan menulis setiap hari. Semangat, Aiman!


***

Ia tidak ingin mendambakan pertemuan itu kalau saja tahu semua akan begini. Orang yang katanya mencintainya, menyayanginya, kini justru melangkah menjauhinya. Ia tidak mengerti, mengapa semua terlalu cepat, hubungan mereka. Ia tidak yakin apakah telah membuat kesalahan, sehingga menyurutkan langkah orang yang dicintainya itu. Dan ia pun bertanya-tanya, mengapa seolah-olah orang itu hanya sejenak saja mampir dalam hidupnya?

Apakah memang ada orang seperti itu? Sejenak saja mampir dalam kehidupan seseorang, menorehkan rupa-rupa warna di sana--bahagia, rindu, janji-janji--lalu pergi seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tak menoleh sedikitpun untuk sekadar melihat seseorang yang telah ditinggalkannya, yang kini tengah terseok-seok menenteng berkantung-kantung kenangan. Memang hanya sejenak, tapi kenangan yang telah tercipta begitu banyaknya.

Ia meragu, apakah mampu melewati hari demi hari, berjalan bersisian bersama kenangan? Apakah ia mampu melewatinya sendiri? Apakah ia tak pantas bahagia? Ah, kalau saja ia tahu akan begini, ia tak mau terlalu mencintai orang itu. Ia tak mau menyerahkan seluruh hatinya pada orang itu--yang katanya mencintainya.

Ia yang bodoh atau memang beginilah cinta? Di mana ketika kita mencintai seseorang, jangan pernah mencintainya separuh-separuh. Ataukah itu salah? Salah bila terlalu mencintai seseorang? Ah entahlah. Ia tak tahu. Kini, ia hanya merasa ia terlalu bodoh. Terlalu bodoh untuk mengendalikan perasaannya sendiri. Bila hanyut, ia biarkan dirinya hanyut. Sama sekali tak mempersiapkan hatinya untuk sebuah perpisahan, yang mana merupakan sebuah kepastian.

Kini, ia menyadari, perjalanannya masih panjang. Kini, ia merapal harap, hari demi hari, bahwa waktu segera berbaik hati untuk menjulurkan jari-jemarinya, satu demi satu mengambil kenangan yang membebani hatinya, yang kerapkali membuat rongga dadanya sesak, membuat ulu hatinya memerih, juga basah kedua matanya.

Ia pantas bahagia, bisiknya.
Ia pantas dicintai tanpa selalu dilukai, lagi ia berbisik.
Ia pantas untuk mengenang hari-hari yang telah lalu dalam kebersamaan, bukan kesendirian, lagi-lagi ia berbisik.

Dan, karena itulah, ia terus melangkah, kendati disadarinya tak akan mudah.


You may also like

No comments: