Go-Jek yang Aneh

/
0 Comments

Berapa hari, ya, saya tidak membuat postingan di blog ini? Saya pun tidak ingat, hehe. Tapi, alhamdulillah, ada seseorang yang ternyata selalu menunggu-nunggu tulisan saya. Sampai-sampai dia BBM supaya saya ingat blog dan tak lupa disertai emot muka marah. Saya tersenyum membacanya. Benar-benar menunggu rupanya. Terima kasih, Pat, untuk penantianmu :)

Lagi pula, proyek saya ini adalah menulis setiap hari. Bukan membuat postingan setiap hari. Walaupun pengennya bisa posting tulisan setiap hari, tapi kadang-kadang isi tulisan saya—kalau sedang tidak mood menulis—lebih sering mengarah ke curahan hati. Dan, karena bersifat pribadi, maka saya tidak posting. Dinikmati sendiri saja, sekaligus mengeluarkan uneg-uneg yang bersarang di hati—yang katanya baik untuk kesehatan dompet jiwa kita.

Oke. Mengingat sebentar lagi bulan Ramadhan, dan itu berarti nggak lama lagi saya pulang kampung—ya Allah kangen banget sama keluarga, terutama sama Bapak—belakangan saya mulai mencari-cari tiket di Traveloka. Harganya alhamdulillah, bikin galau, haha. Tidak apa-apa sih, yang penting bisa pulang kampung. Tadinya, ada keinginan tahun ini tidak pulang, tapi tiba-tiba terbersit pemikiran dalam kepala saya, bagaimana kalau tahun depan kesempatan untuk berlebaran bersama keluarga, melihat bapak yang begitu saya rindukan, sudah tidak ada lagi? Jadilah, tekad membulat, tahun ini, pulang! Ongkos larang alias mahal tidak masalah. Selama masih diberi kesehatan, insya Allah rejeki Allah masih bisa dijemput. Bertemu orangtua kan belum tentu bisa tahun depan. Umur, siapa yang tahu?

Berhubung akan pulang kampung, dan seperti biasa orang yang akan pulang kampung tak pernah lupa dihembuskan kata-kata mutiara, “Jangan lupa oleh-olehnya.” Jadilah pada hari Senin kemarin, hari di mana Daeng Rewa libur, saya dan kakak keluar mencari oleh-oleh. Saya sebenarnya ada rencana lain hari Senin itu, tapi mau tidak mau harus dibatalkan karena mencari oleh-oleh ini tidak bisa lagi saya lakukan bulan depan. Karena, kemungkinan besar, bulan depan tidak akan ada libur, karena akan dirangkap libur untuk lebaran. Akhirnya, saya dan kakak memutuskan ke Pasar Turi.

Seperti biasa, saya yang belum tahu jalur angkot di Surabaya ini, selalu mengandalkan Go-Jek ke mana-mana. Asyiknya naik Go-Jek itu gak perlu bermacet-macet ria, alhamdulillah. Namun, ada kejadian yang tak akan saya lupakan. Seumur-umur naik Go-Jek, baru kali ini saya mendapat driver Go-Jek yang “berbeda”. Ya, berbeda. Biasanya, kalau saya naik Go-Jek, sambil berkendara sang driver biasanya akan mengajak saya mengobrol, atau saya yang mengajaknya mengobrol. Tapi, kali ini, sang driver justru mengaji—atau mengulangi hapalan Al-Qurannya. Saya yang duduk dibelakang, kali pertama mendengarnya, berpikir sang driver lagi nyanyi. Hapalan Al-Qurannya bertabrakan dengan suara kendaraan lain membuat suaranya terdengar samar-samar, makanya saya berpikir begitu. Namun, lama-lama, saya menyadari juga kalau Pak Gojek ini bukan menyanyi, melainkan mengaji. Sampai-sampai saya mengangkat kaca helm dan sedikit mendekatkan kepala biar bisa mendengar lebih jelas.

Tenang, saya gak sampai kayak gini kok cuman buat dengar hapalan Al-Quran Pak Gojeknya. Memangnya saya cowok apaan, terong-terongan? Haha.
Sepanjang perjalan menuju Pasar Turi, Pak Gojek ini terus mengaji, dan saya juga terus bertanya-tanya ini benaran mengaji atau nyanyi, ya? Sulit benar memastikan. Saya hanya menduga-duga saja. Mau bertanya, nggak enak juga, hehe.

Dan, akhirnya, dugaan saya benar ketika Pak Gojek berhenti di depan Stasiun Kereta Api Pasar Turi. Lha, saya heran, kok berhenti depan stasiun, bukannya pasar. Ternyata Pak Gojeknya nggak ngeh kalau tujuan saya itu ke Pasar Turi.

“Oalah, ke Pasar Turi, to. Hapalan Al-Quranku jadi berhenti ini,” bilangnya sambil terkekeh kecil.

“Mas daritadi menghapal, ya?” aku akhirnya bertanya juga sambil naik kembali, siap-siap menuju Pasar Turi. “Dari tadi saya dengar-dengar mas, mau nanya tapi nggak enak, hehe.”

“Ya, begitulah. Ulangin hapalan saja, dikit-dikit.”

“Sudah berapa juz hapalannya, Mas?” tanya saya—padahal yang nanya 1 juz aja belum.

“Ndak gitu, sih,” sahutnya, tidak menyebut berapa juz—atau surah—yang sudah dihapalnya. “Ya, sekadar mengulangi hapalan tok. Daripada kosong, ya mending dipakai mengaji saja,” lanjutnya, tidak sadar kata-kata Pak Gojek barusan seumpama segenggam tangan yang tiba-tiba meninjuku, membongkar kesadaranku.

Tersenyum kecil sebentar, saya lalu menimpali, “Bener, Mas. Daripada kosong, nggak dapat apa-apa, mending mengaji aja, ya, dapat pahala. Masnya keren. Tambahin terus, ya, hapalannya.” Aku mengakhiri dengan sepotong pujian sembari mengingat waktu-waktu kosong yang saya miliki, yang isinya hanya bermain handphone—baca buku, sih, masih mending, lha ini social media doang. Malu, ah, saya.

Tak lama, saya melanjutkan, “Baru kali ini, lho, Mas saya naik Gojek yang driver-nya mengaji.”

“Masa, sih?” tanyanya.

“Iya, benaran. Baru kali ini.” Di kedalaman hati, saya bahagia sekaligus iri. Bahagia karena ada orang yang tak mau waktu luangnya berisi kesia-siaan saja. Dan, iri karena saya tidak bisa seperti Pak Gojek. Ya Allah, semoga Engkau memberi keistiqamahan dan rahmat pada Pak Gojek, yang entah siapa namanya. Aamiin yra.

Bersambung....


(Insya Allah akan saya lanjutkan besok.)


You may also like

No comments: