Hari Ketiga: Merantaulah

/
2 Comments


Hari ketiga. Alhamdulillah aku masih bisa istiqamah menulis. Ternyata, memulai sesuatu yang telah lama kita tinggalkan itu sulit sekali. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa selamanya. Selalu ada cara untuk kembali ke kebiasaan yang lalu. Memang, ada saat-saat di mana rasa malas mencengkeramku begitu kuat. Belum lagi kesibukan yang datang silih berganti. Belum lagi media sosial yang menggoda bukan main. Aku menulis ini sampai handphone harus kusimpan di dalam laci. Itulah satu-satunya cara supaya aku dapat menulis tanpa gangguan. Sedang asyik menulis, tiba-tiba datang pembeli, dan mau tak mau kegiatan menulis pun harus berhenti. Yup, inilah risiko bekerja di depot makanan, hehe :)

Ya, saat ini aku bekerja di depot Coto Makassar Daeng Rewa yang terletak di Surabaya Timur.

Ngomong-ngomong aku belum cerita bagaimana aku bisa berada di tanah Jawa ini dan bekerja di sini. Oke, baiklah. Pada tulisan kali ini, aku akan bercerita bagaimana aku bisa berada di Kota Pahlawan ini.

Rasanya, semua berawal dari doa. Ya, doa. Aku masih ingat, bagaimana membosankannya tidak memiliki pekerjaan. Saat masih berada di Kabaena, pekerjaanku semata-mata hanya menulis. Di Kabaena pulalah aku menyelesaikan naskah novel perdanaku; Ketika. Selain menulis, yang aku lakukan hanya membaca dan rutinitas rumah lainnya. Tak ada pekerjaan lain. Dan, bagaimanapun, itu menghadirkan kebosanan luar biasa. Berangkat dari perasaan jenuh itu, aku akhirnya berdoa pada Allah SWT (aku masih ingat berdoa sampai berkali-kali setiap usai shalat) supaya aku dikasih pekerjaan apa pun, asal aku bisa sibuk dan bisa keluar dari rutinitas yang semuanya terjadi di rumah itu.

Entah berapa bulan kemudian--aku benar-benar tidak ingat kapan pastinya aku mulai berdoa meminta pekerjaan, meminta kesibukan--kakakku menawarkan untuk bekerja di Surabaya. Saat itu aku heran, lho kok jauh banget kerjanya? Usut punya usut, ternyata suami kakakku itu bekerja di Surabaya. Karena iparku itu orang Makassar dan hobi masak juga, akhirnya dia diminta untuk menjadi koki di depot Coto Makassar Daeng Rewa yang baru buka akhir Agustus 2015.

Aku termasuk tipe orang yang pemikir sebenarnya. Maksudnya, segala sesuatu yang akan aku lakukan, segala sesuatu pilihanku, pasti aku pikirkan matang-matang. Paling tidak, aku pasti pertimbangkan dulu. Namun, aneh saat kakakku menawarkan untuk ke Surabaya, serta-merta aku mengiyakan. Tanpa berpikir macam-macam. Tanpa berpikir bagaimana jika ini, bagaimana jika itu. Duh, itu artinya aku harus tinggal jauh dari orangtuaku, dong? Pikiran-pikiran itu alhamdulillah tidak bersileweran di otakku ketika tawaran itu datang. Aku hanya bilang, "Oke, ayok!"

Yang bersileweran di otakku saat itu justru syair Imam Syafi'i tentang merantau yang kali pertama aku baca di novel A. Fuadi--Ranah 3 Warna. Syair indahnya seperti ini:

Merantaulah…
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).
Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.
Yup, syair yang indah dan penuh makna. Sempurna menyentilku yang merasa nyaman berada di tanah kelahiranku. Selain itu, aku juga memikirkan tentang zona nyaman. Seumur hidupku, aku selalu berada di zona nyaman. Berada di sekitar keluargaku, tak takut kekurangan apa pun karena menyadari selalu ada keluarga di sana. Dan, zona nyaman seringkali membuat seseorang tak menjadi apa-apa, tak berkembang, mentok begitu-begitu saja. Dan, aku tak mau seperti itu. Aku tak mau hidupku terus-menerus berada di zona nyaman, jauh dari tantangan kehidupan yang merupakan vitamin untuk menuju tangga kesuksesan, untuk menjadi pribadi yang berkembang. Pikiran-pikiran itulah yang berloncatan dalam otakku, hingga akhirnya membulatkan tekadku untuk menjadi seperti yang sudah saudara laki-lakiku lakukan: Merantau.

Tak banyak persiapan yang aku lakukan untuk merantau. Hanya berkemas pada malam sebelum keesokan paginya berangkat. Alhamdulillah-nya, perjalan menuju Surabaya ini free alias ditanggung pemilik depot tempat iparku bekerja. Mulai dari perjalanan meninggalkan Pulau Kabaena menggunakan kapal feri, lalu sampai di Bau-bau, menginap di hotel semalam dan akhirnya lanjut terbang menuju Surabaya.

Menunggu kapal feri datang di Pelabuhan Dongkala, Kabaena Timur.
Dalam perjalanan itu, aku baru menyadari bahwa Allah tengah mengabulkan doa-doaku dulu. Ya, doa-doa supaya mendapat pekerjaan. Dan, aku semakin yakin doa-doaku terkabul ketika mulai bekerja di Daeng Rewa. Di sana, aku benar-benar sibuk, mengerjakan banyak hal--persis yang aku minta dalam doaku supaya dikasih kesibukan. Rupanya Allah benar-benar memberi aku kesibukan yang super-super sibuk. Alhamdulillah :)

Tidak hanya itu. Allah juga mengabulkan doaku seperti sebuah pepatah: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sekali Allah kabulkan, ternyata bukan hanya mengabulkan satu doa, yaitu mendapat pekerjaan dan kesibukan, tetapi juga mengabulkan keinginan yang tak pernah aku ucapkan, hanya diam-diam mengendap di kedalaman hati. Apa itu? Bahwa suatu saat nanti aku bisa ke Surabaya. Dan, mengapa Kota Pahlawan? Karena ada beberapa teman dunia maya yang sangat ingin kutemui di sana. Teman dunia maya yang rasanya sudah seperti keluarga. Salah satunya adalah keluarga UNSA (Untuk Sahabat).

Alhamdulillah, bersyukur sekali Allah masih berkenan mengabulkan doa-doaku. Yang rasanya tak mungkin, ternyata mungkin bagi-Nya. Satu yang akan selalu kuingat sekarang, bahwa jangan pernah meremehkan sebuah doa. Memang hanya kegiatan sederhana, sekadar berkata-kata berbalut harapan, namun Allah tidak tidur. Allah menunggu kapan waktu yang tepat untuk mengabulkan doa-doa itu.

Mari berdoa. Mari menunggu dengan sabar.


Bandara Betoambari, Bau-Bau.

Bersama kakak, Rhina Bagea di halaman Bandara Betoambari.

Transit di Bandara Hassanudin, Makassar.

Menuju Surabaya.


You may also like

2 comments:

  1. Benar. Doa. Aku punya mimpi yang "kejauhan", yang rasanya kayak... nyaris nggak mungkin terjadi padaku. Tetapi, Allah Maha Kuasa, ini pelan-pelan sedang dikabulkan. Alhamdulillah.

    Senang bisa baca post ini.

    ReplyDelete