selamat jalan…

/
2 Comments
sumber: google

Di tengah euforia lebaran, kami sekeluarga mendapat kabar duka tepat pada hari kedua lebaran. Kabar itu datang dari negeri seberang, Malaysia, tempat di mana kakak saya, Anjas Bagea, dan istrinya, mbak SIten—begitu kami memanggilnya—bekerja sebagai TKI, mengabarkan kalau mbak Siten telah meninggal dunia.

Begitu mendengar kabar itu, yang terbayang dalam benak saya adalah sosok seorang perempuan berbadan gemuk—orang yang selalu saya usili dengan menyentil pinggangnya sambil bilang, “buka sitik josss”, orang yang saya suka masakan-masakannya, orang yang kalau tertawa seluruh badannya ikut bergetar, orang yang saya tahu bahwa dia adalah seorang pekerja keras, orang yang selera musiknya dangdut abis.

“Serius mbak Siten meninggal?” pertanyaan itu terus berdengung dalam kepala saya seperti kawanan lebah pindah sarang. Saya tidak bisa juga mengelak bahwa mungkin kabar itu tidak benar karena sebelumnya saya mendengar kabar kalau mbak Siten jatuh sakit, muntah-muntah dan sampai pingsan, dan harus dibawa ke rumah sakit.

Ada yang terbang dari diri saya saat itu. Meski tidak jatuh air mata, tapi ada yang lepas dari diri ini, menyisakan rasa lemas yang menjangkiti tubuh saya hingga berjam-jam kemudian. Sejujurnya, saya masih tidak percaya kalau mbak Siten telah meninggal. Padahal sebelumnya, pada hari lebaran, dia sempat menelepon orang rumah, meminta maaf atas segala salahnya, dan saat dia menelepon itu, dia sudah sakit, muntah-muntah—orang rumah bahkan mengira jangan-jangan mbak Siten lagi hamil, karena dia belum dikaruniai seorang anak sama Allah.

Allah punya rencana lain rupanya.

Bagi saya, mbak SIten bukan sekadar seorang kakak ipar, tetapi telah menjadi saudara dan menjadi bagian paling kental dalam keluarga. Dia berasal dari Jawa Timur, Blitar, namun cara ngomongnya sama sekali tidak ada aksen Jawa-nya. Malah, ketika dia bicara, lebih seperti orang Sulawesi, keras dan tinggi. Ini yang terkadang membuat orang lain ragu apakah benar mbak Siten orang Jawa? Tetapi, memang, mbak Siten itu lebih lama tinggal di Sulawesi daripada di Jawa. Biasanya ketika pulang dari Malaysia, mereka tidak singgah di Jawa, tetapi langsung ke Sulawesi. Meski pernah sekali pulang ke Jawa, namun tidak sampai dua minggu, mbak Siten sudah kembali lagi. Barangkali tidak betah berjauhan dari suaminya.

mbak Siten di Benteng Tuntutari, Idul Adha, 2013
Begitu banyak kenangan bersama mbak Siten yang akan selalu saya ingat. Begitu banyak saat-saat gokil dan ceria yang mustahil saya lupakan—saat membuat video sambil bernyanyi dan berjoget, terutama. Begitu saya kehilangan dirimu, mbak Siten. Akhirnya, saya dan sekeluarga hanya bisa mendoakanmu, juga merindukanmu, selalu.

Bukan apa-apa saya menulis tentangmu seperti ini, selain untuk mengabadikanmu, bahwa mbak Siten tidak hanya pernah “ada” dalam kehidupan saya, keluarga, kerabat, sahabat, dan orang-orang yang mengenalmu, tetapi mbak Siten pernah hadir di dunia ini, pernah turut mewarnai kehidupan ini.

Selamat jalan, mbak Siten. Semoga Allah memberikan tempat yang terbaik buatmu, mengampuni dosa-dosamu, melipatgandakan amal ibadahmu, memberikan suarga-Nya padamu. Aamiin yra. Insya Allah. Maha Luas Pengampunan Allah. Maha Pengasih Allah.

Selamat jalan…

Pada akhirnya, kita semua akan pergi. Akan melewati jalan bernama kematian itu. Dan, seperti ketika kita terlahir, pergi pun kita sendiri.

detik waktu terus berlalu, semua berakhir pada-MU —Opick.


You may also like

2 comments: