Ia menatap lelaki yang dicintainya sekali lagi—masih tak percaya kalau jarak akhirnya benar-benar merenggut kebersamaan mereka. Inilah, pikirnya, inilah yang selalu ia takutkan dari cinta, saat jarak mengambil ruang di antara mereka.

“Jangan khawatir, kita akan baik-baik saja,” bilang lelaki itu, seolah tahu keresahannya. Lelaki itu memang selalu tahu tentangnya.

Ah… Ia menghela napas panjang, memandang pelabuhan yang semakin meriuh. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, sebuah kapal yang tertambat mulai dipenuhi penumpang. Tak lama lagi, kapal ini berenang pergi. Membawa lelaki yang dicintainya. Meninggalkannya sendiri bersama rindu yang entah bagaimana harus dienyahkannya—atau justru tak akan bisa?

“Berjanjilah kamu akan kembali dengan hati yang sama,” ia berkata, menatap dalam-dalam mata lelaki itu, merapatkan genggaman tangannya pada jemari kokoh kekasihnya. Sungguh, ia benar-benar takut membayangkan hari yang akan datang. Akankah segalanya masih sama? Ah, jarak. Ia benar-benar benci.

Tak langsung menyahut, lelaki itu memungut helai anak rambutnya, menyelipkan ke belakang telinga kemudian. “Maafkan aku. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu,” ucapnya pelan.

“Kenapa?” ia bertanya, dua garis keningnya terangkat. “Apakah kamu tidak yakin kalau kamu bisa kembali dengan hati yang sama? Dan, karena itulah kamu takut berjanji.”

“Bukan begitu.”

“Aku bisa memastikan hatiku tidak akan berubah saat kamu kembali nanti, dan mengapa kamu tidak?”

Lelaki itu tersenyum kecil. “Kamu tahu, janji itu begitu rapuh. Rapuh sekali. Bagiku, lebih baik tidak menjanjikan apa-apa padamu daripada melihatmu terluka karena kerapuhan janji itu.” Jeda sebentar, mendesah pelan. “Lagi pula, jarak adalah ujian bagi cinta, karena di sana, kesetiaan dan kepercayaan di pertanyakan. Kalau memang benar-benar cinta, kita hanya perlu melakukan satu hal: bertahan.”

Baca juga: Ditinggalkan, Tak Pernah Mudah. 

Bukan pernikahan namanya kalau mulus dan bebas tanpa hambatan. Bagaimanapun, pernikahan merupakan  penyatuan dua orang berbeda karakter, yang mana kemudian akan bersama-sama menyejajarkan langkah dalam membina rumah tangga—dan itu bukan sesuatu yang mudah. Perselisihan pendapat, sikap yang terkadang tidak disukai pasangan, atau pertengkaran, kerap mewarnai sebuah pernikahan.

 

Pada banyak kasus, mereka yang tak mampu bertahan dalam pernikahannya, akhirnya akan menyerah pada perceraian. Namun, banyak pula pernikahan yang mampu bertahan meski belasan—bahkan puluhan—tahun telah berlalu. Meskipun begitu, bukan berarti segalanya baik-baik saja. Terkadang, ada saat-saat di mana salah satu pasangan—entah suami, entah istri, atau keduanya—merasa pernikahannya tak lagi seindah dulu. Banyak hal yang menjadi penyebabnya dan itu, tentu saja, tidak baik bagi keharmonisan rumah tangga bila dibiarkan begitu saja.

 

Dalam buku “Muhasabah Cinta Seorang Istri” ini, bersama kawan-kawan Asma Nadia hendak memberi solusi pada mereka yang barangkali mengalami hal seperti di atas—merasa pernikahannya tak lagi indah—yaitu dengan jalur muhasabah. Di mana para penulis yang berjumlah lima belas orang, dan semuanya bertitel istri, menceritakan kebaikan-kebaikan suami selama pernikahan mereka, dengan harapan hal itu akan kembali memekarkan bunga pernikahan yang mungkin saja sempat layu.

 

Beby Haryanti Dewi, dalam tulisannya Suami Jempol, Istri Error, menceritakan bagaimana dia dan sang suami, Ilham, bagai langit dan bumi. Perbedaan mereka begitu besar, di mana Ilham tipe lelaki romantis, sementara Beby tipe perempuan yang kurang sensitif. Pesan-pesan yang dikirmkan sang suami padanya selalu berbunga-bunga, romantis abis, sedang pesan yang dia kirimkan pada sang suami hanya berisi daftar belanjaan saja. Tidak hanya itu, bahkan pernah suatu hari Ilham membawa rangkaian bunga untuk Beby, namun yang terjadi Beby justru menganggap Ilham buang-buang duit.

 

Meskipun sering kelihatan nggak nyambung, tapi mereka bahagia-bahagia saja menjalani pernikahan yang hampir 9 tahun itu. Perbedaan-perbedaan yang mereka miliki kerap membangun kelucuan dan membuat hari-hari mereka dihiasi canda tawa. (hal. 29).

 

Menurutku, justru karena berbeda itulah pasangan suami istri bisa belajar untuk saling mengisi, saling menghargai, saling memahami, dan pada akhirnya saling bergantung dan terikat satu sama lain.

Kebalikan dari Beby yang memiliki suami romantis, Nr. Ina Huda dalam tulisannya yang berjudul Romantis VS Realis justru bersuamikan lelaki yang cenderung cuek. Seringkali Ina berharap akan mendengar kata-kata manis nan berbunga dari bibir sang suami, namun hal itu sangat jarang dia dapatkan. Meskipun begitu, sang suami ternyata memiliki keromantisan dengan caranya sendiri. Misalnya, daripada bertanya apa yang bisa ia bantu, sang suami lebih memilih bertindak dengan cara mengambil alih pekerjaan. Lain waktu, saat mendapati Ina dilanda khawatir oleh sesuatu hal, sang suami tidak bertanya, “Kenapa kamu murung, Sayang?” melainkan akan berkata, “Jalan-jalan yuk, di dekat sini ada depot tanaman hias baru, lho. Kelihatannya tanaman-tanaman hiasnya bagus-bagus.” (hal. 57).

 

Aku berpikir bahwa perkawinan adalah semacam sarana untuk mencapai tujuan. Ibarat alat transportasi, aku tidak membutuhkan alat transportasi yang mewah atau megah, tetapi lebih pada yang kokoh kuat agar bisa membawaku sampai ke tujuan tanpa mogok di jalan.

Selain kedua tulisan di atas, ada juga dua belas tulisan lain yang akan menggugah hati: Aku Perlu Suami yang Sabar karya Tria Barmawi, Cinta Tak Selalu Merah Muda karya Mariskova, That Sweetest Thing karya Dyotami Febriani, Secangkir Kopi Susu karya Sinta Yudisia, Si Dia karya Sitaresmi Sidharta, I Don’t Realize that You Love Me Much, Until… karya Yulyani Dewi, Demi Ayat-Ayat Cinta karya Yunita Tri Damayanti, Tanpa Dia Aku Takkan Berhasil karya Rini Nurul Badariah, Ketika Ratu Pemalas Menanggalkan Gelarnya karya Demi Rieka, Guru Kehidupan karya Meidya Derni, Karena Aku Belum Siap Kehilangan Kamu karya Ade Sophia Winstar, dan terakhir Kalau Ada yang Berubah karya Yudith Fabiola.

 

Tidak hanya berisi muhasabah-muhasabah di atas, buku setebal 130 halaman ini juga memuat berbagai tips yang pastinya akan bermanfaat—baik untuk para istri maupun mereka yang masih lajang—misalnya tips “SerSan” alias Serius tapi Santai, tips menemukan suami pilihan bagi muslimah lajang, dan masih banyak lagi. Selain itu, terdapat juga lembar muhasabah yang bisa diisi oleh para pembaca. Rasanya, buku ini tidak hanya wajib di baca oleh para istri maupun Muslimah yang masih lajang, tetapi juga wajib di baca oleh lelaki—baik yang bertitel suami maupun yang bertitel jomblo.

 

Selamat membaca. Baca juga resensi lainnya: Perjalanan Mengubah Peruntungan.

 

Judul : Muhasabah Cinta Seorang Istri

Penulis : Asma Nadia, dkk.

Penerbit : Lingkar Pena Publishing House dan Asma Nadia Publishing House

Tahun terbit : Juli 2011, Cetakan keenam

Jumlah halaman : 130 halaman

ISBN : 978979191545-8

 

Rating :  Red heart  Red heart  Red heart  Red heart  Red heart

 

Buku ini saya dapatkan lewat kuis di twitter yang diadakan oleh—kalau tidak salah—Lingkar Pena, sekitar tahun 2011.

Desir angin menyapu ilalang. Menggetarkannya hingga terlihat seperti menggelitik senja yang tumpah di cakrawala. Winda termangu. Menatap semburat merah jingga itu di bawah naungan pohon Akasia, bersandar dan memeluk gumpalan lututnya.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Segaris suara tiba-tiba terngiang di kepala Winda. Dia tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.

 

***

 

“Berhenti menatapku seperti itu!” Winda berkata tegas saat mengetahui ada seorang lelaki menatapnya lekat. Matanya sebulat cawan.

 

“Kau sedih? Ada yang melukaimu?” Lelaki di hadapannya terus menatap dengan tatapan seolah ikut merasakan luka yang menganga di benak Winda. Winda bergegas bangkit dari duduknya, lantas berkacak pinggang.

 

“Tahu darimana kalau aku ini sedih? Tahu darimana juga kalau aku ini terluka? Jangan sok tahu, ya!” Winda meluncurkan kalimat-kalimatnya dengan lancang, lalu mengakhirinya dengan senyum cibiran.

 

Lelaki itu mendekatkan wajahnya. “Mata adalah jendela hati,” bisiknya lembut.

 

Winda terhenyak. Dia sadar akhir-akhir ini terlalu banyak gelombang yang datang silih berganti menghempas jiwanya. Bahkan dia memilih mati, namun dia selalu berpikir bahwa bunuh diri itu dosa. Dan lelaki ini, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sama, tahu akan satu hal dalam hidupnya.

 

“Lebih baik di ceritakan daripada harus dipendam sendiri. Berbagi, dan itu akan membuat dirimu lebih tenang. Bukankah benda yang berat akan terasa ringan bila ada yang membantu?” Kembali lelaki itu berucap, tepat setelah menangkap kekhawatiran yang memburat di wajah Winda.

 

“Aa… emm,” akhirnya Winda terbata. Tidak tahu harus bilang apa lagi.

 

“Namaku Dar,” lelaki itu mengulurkan tangannya.

 

Winda sesaat diam, heran. Lantas tersenyum kaku dan menyambut uluran tangan itu. “Winda.”

 

“Nama yang indah, seindah pemiliknya.” Dar tersenyum.

 

Untuk sepersekian detik Winda baru menyadari akan sesuatu di tubuh Dar, senyumnya lembut dan manis. Senyuman yang seketika itu meningkatkan kerja jantungnya.

 

“Tt… thanks,” Winda melepas genggamannya di tangan Dar. Lagi-lagi Dar tersenyum. Karena khawatir debar jantungnya semakin menjadi-jadi, Winda akhirnya memilih pergi. Belum cukup lima langkah meninggalkan Dar, Winda berbalik.

 

“Kelas berapa?” tanyanya kemudian.

 

“Sama sepertimu, kelas dua belas,” sahut Dar.

 

“Ilmu Alam?”

 

“Ilmu Sosial.”

 

“O.” Ujung bibirnya meruncing. “Oke,” lanjutnya lantas berbalik dan melangkah pergi.

 

“Belum ingin cerita?”

 

“Belum waktunya.”

 

“O. Baiklah. Tapi, kamu bisa temui aku di taman ini setiap istirahat. Dan aku siap mendengar ceritamu. Aku orang yang pandai menyimpan rahasia, kok. Jadi, jangan ragu untuk cerita.”

 

Perkataan Dar hanya mampu mengeluarkan dua kata dari bibir Winda: terima kasih. Dan Winda pun pergi. Dar menatapnya dengan senyum berlayar di wajah.

 

***

 

Segalanya mengalir begitu saja. Masalah Winda pun masih begitu-begitu saja. Gelombang itu tak urung reda. Usai ke kantin sebentar, Winda ke taman itu. Letaknya agak jauh dari keramaian siswa. Ketika Winda sampai di taman, dia tak menemukan siapa-siapa, apalagi Dar yang memang di carinya. Winda mendesah berat.

 

“Kau mencariku?”

 

Sebuah suara terdengar di belakang kepalanya. Winda menoleh. Ah, selalu seperti ini, gerutunya dalam hati. Selalu muncul seperti jin, sama seperti kali pertama mereka bertemu.

 

“Dar.” Matanya berbinar ketika menyebut nama itu.

 

“Aku siap mendengar ceritamu,” Dar berkata sembari melangkah ke bangku taman, kemudian duduk menunggu.

 

Lagi dan lagi, pikir Winda, Dar sepertinya sudah tahu maksud kedatanganku memang untuk bercerita.

 

“Tidak usah heran begitu. Aku kan pernah bilang datang saja ke taman ini kalau kamu siap untuk cerita. Dan sekarang kamu datang. Apalagi coba kalau bukan untuk cerita?”

 

O, iya. Winda teringat. Aduh, bodoh banget sih aku.

 

“Hehe….” Winda menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

Dar tersenyum. “Duduklah.”

 

Seperti ada ledakan bom di dada Winda. Kepalanya seketika di penuhi gugusan tanya yang segera butuh jawaban. Tepat setelah menceritakan segala masalahnya’'; mulai dari masalah orangtuanya yang selalu bertengkar dan meminta cerai, dan masalah-masalah lainnya. Kembali Dar melontarkan kalimat yang sungguh di luar dugaan.

 

“Hampir setiap malam aku mendengar orangtuamu bertengkar.”

 

“Hah! Tahu darimana?” Rasa kaget seketika mengaliri wajah putih Winda. Bibir bawahnya di gigit sekali.

 

“Aku tetanggamu.” Kata-katanya mengalir lembut. Winda diam saja, mencoba memulihkan kekagetannya. “Aku sedikit tahu tentang keluargamu,” Dar melanjutkan.

 

“Tapi, aku tak pernah melihatmu?” Sebutir tanya yang sedari tadi bertengger di ujung bibir Winda akhirnya melesat.

 

“Aku bekerja. Sepulang sekolah hingga malam. Menjaga toko keluarga kami. Itulah sebabnya kamu tak pernah melihatku.”

 

“Berangkat sekolah pun aku tak pernah melihatmu?”

 

“Hehe….” Dar terkekeh sebentar, kemudian melanjutkan, “Aku berangkat sekolah saat kamu masih tidur.”

 

Winda tersipu malu. Wajahnya memerah. Angin berembus sepoi, menggetarkan helai rambut Winda. Bebungaan bergoyang. Dar segera memberi solusi atas masalah Winda, sebelum waktu istirahat habis. Winda menyimak. Dan hatinya tersenyum lebar.

 

***

 

 

“Setahuku, ini adalah tempat yang kau kunjungi setiap sore.”

 

Pohon Akasia berdiri kukuh, tempat Winda menyimpan punggungnya. Senja hadir dengan jemari cahaya yang lembut menyentuh padang ilalang. Winda mengenali suara di belakangnya. Lelaki itu lagi. Sekarang, dia hadir kembali tanpa undangan. membawa kejutan-kejutan yang selalu dan selalu menerbitkan tanya besar. Tahu darimana aku sering ke sini?

 

“Dar.” Winda menoleh.

 

“Boleh aku duduk di sampingmu?” pinda Dar. Winda mengangguk.

 

“Kamu tidak kerja?” Akhirnya Winda buka suara setelah beberapa saat.

 

“Hari Minggu. Libur.”

 

“O.”

 

“Bagaimana?” Dar bertanya, menatap wajah Winda yang kuning diterpa mentari sore. Winda mengerti ke mana arah pertanyaan Dar. Tentang masalahnya.

 

“Telah kucoba seperti saranmu.” Hening sejenak. “Mereka terlalu egois. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan demi aku, anaknya. Mereka tak tahu rasanya berada di posisiku.” Pandangan Winda mengabur. Matanya berkilat-kilat. “Aku akan tersakiti karenanya. Mungkin sampai bertahun-tahun andai mereka bercerai.” Kristal bening meluncur turun. Kemudian, “Aku jelaskan kepada mereka masih ada jalan lain selain bercerai. Aku jelaskan sampai menangis. Namun, tetap saja…. “ Air mata menganak sungai. Dar mengisi rongga dadanya dengan udara, sebanyak-banyaknya, lalu menyentuh pundak Winda dan membawanya dalam pelukan.

 

“Mereka terlalu egois,” desis Winda di antara isaknya.

 

“Kadang mereka butuh penjelasan berulang kali untuk mengerti apa yang kita rasakan,” Dar mencoba menenangkan dengan membelai rambut dan menggosok punda Winda. Lalu, beberapa saat kemudian, “Coba lihat senja di sana,” ujar Dar, telunjutknya menghunus cakrawala.

 

***

 

Dua minggu kemudian….

 

Dar tidak seperti biasanya. ini hari Minggu dan senja sedang bergelora di batas horison. Dar belum juga datang di padang ilalang. Apakah Dar memberi kejutan lagi? Muncul tiba-tiba di tengah lamunan Winda. Padahal, hari ini Winda memiliki kabar gembira. Ya. Keluarganya selamat dari ancaman perceraian yang saat itu seperti monster yang mengitari rumah mereka. Tapi, Dar tak kunjung hadir. Perasaan Winda berkabutkan resah. Ke mana Dar? Lupakah dia hari ini hari Minggu? Tidak. Tidak. Winda melemah.

 

Hari-hari berlalu menjadi minggu. Dan minggu meloncat menjadi bulan. Genap sebulan Winda melewati minggunya tanpa kehadiran Dar. Telah dicarinya ke rumah Dar sepulang dari tempat itu, beberapa minggu lalu. Namun, bukan Dar yang didapatnya. Dia mendapati rumah Dar kosong. Keluarga Dar tidak menempati rumah itu lagi. Dar pindah. Mengapa dia tidak memberitahuku akan hal ini? benak Winda bertanya-tanya. Dan berjarak beberapa hari kemudian, Winda mendapat kabar tentang Dar dari tetangganya. Bahwa Dar kecelakaan dan tidak dapat diselamatkan.

 

Seketika itu, Winda merasakan tulang-tulangnya seolah lenyap dari tubuhnya. Pandangannya menjadi sehitam kopi. Winda jatuh pingsan.

 

***

 

“Coba lihat senja di sana.”

 

Winda menghapus bulir bening di wajahnya. Korneanya bergerak perlahan mengikuti telunjuk Dar.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Perkataan Dar sontak membuat detak jantung Winda sejenak jeda berdenyut. Air matanya segera surut. Winda menoleh. “Dar….”

 

“Aku mencintaimu, Winda.” Winda ternganga. “Sungguh mencintaimu.”

 

Dan begitulah. Cinta terurai di antara keduanya di penghujung senja itu. Ilalang-ilalang kian erat berpelukan ketika angin bertiup mesra.

 

***

 

 

Dedaunan Akasia tempat Winda menaruh punggungnya teracak-acak dan bergetar. Pelukan di lututnya semakin erat. Ingatannya tentang Dar selalu seperti hantu yang menghantui setiap waktu. Matanya mengembun, untuk kemudian menitik di kedua pipinya. Winda mendesiskan sesuatu, “Aku rindu padamu, Dar.”[]

 

Baca juga cerpen lainnya: Laksana Purnama.

 

Cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di media masa, yaitu Kendari Pos pada bulan September 2011.