Hari Kedelapan: Harap

/
0 Comments

Berapa lama waktu telah bergulir, adakah kau ingat?

Kau tahu, aku terus menghitungnya kendati itu membuat dadaku menyesak—tak mengapa. Bagaimana kali terakhir kita bertemu, berpelukan lama, menyadari itulah kali terakhir pertemuan kita. Perpisahan adalah yang terbaik, begitu katamu. Haruskah aku memaksa? Haruskah aku memaksa untuk mengatakan bahwa kebersamaanlah yang terbaik, bukan sebaliknya. Namun, adilkah aku menahan kaki yang ingin melangkah? Meskipun aku tahu itu akan melukaiku, namun aku mencoba untuk membiarkanmu. Bila memang kepergian membuatmu bahagia, aku terima. Toh, kalaupun kau tetap berdiri di sisiku, bila itu tak membuatmu bahagia, bukankah itu lebih menyakitkan lagi?

Orang-orang bilang, cinta tentang penerimaan. Saat kita bisa memilikinya maupun saat kita tak bisa memilikinya. Kedua-duanya sama-sama menuntut kita untuk menerima. Dan, aku tak bisa memilikimu. Meski sulit, aku mencoba menerima. Cinta tak selalu menjelma dalam kebersamaan, bukan? Terus-menerus aku mengingatkan diriku seperti itu. Meski di kedalaman hati, harap untuk bersama masih terus memendar layaknya kunang-kunang pada malam nan gulita.

Ah, harap.

Seringkali, harapanlah yang melukai. Entahlah, aku hanya merasa seperti itu. Segala harapan-harapan yang kutitipkan padamu, segala janji-janji yang kau ucapkan—dan bodohnya aku percaya—membuat pintal harapan kian meraksasa. Aku tak marah kau pernah berjanji dan tak kau tepati. Aku hanya marah pada diriku sendiri, mengapa membiarkan harapan demi harapan menggumpali dadaku. Aku marah pada diriku sendiri mengapa tak pernah menyadari bahwa harapan yang dititipkan pada manusia selalu memiliki celah untuk diingkari—di kecewakan.

Aku yang salah. Aku yang bodoh.

Pada pertemuan terakhir itu, aku mencoba merelakan kepergianmu. Semua akan baik-baik saja, batinku terus merapal. Namun, nyatanya, semua tak baik-baik saja. Hari-hari yang menyambutku selalu datang dengan segenggam kenangan, membuatku terus-menerus mengingatmu. Berkali-kali aku mencoba mengabaikan, namun, mengapa begitu sulit? Orang yang masih kita cintai, yang pernah membuat kita bahagia, membuat hari-hari kita tak ubahnya senja—penuh warna—sungguh, bagaimanakah cara melupakannya?

Ada yang bilang, kita tak akan pernah bisa melupakan seseorang yang pernah singgah dalam kehidupan kita. Tapi, suatu ketika nanti, waktu akan berbaik hati meminggirkan semua tentangnya ke sudut ingatan. Sebuah pojok yang remang-remang, tak terlalu menarik untuk dilihat, karena kita menyadari di sana hanya ada luka, kecewa, dan air mata ketika kita mendatanginya. Ya. Pada akhirnya, semua hanya masalah waktu.


Dan, aku menunggu.


You may also like

No comments: