Desir angin menyapu ilalang. Menggetarkannya hingga terlihat seperti menggelitik senja yang tumpah di cakrawala. Winda termangu. Menatap semburat merah jingga itu di bawah naungan pohon Akasia, bersandar dan memeluk gumpalan lututnya.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Segaris suara tiba-tiba terngiang di kepala Winda. Dia tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.

 

***

 

“Berhenti menatapku seperti itu!” Winda berkata tegas saat mengetahui ada seorang lelaki menatapnya lekat. Matanya sebulat cawan.

 

“Kau sedih? Ada yang melukaimu?” Lelaki di hadapannya terus menatap dengan tatapan seolah ikut merasakan luka yang menganga di benak Winda. Winda bergegas bangkit dari duduknya, lantas berkacak pinggang.

 

“Tahu darimana kalau aku ini sedih? Tahu darimana juga kalau aku ini terluka? Jangan sok tahu, ya!” Winda meluncurkan kalimat-kalimatnya dengan lancang, lalu mengakhirinya dengan senyum cibiran.

 

Lelaki itu mendekatkan wajahnya. “Mata adalah jendela hati,” bisiknya lembut.

 

Winda terhenyak. Dia sadar akhir-akhir ini terlalu banyak gelombang yang datang silih berganti menghempas jiwanya. Bahkan dia memilih mati, namun dia selalu berpikir bahwa bunuh diri itu dosa. Dan lelaki ini, yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sama, tahu akan satu hal dalam hidupnya.

 

“Lebih baik di ceritakan daripada harus dipendam sendiri. Berbagi, dan itu akan membuat dirimu lebih tenang. Bukankah benda yang berat akan terasa ringan bila ada yang membantu?” Kembali lelaki itu berucap, tepat setelah menangkap kekhawatiran yang memburat di wajah Winda.

 

“Aa… emm,” akhirnya Winda terbata. Tidak tahu harus bilang apa lagi.

 

“Namaku Dar,” lelaki itu mengulurkan tangannya.

 

Winda sesaat diam, heran. Lantas tersenyum kaku dan menyambut uluran tangan itu. “Winda.”

 

“Nama yang indah, seindah pemiliknya.” Dar tersenyum.

 

Untuk sepersekian detik Winda baru menyadari akan sesuatu di tubuh Dar, senyumnya lembut dan manis. Senyuman yang seketika itu meningkatkan kerja jantungnya.

 

“Tt… thanks,” Winda melepas genggamannya di tangan Dar. Lagi-lagi Dar tersenyum. Karena khawatir debar jantungnya semakin menjadi-jadi, Winda akhirnya memilih pergi. Belum cukup lima langkah meninggalkan Dar, Winda berbalik.

 

“Kelas berapa?” tanyanya kemudian.

 

“Sama sepertimu, kelas dua belas,” sahut Dar.

 

“Ilmu Alam?”

 

“Ilmu Sosial.”

 

“O.” Ujung bibirnya meruncing. “Oke,” lanjutnya lantas berbalik dan melangkah pergi.

 

“Belum ingin cerita?”

 

“Belum waktunya.”

 

“O. Baiklah. Tapi, kamu bisa temui aku di taman ini setiap istirahat. Dan aku siap mendengar ceritamu. Aku orang yang pandai menyimpan rahasia, kok. Jadi, jangan ragu untuk cerita.”

 

Perkataan Dar hanya mampu mengeluarkan dua kata dari bibir Winda: terima kasih. Dan Winda pun pergi. Dar menatapnya dengan senyum berlayar di wajah.

 

***

 

Segalanya mengalir begitu saja. Masalah Winda pun masih begitu-begitu saja. Gelombang itu tak urung reda. Usai ke kantin sebentar, Winda ke taman itu. Letaknya agak jauh dari keramaian siswa. Ketika Winda sampai di taman, dia tak menemukan siapa-siapa, apalagi Dar yang memang di carinya. Winda mendesah berat.

 

“Kau mencariku?”

 

Sebuah suara terdengar di belakang kepalanya. Winda menoleh. Ah, selalu seperti ini, gerutunya dalam hati. Selalu muncul seperti jin, sama seperti kali pertama mereka bertemu.

 

“Dar.” Matanya berbinar ketika menyebut nama itu.

 

“Aku siap mendengar ceritamu,” Dar berkata sembari melangkah ke bangku taman, kemudian duduk menunggu.

 

Lagi dan lagi, pikir Winda, Dar sepertinya sudah tahu maksud kedatanganku memang untuk bercerita.

 

“Tidak usah heran begitu. Aku kan pernah bilang datang saja ke taman ini kalau kamu siap untuk cerita. Dan sekarang kamu datang. Apalagi coba kalau bukan untuk cerita?”

 

O, iya. Winda teringat. Aduh, bodoh banget sih aku.

 

“Hehe….” Winda menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

Dar tersenyum. “Duduklah.”

 

Seperti ada ledakan bom di dada Winda. Kepalanya seketika di penuhi gugusan tanya yang segera butuh jawaban. Tepat setelah menceritakan segala masalahnya’'; mulai dari masalah orangtuanya yang selalu bertengkar dan meminta cerai, dan masalah-masalah lainnya. Kembali Dar melontarkan kalimat yang sungguh di luar dugaan.

 

“Hampir setiap malam aku mendengar orangtuamu bertengkar.”

 

“Hah! Tahu darimana?” Rasa kaget seketika mengaliri wajah putih Winda. Bibir bawahnya di gigit sekali.

 

“Aku tetanggamu.” Kata-katanya mengalir lembut. Winda diam saja, mencoba memulihkan kekagetannya. “Aku sedikit tahu tentang keluargamu,” Dar melanjutkan.

 

“Tapi, aku tak pernah melihatmu?” Sebutir tanya yang sedari tadi bertengger di ujung bibir Winda akhirnya melesat.

 

“Aku bekerja. Sepulang sekolah hingga malam. Menjaga toko keluarga kami. Itulah sebabnya kamu tak pernah melihatku.”

 

“Berangkat sekolah pun aku tak pernah melihatmu?”

 

“Hehe….” Dar terkekeh sebentar, kemudian melanjutkan, “Aku berangkat sekolah saat kamu masih tidur.”

 

Winda tersipu malu. Wajahnya memerah. Angin berembus sepoi, menggetarkan helai rambut Winda. Bebungaan bergoyang. Dar segera memberi solusi atas masalah Winda, sebelum waktu istirahat habis. Winda menyimak. Dan hatinya tersenyum lebar.

 

***

 

 

“Setahuku, ini adalah tempat yang kau kunjungi setiap sore.”

 

Pohon Akasia berdiri kukuh, tempat Winda menyimpan punggungnya. Senja hadir dengan jemari cahaya yang lembut menyentuh padang ilalang. Winda mengenali suara di belakangnya. Lelaki itu lagi. Sekarang, dia hadir kembali tanpa undangan. membawa kejutan-kejutan yang selalu dan selalu menerbitkan tanya besar. Tahu darimana aku sering ke sini?

 

“Dar.” Winda menoleh.

 

“Boleh aku duduk di sampingmu?” pinda Dar. Winda mengangguk.

 

“Kamu tidak kerja?” Akhirnya Winda buka suara setelah beberapa saat.

 

“Hari Minggu. Libur.”

 

“O.”

 

“Bagaimana?” Dar bertanya, menatap wajah Winda yang kuning diterpa mentari sore. Winda mengerti ke mana arah pertanyaan Dar. Tentang masalahnya.

 

“Telah kucoba seperti saranmu.” Hening sejenak. “Mereka terlalu egois. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan demi aku, anaknya. Mereka tak tahu rasanya berada di posisiku.” Pandangan Winda mengabur. Matanya berkilat-kilat. “Aku akan tersakiti karenanya. Mungkin sampai bertahun-tahun andai mereka bercerai.” Kristal bening meluncur turun. Kemudian, “Aku jelaskan kepada mereka masih ada jalan lain selain bercerai. Aku jelaskan sampai menangis. Namun, tetap saja…. “ Air mata menganak sungai. Dar mengisi rongga dadanya dengan udara, sebanyak-banyaknya, lalu menyentuh pundak Winda dan membawanya dalam pelukan.

 

“Mereka terlalu egois,” desis Winda di antara isaknya.

 

“Kadang mereka butuh penjelasan berulang kali untuk mengerti apa yang kita rasakan,” Dar mencoba menenangkan dengan membelai rambut dan menggosok punda Winda. Lalu, beberapa saat kemudian, “Coba lihat senja di sana,” ujar Dar, telunjutknya menghunus cakrawala.

 

***

 

Dua minggu kemudian….

 

Dar tidak seperti biasanya. ini hari Minggu dan senja sedang bergelora di batas horison. Dar belum juga datang di padang ilalang. Apakah Dar memberi kejutan lagi? Muncul tiba-tiba di tengah lamunan Winda. Padahal, hari ini Winda memiliki kabar gembira. Ya. Keluarganya selamat dari ancaman perceraian yang saat itu seperti monster yang mengitari rumah mereka. Tapi, Dar tak kunjung hadir. Perasaan Winda berkabutkan resah. Ke mana Dar? Lupakah dia hari ini hari Minggu? Tidak. Tidak. Winda melemah.

 

Hari-hari berlalu menjadi minggu. Dan minggu meloncat menjadi bulan. Genap sebulan Winda melewati minggunya tanpa kehadiran Dar. Telah dicarinya ke rumah Dar sepulang dari tempat itu, beberapa minggu lalu. Namun, bukan Dar yang didapatnya. Dia mendapati rumah Dar kosong. Keluarga Dar tidak menempati rumah itu lagi. Dar pindah. Mengapa dia tidak memberitahuku akan hal ini? benak Winda bertanya-tanya. Dan berjarak beberapa hari kemudian, Winda mendapat kabar tentang Dar dari tetangganya. Bahwa Dar kecelakaan dan tidak dapat diselamatkan.

 

Seketika itu, Winda merasakan tulang-tulangnya seolah lenyap dari tubuhnya. Pandangannya menjadi sehitam kopi. Winda jatuh pingsan.

 

***

 

“Coba lihat senja di sana.”

 

Winda menghapus bulir bening di wajahnya. Korneanya bergerak perlahan mengikuti telunjuk Dar.

 

“Aku selalu ada di setiap senjamu; memelukmu penuh cinta di kala rindu menggigit hati, menguatkanmu di kala rapuh melanda, menghapus air mata di kala sedih dan ikut tertawa saat kau bahagia.”

 

Perkataan Dar sontak membuat detak jantung Winda sejenak jeda berdenyut. Air matanya segera surut. Winda menoleh. “Dar….”

 

“Aku mencintaimu, Winda.” Winda ternganga. “Sungguh mencintaimu.”

 

Dan begitulah. Cinta terurai di antara keduanya di penghujung senja itu. Ilalang-ilalang kian erat berpelukan ketika angin bertiup mesra.

 

***

 

 

Dedaunan Akasia tempat Winda menaruh punggungnya teracak-acak dan bergetar. Pelukan di lututnya semakin erat. Ingatannya tentang Dar selalu seperti hantu yang menghantui setiap waktu. Matanya mengembun, untuk kemudian menitik di kedua pipinya. Winda mendesiskan sesuatu, “Aku rindu padamu, Dar.”[]

 

Baca juga cerpen lainnya: Laksana Purnama.

 

Cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di media masa, yaitu Kendari Pos pada bulan September 2011.


Tidak terasa, April sudah datang. Apakah yang akan dibawanya? Ah, inilah yang masih menjadi misteri. Apakah kebahagiaan, atau justru kesedihan. Apakah kabar baik, atau justru kabar buruk. Apakah sama saja seperti bulan Maret? Entahlah. Saya hanya berharap, April akan lebih banyak membawa kebahagiaan dan kabar baik. Juga membuat hidup saya menjadi lebih baik lagi dari bulan lalu.

Maret kemarin, dalam hal menulis, jujur, saya kurang produktif. Masih banyak hari di mana saya tidak menulis, yang, celakanya, lebih sering beralasankan mood. Padahal, seorang penulis yang baik, tentu saja tidak mau membiarkan mood menghalangi proses menulisnya. Bagaimanapun, mood tidak di tunggu, tetapi diciptakan. Dan, seperti kata Moh. Fauzil Adhim, “Para pemalas menggunakan mood sebagai alasan untuk tidak bertindak. Para idealis mengendalikan mood untuk menghalau kemalasan.”

Ah, berarti saya termasuk kategori pemalas  Crying face

Baiklah. Memasuki April ini, saya mengingatkan diri saya sendiri untuk menjadi lebih produktif lagi. Baik dalam menggarap novel yang tengah saya kerjakan, maupun dalam hal mengisi blog ini. Karena dengan begitu, saya tidak akan masuk dalam kategori pemalas lagi, sebagaimana bulan Maret lalu. Aamiin yra. Semoga.

Mengawali postingan bulan April ini, saya akan membagikan kata-kata inspirasi tentang menulis dari Mas Fauzil, yang saya dapatkan sewaktu saya mengubek-ubek catatan-catatan facebook. Catatan itu hasil copas, entah darimana, saya sudah lupa. Yang jelas catatan itu saya posting pada tanggal 11 Oktober 2011. Sudah lama sekali, bukan?

Oke. Berikut ini Inspiring Words For Writers :

1. Seringkali, yang membuat ujung pena terhenti menuangkan kata adalah keinginan untuk melahirkan tulisan yang banyak disanjung orang.

2. Sementara yang memecah kebuntuan menulis adalah sikap apa adanya dalam menuturkan kebenaran.

3. Resep menulis yang paling baik adalah: tuangkan saja!

4. Gagasan yang baik sering tidak tersampaikan karena kita sibuk memikirkan bagaimana membuat awalan.

5. Padahal, awalan yang terbaik adalah cetusan gagasan itu sendiri.

6. Banyak yang menunggu mood untuk menulis. Sementara bagi yang lain, mood bangkit karena kuatnya semangat menyampaikan kebenaran.

7. Tanpa bakat, orang tetap bisa menjadi penulis hebat. Tapi, tanpa kegigihan, penulis berbakatpun tidak berarti apa-apa.

Itulah kata-kata inspirasi dari Mas Fauzil untuk para penulis—untuk saya pribadi, terutama. Dan, saya bahagia saat menemukan kata-kata itu di catatan facebook, karena kata-kata itu seketika menampar saya, sekaligus juga mengingatkan saya bahwa menulis sejatinya adalah bagaimana kita menjadi diri sendiri dalam setiap tulisan kita.

Sekian. Semoga bermanfaat. Baca juga: Akhirnya, Saya Jatuh Cinta.

Dan, semoga April lebih banyak menghadiahkan kebahagiaan untukmu. Aamiin.



Seperti yang sering kau katakan, kekuatan cinta itu ada. Dan kini, aku percaya bahwa kekuatan cinta itu benar-benar ada. Semua telah kusaksikan dan terbukti melalui kebersamaan kita sampai saat ini. Bersama-sama, kita mengarungi bahtera rumah tangga. Kadang, teramat damai tanpa kejaran ombak. Kadang, begitu goyah dihantam gulungan-gulungan ombak. Sekarang dan untuk selamanya, cintamu takkan kuragukan lagi. Cintamu yang putih, tulus, dan indah. Meski begitu, di kedalaman benakku, sesekali bertengger tanya. Mengapa kau bisa bertahan mencintai perempuan mandul sepertiku? Bukankah istri yang sempurna itu seharusnya dapat melahirkan seorang anak?

Kau pasti sangat tahu kalau aku mengizinkanmu mencari dan memetika bunga lain yang lebih indah dan bisa melahirkan keturunanmu. Namun, kau selalu saja menggeleng seraya berkata, “Tak ada bunga seindah dirimu.”

Ya. Aku terima pandanganmu itu. Tetapi, apakah kau tak pernah berharap memiliki keturunan di sepanjang hidupmu? Aku selalu berharap akan hal itu. Tapi saat dokter memvonisku mandul, harapan itu terpaksa harus kukubur sedalam-dalamnya. Kau juga tahu kalau aku tak ingin mengadopsi anak orang lain. Seperti yang sering kau sarankan setiap kali melihat air mukaku berubah sedih.

Waktu kian berlari dan meninggalkan masa lalu. Kau tahu kalau aku kadang bosan denganmu. Bosan melihat wajahmu, bosan melihat gerak-gerikmu, bosan melihatmu berada di rumah, bosan tidur berdua denganmu, dan bosan tinggal bersamamu. Masih mampu kuingat, usiaku menginjak angka tiga puluh satu saat aku merasa sangat bosan melihatmu di rumah. Maka, dengan kasar, kusuruh kau pergi dari rumah. Aku menyuruhmu pergi sejauh-jauhnya. Dan kau tahu, seminggu setelah kepergianmu yang entah ke mana, aku tiba-tiba disergap rasa bersalah yang amat sangat. Tidak hanya itu, aku juga dilanda kerinduan yang teramat kental. Karena itulah, ketika kau datang, aku bergegas menubrukmu dengan pelukan. Aku memelukmu erat-erat sembari bersimbah air mata.

Aku memang kadang bosan padamu, tetapi kamu? Inilah yang ingin kutanyakan padamu nanti. Sebentar lagi. Bagaimana bisa kau tak pernah bosan padaku? Dan, bagaimana pula caramu mencintaiku?

Ada kebahagiaan yang berhamburan di hati saat aku menatap wajahmu yang terlelap. Aku beruntung dipersunting olehmu, lelaki sederhana yang mengagumi purnama. Oh, bukan hanya kaua yang mengagumi purnama. AKu pun sangat mengaguminya.

Jika kubuka laci ingatan, akan kutemukan kenangan-kenangan manis kita. Kenangan tatkala berdua kita pandangi langit yang bertahtakan gemintang dan purnama. Duduk berdua dibasuh angin malam, saling menggenggam tangan, seolah ingin menyatukan rasa yang bergejolak di dada. Dan sampai kini, kita masih melakukan itu setiap purnama hadir di pekat malam. Itu sudah menjadi rutinitas kita.

***
Angin mengalir lembut, membawa helai-helai dingin yang akan segera menyelimuti tubuh renta kita. Usai shalat Maghrib tadi, telah kau beritahu aku bahwa malam nanti akan terbit purnama. Tampak kebahagiaan berpendar-pendar dari matamu yang lelah. Tidak hanya kau, mataku pun kini lelah. Aku serta-merta menyambutnya dengan rasa bahagia. Kusampaikan dengan melukis senyum terindah yang aku miliki. Lalu, bakda Isya, kita keluar rumah dengan langkah tertatih sambil saling menuntun. Perlahan, tubuh melengkung kita akan berlabuh di atas balai bambu yang kau buat beberapa tahun lalu. “Hadiah ulang tahun,” katamu dulu.

Dengan tetap saling bergenggam tangan, kita rambatkan pandangan ke langit malam. Di atas sana, ada rembulan sebesar semangka yang tengah menyiramkan cahayanya ke bumi. Langit menjadi cerah. Tak hanya ada sang demi malam, jutaan gemintang pun berhamburan di angkasa.

Angin malam kembali bertiup.

Aku mulai merasakan tubuh ini dingin. Tiba-tiba, kau menyentuh pundakku dengan jemarimu yang sama dengan jemariku, mengerut. Lantas, kau membawa aku dalam dekap pelukmu, ingin membagi kehangatan. Mungkin, kau tahu bahwa aku tengah kedinginan lewat getaran tanganku di genggamanmu. Seketika, semua terasa indah. Hatiku merona-rona. Mungkin bila ada anak muda yang melihat kita kini, mereka akan berkata, “Kakek dan Nenek bisa romantis-romantisan juga ternyata.”

“Bulannya gendut sekali,” kata-katamu meluncur lembut, sedang telunjukmu menghunus angkasa.

“Bulan purnama,” aku membetulkan perkataanmu. “Dari dulu sampai sekarang, masih juga kau bilang bulan gendut. Apakah karena timbangan badanku pernah melebihi batas ketika muda dulu sehingga kau menyebut purnama dengan kata itu?” Dari ekor mataku, kujalari wajahmu yang kini bertahtakan senyuman. Senyuman yang selalu saja tampak indah di mataku. Senyuman sederhana nan menawan.

Kau semakin merapatkan pelukanmu dan tak menanggapi perkataanku. Untuk beberapa saat, kita didekap sunyi. Kau tahu, saat diam seperti ini, yang kulakukan adalah mencoba menggapai kelabat di kepala mengenai saat-saat terindah bersamamu. Kurasa, waktu memang telah merenggut sebagian ingatan kita.

Lorong-lorong waktu akan mempersembahkan berbagai macam kenangan kita berdua. Namun, yang paling kusuka adalah saat kita menatap purnama di pinggir sungai dulu. Sama seperti malam ini, saat itu pun angin menyuguhkan secawan dingin dan sebulat rembulan.
“Aku akan melamarmi minggu depan, Bulan,” ujarmu kala itu. Semburat bahagia karena mendengar ucapanmu itu tidak mampu kusembunyikan di bawah temaram rembulan.

Dan, ternyata benar. Seminggu kemudian, kau datang melamarku bersama kedua orangtuamu. Sungguh, laksana ada bunga-bunga yang ranum dan mewangi bertebaran di hatiku. Kebahagiaanku lengkap sudah. Cinta kita akhirnya bersemi pada bulan kedelapan.

Aku menangkap desah napasmu yang berat. Jemarimu juga tak tinggal diam. Sedari tadi, mengusap rambutku yang sepenuhnya berwarna tembaga, seperti juga rambutmu.

“Entah sampai kapan kita akan terus menatap purnama,” desisku di antara angin yang mengaduk dedaunan.

“Sampai kita telah tiada,” sahutmu ringan. Aku tersenyum lebar.

“Kau tak pernah bosan kepadaku? Maksudku, kau tak pernah bosan mencintaiku?” Akhirnya, sebutir tanya yang telah lama mengendap di dada terlontar juga.

Kepalamu yang kau letakkan di atas kepalaku, menggeleng. Suaramu kemudian terdengar, “Tidak. Aku tak pernah bosan mencintaimu. Meskipun waktu telah merenggut pesonamu, cinta di hatiku tetap bersinar benderang. Cinta itu masih seperti dulu, saat pertama kali bertemu denganmu.”

“Mengapa dulu kau tak mau menikah dengan perempuan lain saat tahu aku mandul dan tak mungkin melahirkan keturunanmu?”

“Karena aku mencintaimu.”

“Mengapa kaut tak pernah bosan mencintaku?”

“Karena aku mencintaimu bukan dengan mata. Aku mencintaimu dengan hati.”

Aku terhenyak. Kulonggarkan pelukan, lalu bergegas menatap bola matamu. Terlihat ketulusan dan kesungguhan di sana. Begitukah caramu mencintaku? Begitukah caramu memandang cinta selama ini? Aku sungguh tak menyangka. Hatiku gerimis, terkenang masa-masa di mana aku begitu bosan padamu. Bahkan, aku sampai menyuruhmu meninggalkan rumah, meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memelukmu erat. Sekuat-kuatnya. Aku takut kehilanganmu. Air mataku menelaga sejenak, lalu tumpah ruah. Aku terisak dalam pelukanmu.

“Aku sungguh beruntung menjadi sitrimu,” kataku. Di antara lelehan air mata, ucapanku itu lebih serupa bisikan.

Kudengar kau berkata, “Aku juga beruntung menjadi suamimu.”

Untuk beberapa saat, kita berada dalam keharuan. Setelah melepas pelukan, kedua lensa kita kembali terhunus ke angkasa. Pikiranku kembali melayang-layang, melambung, lalu hinggap di masa-masa muda. Ya, inilah yang biasa dilakukan seseorang apabila usia mereka telah uzur. Mengingat masa-masa muda yang mungkin indah atau mungkin juga tak indah. Hanya itu hiburanku akhir-akhir ini. Aku tidak punya hiburan lain seperti kehadiran seorang cucu.

“Kita semakin tua dan tak akan lama lagi menyatu dengan tanah,” ucapmu setelah terbatuk-batuk.

Seraya mengurut punggungmu, aku menyahut, “Siapa pun yang dipanggil-Nya lebih dulu, kita sudah berjanji untuk tidak terlalu bersedih.”

Kau mengangguk lemah, lalu berkata, “Aku takkan melupakanmu. Di hatiku akan selalu ada kamu, Bulan yang memesona.”

“Kita akan bertemu lagi di ruang yang lain. Dan, aku akan sangat merindukanmu,” balasku.

Hening sejenak.

“Kau masih ingat saat kita pertama bertemu?” matamu melekat di wajahku saat kau ucap itu.

“Tentu saja,” jawabku. Layar-layar bergerak bergantian di kepalaku. Hingga akhirnya, sampai pada layar yang menampilkan episode pertemuanku dengan suamiku kini, Mas Dion. Episode pertemuan yang lucu, menurutku.

“Kau marah-marah saat itu,” pandanganmu menerawang.

Aku terkekeh sebentar. “Gara-gara kau. Mengapa datang mengejutkanku?”

“Sungguh, aku mengira kau adalah teman yang sedang menungguku.”

“Dari sisi mana kau mengira aku temanmu?”

“Dari belakang. Bentuk tubuh dan potongan rambutmu mirip dengan temanku itu. Tapi, setelah dari depan, ternyata…,” kalimatmu terhenti. Kau melirikku dengan lirikan menggoda.

“Ternyata apa?”

“Ternyata seorang bidadari.”

Aku tertawa malu, lalu berkata, “Kau berlebihan.”

“Kenyataanya begitu, Sayang.”

Kupu-kupu tidur dalam perutku kembali terbangun. “Untuk pertama kalinya kau memanggilku sayang di usia seperti ini.”

“Tak bolehkah memanggil sayang di usia seperti ini?”

“Boleh. Tapi, terdengar lucu.”

Kita terkekeh bersama. Lembut, kau rangkul pundakku lagi. Malam terus merambat dan angin semakin runcing. Angkasa begitu meriah.

“Sayang, aku akan selalu mencintaimu sampai kapan pun. Kau laksana purnama di atas sana, selalu indah dan memesona sepanjang waktu.”

“Jangan panggil aku sayang.” Di ujung kalimat dapat kurasakan wajah ini bersemu. Wajah tuaku mungkin sedang merona-rona.

“Bulan gendunt.”

“Bukan. Jangan itu.”

“Lalu?”

Honey.”

“Aku memanggilmu honey di usia seperti ini? Honey itu panggilan untuk mereka yang masih muda, Sayang, tidak untuk kita yang sudah tua.”

“Mengapa tidak untuk kita? Aku suka dipanggil honey.”

“Ya udah.”

“Ya udah apa?”

“Aku panggil kamu honey. Aku sayang kamu, honey.”

“Kok, ada kata sayangnya lagi?” Aku pura-pura cemberut.

“Ya udah, aku ganti. Aku cinta kamu, honey.”

Hatiku tertawa. Tertawa sangat keras.

Dikutip dari buku antologi cerpen Lemon Cake—kumpulan kisah terpilih dari 489 karya lomba Kisah Romantis Diva Press 2011.