sumber: http://doctruyenhot.net/truyen-ngan

Rasanya, terlalu menyakitkan bila kita menjadi orang yang di tinggalkan. Kita merasa seolah-olah dihempaskan, merasa bahwa kitalah yang salah dalam hubungan itu. Belum lagi kita harus berjalan pulang ditemani kenangan-kenangan selama kebersamaan yang telah lalu. Setelahnya, kita dipaksa menghadapi gerbang bernama “merelakan”. Satu hal, yang kita tahu, tak akan pernah mudah, karena menyadari bahwa kita masih mencintainya. Mungkinkah mudah merelakan orang yang masih kita cintai? Tidak. Dan, itulah yang menyakitkan.
Kelak, berjanjilah, jangan mudah meninggalkan orang karena alasan sederhana. Apalagi hanya karena bosan dan jenuh. Ketahuilah, menjadi orang yang ditinggalkan itu tak pernah mudah. Ketahuilah—sadarilah—kebersamaan kalian terlalu berharga untuk ditukar dengan perpisahan.
sumber: google “Aku ingin menjual semua kenangan saat masih bersama dia.”
“Kenapa?”
“Aku tak sanggup lagi menyimpannya. Terlalu menyakitkan bila terus ada di sana. Hanya cara itulah yang bisa kulakukan supaya hati ini menjadi lebih baik.”
“Tapi, bukankah dalam kenangan itu ada saat-saat kalian bahagia? Saat-saat cinta masih terasa begitu indah dan menyenangkan?”
“Memang. Tapi, aku tidak mengerti, kenangan-kenangan itu justru terasa menyakitkan sekarang.”
“Biarkan di sana. Kenangan-kenangan itu. Biarkan di sana, di tempat di mana seharusnya ia berada. Tak perlu menjualnya.”
“Aku tak sanggup lagi. Terlalu sakit, kau tahu.”
“Tapi, kau akan membutuhkannya.”
“Aku menjualnya berarti aku tidak membutuhkannya lagi.”
“Sekarang memang kau tak membutuhkannya, tapi nanti, saat kamu tak muda lagi, saat di sisimu duduk cucu-cucumu. Kau tahu, tak hanya dongeng yang bisa kau ceritakan pada mereka. Kenangan-kenangan itu pun bisa kau ceritakan.”
“Tapi….”
“Dengar. Biarkan kenangan itu di sana. Lagi pula, semua sakit yang kau rasakan sekarang, akan mengajarkan ketabahan pada hatimu.Seiring waktu berlalu, kenangan itu akan mengambil tempat di sudut ingatanmu, tempat terjauh yang takkan menyakitimu lagi. Tempat saat kau mengingatnya, hanya akan ada senyum kecil di wajahmu, bukan lagi air mata.”
“Jadi, aku tak perlu menjualnya?”
“Ya. Karena kau akan membutuhkannya. Biarkan ia di sana.”
Seperti matahari, kenangan perlahan-lahan akan memudar, namun tak pernah benar-benar hilang meski malam melindapkannya.
sumber: google

Pada akhirnya, semua janji yang pernah kau ucapkan, tak menyetia sebagaimana yang aku harapkan. Pada akhirnya, aku harus mengatakan pada diriku sendiri, setiap hari, bahwa aku telah kehilanganmu. Bahwa kamu yang dulu datang dengan segenggam cinta, kini telah melangkah menjauh meninggalkan sebekas luka. Di hatiku.
Kita tak lagi melangkah di jalan yang sama. Jalan kita telah berbeda. Di persimpangan itu, tempat di mana langkah kita berpisah, tempat di mana genggaman kita terlerai, kau mengatakan begitu banyak alasan. Aku mendengarmu dalam tangis tanpa suara, menyadari bahwa inilah waktunya, di mana aku akan kehilanganmu.
Ada begitu banyak alasan yang kau katakan sementara hatiku hanya membisikkan satu kalimat kecil: aku mencintaimu. Masih.
Kau sudah tuli, tak lagi mendengar segala yang kukatakan. Kau sudah lupa, tak lagi mengingat bagaimana kau datang dalam hidupku, tak lagi mengingat apa yang telah kita lewati bersama. Kau sudah buta, tak melihat betapa aku selalu mencintaimu, selalu ada di sisimu. Betapa di mataku hanya akan kau temukan pantulan dirimu.
Kau bukan lagi yang dulu.
Mengapa perasaan harus berubah? Mengapa perpisahan selalu menjadi pilihan terakhir saat masih ada pilihan lain yang tak perlu menyakiti? Tidakkah kau tahu, perpisahan tak benar-benar membuat semuanya berakhir. Yang kau tinggalkan masih harus berjalan pulang, tertatih-tatih sendiri dalam luka dan kenangan. Apakah kau pikir dalam perjalanan pulang nanti, segalanya seketika membaik?
Tidak. Sama sekali tidak.
Kau tahu, merelakan tak pernah mudah, sementara kenangan akan tetap mengendap dalam memoriku. Kau tahu, itulah bagian menyakitkan dari perpisahan. Itulah cairan pahit dari cinta. Pekat. Kelam.
Kini, mungkinkah menyesali pertemuan? Ah, kalau saja boleh, mungkin kita tak perlu bertemu. Cinta tak perlu menyatukan langkah kita, bila pada akhirnya kau menyakiti. Dan, terpenting, kenangan kebersamaan kita tak perlu ada.
Ah, kalau saja.
Namun, semua telah terjadi. Dan, sekarang, aku hanya perlu belajar tabah dan belajar merelakan—meski itu tak akan mudah. Kelak nanti, bila cinta mendatangiku lagi, aku akan mengingatkan hatiku, diriku, bahwa persimpangan selalu menanti di depan sana. Entah setelah berapa lama perjalanan. Namun, persimpangan itu ada. Pasti.
Dan, saat itulah, aku akan mempersiapkan hatiku untuk sebuah kehilangan. Sakit akan tetap ada, namun barangkali tak akan terlalu lama.