Setelah sekian lama mencari, berkali-kali mengganti, mencoba ini dan itu, akhirnya saya jatuh cinta juga. Hati ini akhirnya memilih *ehem ehem* Namun, sayangnya, dalam hal ini, saya tidak sedang jatuh cinta kepada seseorang. Lalu? Saya sedang jatuh cinta dalam hal lain, yaitu, jatuh cinta kepada template blog ini. Maaf, kalau nggak seperti dugaan kalian—kalau memang kalian menduga demikian. Dan, ya, benar, sampai sekarang saya masih jomblo  Crying face  *sodorin pacar please*

Template blog ini benar-benar membuat saya jatuh cinta. Sungguh. Belum pernah sebelumnya saya merasa sejatuh ini pada template blog sendiri. Padahal, sudah nggak terhitung lagi berapa kali saya mengganti-ganti template, mulai dari yang ramenya kayak pasar malam, sampai yang sederhana alias simple. Dari yang loadingnya seberat galon, sampai yang loadingnya secepat kilat.

Akhirnya,  kumenemukanmu … Note Naff mode on Note

Saya menemukan template ini saat sedang mencari-cari template yang simple, namun dengan tampilan yang membuat nyaman pembaca. Setelah browsing sana-sini, loncat dari blog satu ke blog yang lain, akhirnya saya menemukan sebuah blog luar negeri yang memberi template gratis seperti yang saya cari. Ada sembilan template sih, kalau tidak salah, dan semuanya keren-keren, namun saya langsung jatuh cinta pada template ini saat kali pertama preview. Setelah di download dan dipasang di blog, edit sana-sini, jadilah template ini makin membuat saya jatuh cinta. Ada beberapa alasan sehingga akhirnya saya memilih template ini.

Pertama, loading-nya cepat—dan inilah yang paling penting—sehingga nanti nggak akan membuat pengunjung lelah menunggu bak menunggu Bang Toyib pulang kampung. Tadinya, saya pengen menambah foto di sidebar, tetapi akhirnya saya cancel karena takut beban blog makin berat. Kan nggak asyik itu….  Smile with tongue out

Kedua, tampilannya yang simple dan bikin nyaman, dengan nuansa warna putih dan biru muda, serta  tombol menu yang terus muncul walaupun di scroll ke bawah—aku nggak tahu nama istilah menu seperti itu  Open-mouthed smile

Ketiga, pilihan font-nya benar-benar pas menurutku, nggak kekecilan dan nggak kebesaran, sehingga nggak bakal membuat mata pembaca lelah.

Kekurangan template ini  hanya satu; lebar sidebar dan lain-lainnya nggak bisa diubah, padahal saya ingin kurangi sedikit lebarnya. Ada satu kekurangan lagi sih, yaitu nggak terdapat tombol share, namun itu nggak terlalu masalah, karena saya bisa menambahkannya lewat html.

Alhamdulillah, saya menemukan template ini. Bukannya apa-apa, mood untuk mengisi blog ini tiba-tiba meningkat drastis. Mungkin karena saya terlanjur menyukai template ini, ya? Entahlah. Apa pun itu, ini sungguh kabar baik untuk saya, mengingat selama ini saya ogah-ogahan buat ngeblog. Berharap dengan template baru ini, saya semakin rajin menulis dan bisa berbagi lebih banyak lagi kepada siapa pun—tentang apa pun—lewat blog sederhana ini.

Aamiin.

where the mountain meets the moon
Rasanya, hampir sebagian besar anak-anak menyukai dongeng. Kisah-kisahnya yang luar biasa, para tokohnya yang hebat nan memesona, dan lain-lain—begitu memikat anak-anak. Dongeng, bagaimanapun, tidak lebih dari cerita khayalan yang tidak benar-benar terjadi, yang disampaikan oleh para orangtua guna mendidik moral dan menghibur anak-anaknya. Namun, bagi Minli, tokoh utama dalam novel setebal 272 halaman ini, dongeng-dongeng yang kerap kali diceritakan Ba padanya benar-benar nyata untuknya. Meskipun kehidupan mereka—dan juga seluruh warga desa yang tinggal di kaki Gunung Nirbuah—begitu miskin, namun keluarga Minli berbeda. Kisah-kisah yang diceritakan Ba pada Minlilah yang membuat keluarga itu berbeda—terutama untuk Minli. (hal. 3)

Salah satu kisah yang selalu Minli dengar adalah kisah mengenai Kakek Rembulan. Kisah inilah yang akhirnya mendorong Minli ingin bertemu Kakek Rembulan dan menanyakan padanya bagaimana cara mengubah peruntungan keluarganya. Namun, Kakek Rembulan tidak lebih dari sebuah dongeng, bahkan Ma tidak percaya kalau Kakek Rembulan benar-benar ada. Sebaliknya, anak semata wayangnya, Minli, justru percaya. Kepercayaan Minli akan Kakek Rembulan semakin membuncah ketika suatu hari seorang penjaja ikan mas melintasi desanya. Dengan dua keping uang logam—yang merupakan milik Minli dan juga harta berharga satu-satunya yang ada di rumah mereka—gadis kecil itu membeli ikan mas. Kata si penjaja, ikan mas itu bisa membawa peruntungan.

Karena ikan mas itu, Ma marah kepada Minli. Dan akhirnya, Minli memutuskan untuk membuang ikan mas miliknya ke sungai. Sebelum dia menceburkan ikan mas tersebut, sebuah keanehan terjadi. Ikan mas itu berbicara dan memberitahu Minli kalau dia tahu di mana Kakek Rembulan berada.

Berbekal petunjuk dari ikan mas, Minli memulai perjalanannya. Dia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan orangtuanya keesokan harinya. Ba dan Ma sangat khawatir, bahkan Ma sampai memekik, ketika pulang dan mendapati Minli telah tiada. Hanya secarik surat yang ditulis Minli yang mereka temukan. (hal. 35)

Ba dan Ma akhirnya memutuskan untuk menyusul Minli meski dengan petunjuk seadanya. Ma yang selama ini kerap mengeluh dengan kehidupan mereka yang miskin, dihantam kesadaran bahwa sikapnya itu sama sekali tidak pantas, dan bahkan tidak perlu ada, karena sesungguhnya kemiskinan yang sebenarnya adalah ketika Minli hilang dari sisinya. Gadis kecilnya itu adalah harta yang tidak tertandingi. Ma baru menyadari kalau selama ini ia kurang bersyukur dengan kehidupan mereka. Namun, kesadaran itu sia-sia karena Minli telah pergi.

Sementara itu, dalam perjalanan bertemu Kakek Rembulan, Minli bertemu seekor Naga yang tidak bisa terbang. Naga itu akhirnya menjadi teman seperjalanan Minli. Naga juga ingin bertanya kepada Kakek Rembulan mengapa ia tidak bisa terbang seperti naga-naga lain. Bersama Naga, perjalanan jauh lebih mudah karena Minli dapat menungganginya. Namun, rintangan ternyata banyak mengadang perjalanan mereka. Di mulai dari pertemuan dengan sekawanan monyet tamak sampai keharusan untuk mendapatkan Garis Pinjaman yang dimiliki oleh Raja Kota Terang Bulan—dan itu bukanlah hal yang mudah.

Perjalanan selanjutnya, Minli dan Naga kembali bertemu Harimau—yang diyakini sebagai reinkarnasi Hakim Harimau yang kejam. Harimau tersebut melukai Naga hingga membuatnya hampir mati. Namun, untungnya, pertemuan dengan dua bocah kembar Da dan Fu (Da-Fu) menyelamatkan hidup Naga dan juga Minli. Dua boca itu pula yang akan menuntun mereka ke Gunung Tak Berujung, di mana Kakek Rembulan berada. Apakah Minli dan Naga bisa bertemu Kakek Rembulan dengan bekal-bekal yang telah mereka miliki? Lalu, bagaimanakah akhirnya ketika Minli tahu bahwa dia hanya boleh mengajukan satu pertanyaan kepada Kakek Rembulan, sementara dia juga harus menanyakan pertanyaan Naga yang dititipkan padanya?

Temukan jawabannya di novel ini.

Grace Lin benar-benar cerdas dalam mengolah cerita, mengaitkannya satu sama lain dalam bahasa yang lincah dan lugas, sehingga mudah di mengerti baik oleh orang dewasa maupun anak-anak. Selain cerita yang asyik untuk diikuti, selipan lukisan-lukisan—yang merupakan karya Grace Lin sendiri—turut mewarnai halamannya dan menjadi poin plus buku ini.

ilustrasi karya Grace Lin
Akhirnya, novel ini mengajarkan pada kita tentang kebersyukuran dalam menjalani hidup ini, di mana kekayaan sesungguhnya bukanlah ketika kita memiliki banyak harta, tetapi ketika kita menjadi orang yang senantiasa bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Karena dengan begitu, Sang Pemilik Hidup akan berkenan menambah nikmat kita bahkan sampai berlipat-lipat banyaknya.

Judul : Where the Mountain Meets the Moon
Penulis : Grace Lin
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Atria
Tahun terbit : Cetakan 1, November 2010
Jumlah halaman : 272 halaman
ISBN : 978-979-024-460-3

Rating:  Red heart Red heart Red heart Red heart Red heart

Buku ini saya dapatkan lewat kuis yang diadakan Penerbit Atria sekitar tahun 2011. Udah lama selesai dibaca, dan kembali dibaca ulang untuk diresensi di sini.
miss_jinjing_4d51fcf0a3fec-203x300
Cina memang diidentikkan orang dengan barang palsu. Rasanya, tidak ada satu pun di Cina yang tidak dipalsukan, kecuali orang. Sepertinya, hampir semua produk yang punya nilai komersial bisa dan sudah dipalsukan di Cina. (halaman 73.)

Selain diidentikkan orang dengan barang-barang palsu, Cina juga diidentikkan sebagai tempat yang jorok, kampungan, dan gudangnya copet. Namun, Cina rupanya tidaklah separah itu. Dalam buku ini, Miss Jinjing membeberkan pengalamannya ke Negeri Tirai Bambu itu dan akhirnya menjadi negera paling sering dikunjunginya sekaligus menjadi negara yang membuatnya jatuh cinta sejak kali pertama datang.

Menurut Miss Jinjing, Cina adalah surga buat perempuan ber-DNA Miss Jinjing dan arena pertempuran yang asyik buat para Miss Jinjing yang jago tawar-menawar. (halaman 36.)
Selain membahas pengalamannya selama ke Cina, entah sekadar jalan-jalan atau menjadi tour-leader dalam shoping trip, buku ini juga kaya akan informasi tentang Cina—mulai dari penerbangan terbaik dari Indonesia, hotel yang nyaman untuk ditinggali, pusat perbelanjaan, makanan, minuman, tempat foto terbaik, check list barang-barang yang wajib dibawa, tips untuk menghindari copet, sampai tips tawar-menawar di sana.

Bagi Anda yang berencana ke Cina, apalagi untuk pebisnis, rasanya buku ini wajib untuk dibaca. Cover yang indah dan ala Cina banget, informatif dalam bahasa yang mengalir dan lincah, dilengkapi juga dengan foto-foto—sayangnya tidak ada caption pada foto-foto itu, misalnya lagi berfoto di mana, tempat itu namanya apa, sehingga pembaca langsung mengetahui bentuk tempatnya, bukan hanya mengetahui namanya saja.

Judul : Belanja Sampai Mati di China
Penulis : Amelia Masniari a.k.a Miss Jinjing
Penerbit : Republika
Tahun terbit : Cetakan 1, Juli 2010
Jumlah halaman : 252 halaman
ISBN : 978-979-1102-92-6


Rating: Red heart Red heart Red heart Broken heart Broken heart
Buku ini saya dapatkan tahun 2011 kalau tidak salah, dari giveaway salah satu akun di Twitter saat saya masih menjadi KUTER aka Kuis Hunter, entah nama akunnya apa, saya sudah lupa. Plus ttd Miss Jinjing tentunya. Akhirnya, setelah beberapa tahun nganggur di rak buku, baru kali ini saya menyelesaikannya. Genre bukunya bukan genre saya soalnya, hehe Smile